nitha
Kamis, 29 November 2012
peraturan dasar pokok-pokok agraria
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
No. 5 Tahun 1960
tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
PERTAMA
BAB I
DASAR-DASAR DAN KETENTUAN-KETENTUAN POKOK
Pasal 1
(1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu
sebagai bangsa Indonesia.
(2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang
angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
(3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat 2
pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi.
(4) Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta
yang berada di bawah air.
(5) Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia.
(6) Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang di atas bumi dan air tersebut ayat 4 dan 5
pasal ini.
Pasal 2
(1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang
dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat.
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi,
air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan
ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan
hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal ini
digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan
dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan
makmur.
(4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerahdaerah
Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Pasal 3
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak-ulayat dan hak-hak
yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih
ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Pasal 4
(1) Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya
macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan
hukum.
(2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di
atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan
tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang
lebih tinggi.
Pasal 5
Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa,
dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undangundang
ini dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatau dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Pasal 6
Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Pasal 7
Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui
batas tidak diperkenankan.
Pasal 8
Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 diatur pengambilan
kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa.
Pasal 9
(1) Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air
dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan 2.
(2) Tiap-tiap warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang
sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik
bagi diri sendiri maupun keluarganya.
Pasal 10
(1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada azasnya
diwajibkan megerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara
pemerasan.
(2) Pelaksanaan daripada ketentuan dalam ayat 1 ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan
perundangan.
(3) Pengecualian terhadap azas tersebut pada ayat 1 pasal ini diatur dalam peraturan perundangan.
Pasal 11
(1) Hubungan hukum antara orang, termasuk badan hukum, dengan bumi, air dan ruang angkasa
serta wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu akan diatur, agar tercapai
tujuan yang disebut dalam pasal 2 ayat 3 dan dicegah penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan
orang lain yang melampaui batas.
(2) Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat di mana perlu dan
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan, dengan menjamin perlindungan
terhadap kepentingan nasional diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan
golongan yang ekonomis lemah.
Pasal 12
(1) Segala usaha bersama dalam lapangan agraria didasarkan atas kepentingan bersama dalam
rangka kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau bentuk-bentuk gotong royong lainnya.
(2) Negara dapat bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan usaha-usaha dalam lapangan
agraria.
Pasal 13
(1) Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa,
sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat
3 serta menjamin bagi setiap warganegara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat
manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
(2) Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi
dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.
(3) Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat
diselenggarakan dengan Undang-undang.
(4) Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial termasuk bidang
perburuhan, dalam usaha-usaha di lapangan agraria.
Pasal 14
(1) Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat 2 dan 3, pasal 9 ayat 2 serta pasal 10
ayat 1 dan 2 Pemeritah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai
persediaan, peruntukkan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya :
a. untuk keperluan Negara;
b. untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar
Ketuhanan Yang Maha Esa;
c. untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain
kesejahteraan;
d. untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan
dengan itu;
e. untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.
(2) Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat 1 ini dan mengingat peraturan-peraturan yang
bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukkan dan penggunaan bumi, air
serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.
(3) Peraturan Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam ayat 2 pasal ini berlaku setelah mendapat
pengesahan, mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden, Daerah Tingkat II dari Gubernur Kepala
Daerah yang bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari Bupati/Walikota/Kepala Daerah yang
bersangkutan.
Pasal 15
Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah
kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan
tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.
BAB II
HAK-HAK ATAS TANAH, AIR DAN RUANG ANGKASA SERTA PENDAFTARAN TANAH
Bagian 1
Ketentuan-ketentuan Umum
Pasal 16
(1) Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 ialah :
a. hak milik,
b. hak guna usaha,
c. hak guna bangunan,
d. hak pakai,
e. hak sewa,
f. hak membuka tanah,
g. hak memungut hasil hutan,
h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan
undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.
(2) Hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 3 ialah :
a. hak guna air,
b. hak pemeliharaan dan penangkapan ikan,
c. hak guna ruang angkasa.
Pasal 17
(1) Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam
pasal 2 ayat 3 diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu
hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.
(2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat 1 pasal ini dilakukan dengan peraturan
perundangan di dalam waktu yang singkat.
(3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat 2 pasal ini
diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang
membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.
(4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat 1 pasal ini, yang akan ditetapkan dengan
peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur.
Pasal 18
Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari
rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut
cara yang diatur dengan Undang-undang.
Bagian II
Pendaftaran Tanah
Pasal 19
(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah
Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi :
a. pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
(3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat,
keperluan lalu-lintas sosial ekonomis serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan
Menteri Agraria.
(4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran
termaksud dalam ayat 1 diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari
pembayaran biaya-biaya tersebut.
Bagian III
Hak Milik
Pasal 20
(1) Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah,
dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6.
(2) Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Pasal 21
(1) Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
(2) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syaratsyaratnya.
(3) Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena
pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warganegara
Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan
kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya
hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak
milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara,
dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.
(4) Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan
asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam
ayat 3 pasal ini.
Pasal 22
(1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hak milik terjadi karena :
a. penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah;
b. ketentuan undang-undang.
Pasal 23
(1) Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain
harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.
(2) Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya
hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.
Pasal 24
Penggunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya dibatasi dan diatur dengan peraturan perundangan.
Pasal 25
Hak milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
Pasal 26
(1) Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan
perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain
yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing,
kepada seorang warganegara yang disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai
kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah
termaksud dalam pasal 21 ayat 2, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara,
dengan ketentuan, bahwa pihak-pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua
pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.
Pasal 27
Hak milik hapus bila :
a. tanahnya jatuh kepada Negara :
1. karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18;
2. karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;
3. karena ditelantarkan;
4. karena ketentuan pasal 21 ayat 3 dan 26 ayat 2.
b. tanahnya musnah.
Bagian IV
Hak guna usaha
Pasal 28
(1) Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara,
dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan
atau peternakan.
(2) Hak guna usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan
bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan tehnik
perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman.
(3) Hak guna usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Pasal 29
(1) Hak guna usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun.
(2) Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan hak guna usaha untuk
waktu paling lama 35 tahun.
(3) Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu yang
dimaksud dalam ayat 1 dan 2 pasal ini dapat di[erpanjang dengan waktu paling lama 25 tahun.
Pasal 30
(1) Yang dapat mempunyai hak guna usaha ialah :
a. warganegara Indonesia;
b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
(2) Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna usaha dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat
sebagai yang tersebut dalam ayat 1 pasal ini dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau
mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat.
Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna usaha, jika ia tidak memenuhi
syarat tersebut. Jika hak guna usaha yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka
waktu tersebut maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan
diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31
Hak guna usaha terjadi karena penetapan Pemerintah.
Pasal 32
(1) Hak guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan
penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam
pasal 19.
(2) Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan
serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.
Pasal 33
Hak guna usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
Pasal 34
Hak guna usaha hapus karena :
a. jangka waktunya berakhir;
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d. dicabut untuk kepentingan umum;
e. ditelantarkan;
f. tanahnya musnah;
g. ketentuan dalam pasal 30 ayat 2.
Bagian V
Hak guna bangunan
Pasal 35
(1) Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas
tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.
(2) Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunanbangunannya,
jangka waktu tersebut dalam ayat 1 dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20
tahun.
(3) Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Pasal 36
(1) Yang dapat mempunyai hak guna bangunan ialah :
a. warganegara Indonesia;
b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
(2) Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna bangunan dan tidak lagi memenuhi syaratsyarat
yang tersebut dalam ayat 1 pasal ini dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau
mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap
pihak yang memperoleh hak guna bangunan, jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika hak
guna bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut,
maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan,
menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 37
Hak guna bangunan terjadi :
a. mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara : karena penetapan pemerintah;
b. mengenai tanah milik : karena perjanjian yang berbentuk otentik antara pemilik tanah yang
bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh hak guna bangunan itu, yang bermaksud
menimbulkan hak tersebut.
Pasal 38
(1) Hak guna bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan
hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal
19.
(2) Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya
hak guna bangunan serta sahnya peralihan hak tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena
jangka waktunya berakhir.
Pasal 39
Hak guna bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
Pasal 40
Hak guna bangunan hapus karena :
a. jangka waktunya berakhir;
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d. dicabut untuk kepentingan umum;
e. ditelantarkan;
f. tanahnya musnah;
g. ketentuan dalam pasal 36 ayat (2).
Bagian VI
Hak pakai
Pasal 41
(1) Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang
ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam
perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian
pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan
Undang-undang ini.
(2) Hak pakai dapat diberikan :
a. selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang
tertentu;
b. dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun.
(3) Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
Pasal 42
Yang dapat mempunyai hak pakai ialah :
a. warga negara Indonesia;
b. orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
d. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Pasal 43
(1) Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai oleh Negara maka hak pakai hanya dapat dialihkan
kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang.
(2) Hak pakai atas tanah milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu dimungkinkan
dalam perjanjian yang bersangkutan.
Bagian VII
Hak sewa untuk bangunan
Pasal 44
(1) Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak
mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada
pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.
(2) Pembayaran uang sewa dapat dilakukan :
a. satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu;
b. sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan.
(3) Perjanjian sewa tanah yang dimaksudkan dalam pasal ini tidak boleh disertai syarat-syarat yang
mengandung unsur-unsur pemerasan.
Pasal 45
Yang dapat menjadi pemegang hak sewa ialah :
a. warganegara Indonesia;
b. orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
d. badan hukum asing yang mempunyai perwalikan di Indonesia.
Bagian VIII
Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan
Pasal 46
(1) Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warganegara
Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya diperoleh
hak milik atas tanah itu.
Bagian IX
Hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan
Pasal 47
(1) Hak guna air ialah hak memperoleh air untuk keperluan tertentu dan/atau mengalirkan air itu di
atas tanah orang lain.
(2) Hak guna air serta pemeliharaan dan penangkapan ikan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian X
Hak guna ruang angkasa
Pasal 48
(1) Hak guna ruang angkasa memberi wewenang untuk mempergunakan tenaga dan unsur-unsur
dalam ruang angkasa guna usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air
serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu.
(2) Hak guna ruang angkasa diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian XI
Hak-hak tanah untuk keperluan suci dan sosial
Pasal 49
(1) Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam
bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan
memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.
(2) Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam pasal 14 dapat
diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan hak pakai.
(3) Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian XII
Ketentuan-ketentuan lain
Pasal 50
(1) Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai hak milik diatur dengan undang-undang.
(2) Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan
hak sewa untuk bangunan diatur dengan peraturan perundangan.
Pasal 51
Hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan
tersebut dalam pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan Undang-undang.
BAB III
KETENTUAN PIDANA
Pasal 52
(1) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 15 dipidana dengan hukuman
kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000,-.
(2) Peraturan Pemerintah dan peraturan perundangan yang dimaksud dalam pasal 19, 22, 24, 26 ayat
1, 46, 47, 48, 49 ayat 3 dan 50 ayat 2 dapat memberikan ancaman pidana atas pelanggaran
peraturannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya
Rp. 10.000,-.
(3) Tindak pidana dalam ayat 1 dan 2 pasal ini adalah pelanggaran.
BAB IV
KETENTUAN-KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 53
(1) Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang diamksud dalam pasal 16 ayat 1 huruf h, ialah hak
gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi
sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan
hapusnya di dalam waktu yang singkat.
(2) Ketentuan dalam pasal 52 ayat 2 dan 3 berlaku terhadap peraturan-peraturan yang dimaksud
dalam ayat 1 pasal ini.
Pasal 54
Berhubung dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal 21 dan 26, maka jika seseorang yang disamping
kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok telah
menyatakan menolak kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok itu yang disahkan menurut
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, ia dianggap hanya berkewarnegaraan Indonesia
saja menurut pasal 21 ayat 1.
Pasal 55
(1) Hak-hak asing yang menurut Ketentuan Konversi pasal I, II, III, IV, dan V dijadikan hak guna usaha
dan hak guna bangunan hanya berlaku untuk sementara selama sisa waktu hak-hak tersebut, dengan
jangka waktu paling lama 20 tahun.
(2) Hak guna usaha dan hak guna bangunan hanya terbuka kemungkinannya untuk diberikan kepada
badan-badan hukum yang untuk sebagian atau seluruhnya bermodal asing, jika hal itu diperlukan oleh
undang-undang yang mengatur pembangunan nasional semesta berencana.
Pasal 56
Selama Undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat 1 belum terbentuk,
maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan
lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang
dimaksud dalam pasal 20, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan
Undang-undang ini.
Pasal 57
Selama Undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut dalam pasal 51 belum terbentuk, maka
yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek tersebut dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Indonesia dan Credietverband tersebut dalam S. 1908-542 sebagai yang telah diubah
dengan S. 1937-190.
Pasal 58
Selama Undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut dalam pasal 51 belum terbentuk, maka
peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis mengenai bumi dan air serta
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hak-hak atas tanah, yang ada pada mulai
berlakunya Undang-undang ini, tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dari
ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini serta diberi tafsiran yang sesuai dengan itu.
KEDUA
KETENTUAN-KETENTUAN KONVERSI
Pasal 1
(1) Hak eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini sejak saat tersebut
menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyai tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam
pasal 21.
(2) Hak eigendom kepunyaan Pemerintah Negara Asing, yang dipergunakan untuk keperluan rumah
kediaman Kepala Perwakilan dan gedung kedutaan, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini
menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat 1, yang akan berlangsung selama tanahnya
dipergunakan untuk keperluan tersebut di atas.
(3) Hak eigendom kepunyaan orang asing, seorang warganegara yang disamping kewarganegaraan
Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing dan badan-badan hukum, yang tidak ditunjuk oleh
Pemerintah sebagai dimaksud dalam pasal 21 ayat 2 sejak mulai berlakunya Undang-undang ini
menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat 1 dengan jangka waktu 20 tahun.
(4) Jika hak eigendom tersebut dalam ayat 1 pasal ini dibebani dengan hak erfpacht, maka hak opstal
dan hak erfpacht itu sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak guna bangunan tersebut
dalam pasal 35 ayat 1, yang membebani hak milik yang bersangkutan selama sisa waktu hak opstal
atau hak erfpacht tersebut di atas, tetapi selama-lamanya 20 tahun.
(5) Jika hak eigendom tersebut dalam ayat 3 pasal ini dibebani dengan hak opstal atau hak erfpacht,
maka hubungan antara yang mempunyai hak eigendom tersebut dan pemegang hak opstal atau hak
erfpacht selanjutnya diselesaikan menurut pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Agraria.
(6) Hak-hak hypotheek, servituut, vruchtgebruik dan hak-hak lain yang membebani hak eigendom
tetap membebani hak milik dan hak guna bangunan tersebut dalam ayat 1 dan 3 pasal ini, sedang
hak-hak tersebut menjadi suatu hak menurut Undang-undang ini.
Pasal II
(1) Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud
dalam pasal 20 ayat 1 seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai
berlakunya Undang-undang ini, yaitu: hak agrarisch eigendom, milik, yasan, andarbeni, hak atas
druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant Sultan, landerijenbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak
usaha atas bekas tanah partikelir dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan
lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak milik tersebut
dalam pasal 20 ayat 1, kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut
dalam pasal 21.
(2) Hak-hak tersebut dalam ayat 1 kepunyaan orang asing, warganegara yang disamping
kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing dan badan hukum yang tidak
ditunjuk oleh Pemerintah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 21 ayat 2 menjadi hak guna usaha
atau hak guna bangunan sesuai dengan peruntukan tanahnya, sebagai yang akan ditegaskan lebih
lanjut oleh Menteri Agraria.
Pasal III
(1) Hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini,
sejak saat tersebut menjadi hak guna usaha tersebut dalam pasal 28 ayat 1 yang akan berlangsung
selama sisa waktu hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun.
(2) Hak erfpacht untuk pertanian kecil yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sejak saat
tersebut hapus dan selanjutnya diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan yang diadakan oleh
Menteri Agraria.
Pasal IV
(1) Pemegang concessie dan sewa untuk perusahaan kebun besar dalam jangka waktu satu tahun
sejak mulai berlakunya Undang-undang ini harus mengajukan permintaan kepada Menteri Agraria,
agar haknya diubah menjadi hak guna usaha.
(2) Jika sesudah jangka tersebut lampau permintaan itu tidak diajukan, maka concessie dan sewa
yang bersangkutan berlangsung terus selama sisa waktunya, tetapi paling lama lima tahun dan
sesudah itu berakhir dengan sendirinya.
(3) Jika pemegang hak concessie atau sewa mengajukan permintaan termaksud dalam ayat 1 pasal
ini tetapi tidak bersedia menerima syarat-syarat yang ditentukan oleh Menteri Agraria, ataupun
permintaannya itu ditolak oleh Menteri Agraria, maka concessie atau sewa itu berlangsung terus
selama sisa waktunya, tetapi paling lama lima tahun dan sesudah itu berakhir dengan sendirinya.
Pasal V
Hak opstal dan hak erfpacht untuk perumahan, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini,
sejak saat tersebut menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat 1 yang berlangsung
selama sisa waktu hak opstal dan erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun.
Pasal VI
Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud
dalam pasal 41 ayat 1 seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai
berlakunya Undang-undang ini, yaitu : hak vruchtgerbruik, gebruik, grant controleur, bruikleen,
ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, dan hak-hak lain dengan nama apapun
juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang
ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat 1, yang memberi wewenang dan kewajiban
sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-undang ini,
sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
Pasal VII
(1) Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap yang ada pada mulai berlakunya Undangundang
ini menjadi hak milik tersebut pada pasal 20 ayat 1.
(2) Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang tidak bersifat tetap menjadi hak pakai tersebut pada
pasal 41 ayat 1, yang memberi wewenang dan kewajiban sebagai yang dipunyai oleh pemegang
haknya pada mulai berlakunya Undang-undang ini.
(3) Jika ada keragu-raguan apakah sesuatu hak gogolan, pekulen atau sanggan bersifat tetap atau
tidak tetap, maka Menteri Agrarialah yang memutuskan.
Pasal VIII
(1) Terhadap hak guna bangunan tersebut pada pasal 1 ayat 3 dan 4, pasal II ayat 2 dan pasal V
berlaku ketentuan dalam pasal 36 ayat 2.
(2) Terhadap hak guna usaha tersebut pasal II ayat 2, pasal III ayat 1 dan 2 dan pasal IV ayat 1
berlaku ketentuan dalam pasal 30 ayat 2.
Pasal IX
Hal-hal yang perlu untuk menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal di atas diatur
lebih lanjut oleh Menteri Agraria.
KETIGA
Perubahan susunan pemerintahan desa untuk menyelanggarakan perombakan hukum agraria
menurut Undang-undang ini akan diatur tersendiri.
KEEMPAT
A. Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari Swapraja atau bekas Swapraja yang
masih ada pada waktu mulai berlakunya Undang-undang ini hapus dan beralih kepada Negara.
B. Hal-hal yang bersangkutan dengan ketentuan dalam huruf A di atas diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
KELIMA
Undang-undang ini dapat disebut Undang-Undang Pokok Agraria dan mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini
dengan penetapan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 24 September 1960
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
(Sukarno)
Diundangkan
pada tanggal 24 September 1960
SEKRETARIS NEGARA
ttd
(Tamzil)
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEBAGAI WAHANA MEMBANGUN KARAKTER WARGA NEGARA DEMOKRATIS
A.PENDAHULUAN
Karakter
warga negara yang baik merupakan tujuan universal yang ingin dicapai dari
pendidikan kewarganegaraan di negara-negara mana pun di dunia.Sebagai contoh,di
kanada pembentukan karakter warga negara yang baik melalui pendidikan
kewarganegaraan diserahkan kepada pemerintah negara-negara bagian.Dalam konteks
indonesia,di era orde baru pembentukan karakter warga negara tampak ditekankan
kepada mata pelajaran seperti pendidikan moral pancasila (PMP), maupun
pendidikan pancasila dan kewarganegaraan (PPKn) bahkan pendidikan sejarah
perjuangan bangsa (PSPB).Di era pasca orde baru,kebijakan pendidikan karakter
pun ada upaya untuk menitipkanya melalui pendidikan agama di samping pendidikan
kewarganegaraan.
Persoalan
apakah nilai-nilai pembangunan karakter yang di ajarkan dalam setiap mata
pelajaran harus bersifat ekplisit atau kah implisit saja,ini perlu dilakukan
agar dapat dipahami betapa pentingnya pendidikan kewarganegaraan di setiap
periode kehidupan bernegara di indonesia untuk membangun warga negara yang baik
meskipun dengan aksentuasi yang berbeda.
B.RINGKASAN ISI BAB
A. Pembangunan
Karakter Berbasis Pendidikan Kewarganegraan
Perkembangan pendidikan kewarganegaraan di indonesia
mengalami perubahan naik turun dari nama pelajaran,muatan,isi kurikulum,maupun
buku teks serta inivasi pembelajarannya.
Ada
beberapa konsep tentang pendidikan kewarganegaraan,Cogan (1998:5) mengartikan
pendidikan kewarganegaraan berperan penting sebagai penyiapan generasi muda
(siswa) untuk menjadi warga negara yang memiliki identitas dan kebangaan
nasional,serta memiliki pengetahuan dan kecakapan serta nilai-nilai yang
diprlukan untuk menjalankan hak dan kewajibannya.
Penelitian IEA terhadap implementasi pendidikan
kewarganegraan di 28 negara secara umum ditemukan bahwa komponen pendidikan
kewarganegaraan meliputi aspek civiv knowledge,civic engagement dan civic
attitudes serta konsep lainnya (Torney-purta,et.al,2001:179).
Pada
tahun 1990-an,pendidikan kewarganegaraan di sejumlah negara di pahami secara
berbeda-beda.Dari kajian Print (1999;2000) terhadap pelaksanaan pendidikan kewarganegraan
di asia dan pasifik,ditemukan ada yang menyebut pendidikan kewarganegaraan
sebagai civic education yang mencakup kajian tentang
pemerintahan,konstitusi,rule of law,serta hak dan tanggung jawab warga negara.Untuk
lainnya,pendidikan kewargenegaraan disebut dengan citizenship education dengan
cakupan dan penekanan meliputi proses demokrasi,parisipasi aktif warga negara
dan keterlibatan warga negara dalam suatu civil society.Namun kajian civic
education memasikan pembelajaran yang berhubungan dengan institusi-institusi
dan sistem yang melibatkan pemerintah,budaya politik,proses demokrasi,hak &
tanggung jawab warga negara,administrasi publik dan sistem peradilan (Print,
1999;2000).
B. Pembentukan
Karakter Warga Negara Era Orde Baru
Dalam kasus rezim orde baru di indonesia,pembentukan
karakter warga negara secara eksplisit dimuat dalam produk politik tertinggi
lembaga negara,MPR ,berupa GBHN yang pada gilirannya diterjemahkan ke dalam
produk policy operasional bidang pendidikan oleh kementrian pendidikan dalam
setiap kabinet pembangunan di bawah presiden soeharto.
Hal menarik dari tujuan pendidikan nasional selam
orde baru ialah bagaimana pendidikan nasional mampu melahirkan manusia-manusia
pembangunan,memiliki karakter diantaranya adalah:sehat jasmani dan
rohani,memiliki pengetahuan dan keterampilan,sikap demokrasi dan penuh dengan
tenggang rasa,cerdas,berbudi pekerti yang luhur,bekerja keras,inovatif dan
kreatif,berkepribadian,dll.
Selama
periode orde baru,pendidikan sebagai instrumen pembentukan karakter warga
negara menampakan wujudnya dalam standarisasi karakter warga negara.Standarisasi
itu mencerminkan civic virtues (kebijakan-kebijakan warga negara) yang
disajikan dalam mata pelajaran PMP dan atau PPKn denan memasukan tafsir
pancasila menurut P4 sebagai kontennya.Dibidang pendidikan,konsekuensi P4
sebagai keharusan pedoman atau arah tingkah laku warga negara sangat membebani
misi pendidikan kewarganegaraan dalam PMP maupun PPKn.
Dari
gambaran tersebut,nilai-nilai yang menjadi materi pokok buku pembelajaran PMP
dan PPKn berasal dari atas (rezim yang sedang berkuasa),bukan dari kehendak
masyarakat pendidikan (arus bawah).Konsekuensinya nilai-nilai yang menjadi
meteri pembelajaran pun cenderung distortif dan jauh dari aspirasi ilmiah
(keilmuan),sehingga PMP ataupun PPKn terkesan tidak jjauh beda dengan mata
pelajarab civics atau pun kewargaan negara pada masa rezim soekarno 1960an yang
cenderung indoktrinatif.
Di
indonesia pendidikan nilai yang mengejawantahkan civic virtues dalam proses
pembelajaran datang dari atas (top down) pengalaman indonesia tersebut
memperkuat anggapan bahwa pendidikan kewarganegaraan sangat kuat dipengaruhi
oleh kepentingan politik.
C. Pembentukan
Karakter Warga Negara Era Reformasi
Di masa transisi setelah ketetapan MPR tentang P4
dicabut pada sidang istimewa MPR November 1998,pendidikan kewarganegaraan
sebagaimana mata pelajaran lainnya pun mengalami reposisi dan revitalisasi.Reposisi
yang dimaksud ialah penyempurnaan beban pembelajaran dan struktur kurikulum
untuk semua satuan pendidikan.Revitalisasi tampak dengan digulirkanya kurikulum
berbasis kompetensi sebagai penganti model kurikulum sebelumnya yang sarat
dengan beban meteri pelajaran.
Kajian pendidikan kewarganegraan pada awal reformasi
di indonesia mulai diperkenalkan menjelang 2004 dikenal sebagai KBK .Oleh
banyak kalangan,pendidikan kewarganegaraan Dinilai sangat kering dengan muatan
nilai moral,khususnya nilai moral pancasila,namun sangat erat dengan kajian
konsep-konsep politik dan hukum.Cakupan substasi kajian dan kompetensi
kewarganegraan yang diharapkan dari PKN itu sendiri yaitu upaya pembentukan
warga negara yang baik (good citizen) dalam warga negara demokratis yang
bertanggung jawab dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan sistem politik
negaranya,direduksi hanya menjadi semata-mata menghapal nilai-nilai moral.
Mata
pelajaran pendidikan kewarganegaraan secara normatif dimaksudkan untuk
membentuk warga negara yang cerdas,terampil,dan berkarakter baik,serta setia kepada
bangsa dan negara indonesia berdasarkan pada pancasila dan UUD 1945.Sedangkan
tujuan mata pelajaran PPKn ialah untuk membentuk kemampuan:
1. Berfikir
secara kritis,rasional,dan kreatif dalam menaggapi isu kewarganegaraan.
2. Berpartisipasi
secara cerdas dan bertanggung jawab.
3. Pembentukan
diri yang didasarkan karekter-karakter positif yang demokratis.
Secara
internal,perubahan politik melalui gerakan reformasi nasional telah mendorong
pembaharuan pendidikan kewarganegraan sebagai bagian dari gerakan reformasi
pendidikan nasional secara keseluruhan.Pilihan reformasi pendidikan
kewarganegaraan tidak semata-mata merubah paradigma kajian yang menekankan
kepada penguasaan subject matters yang dominan aspek afektif.Tetapi reformasi
berarti juga bergeser (berganti) kepada paradigma kajian yang menekankan kepada
penguasaan kompetensi kewarganegaraan bagi siswa meliputi aspek
pengetahuan,aspek keterampilan/kecakapan dan perilaku (Samsuri,2010).
D. Pengembangan
Karakter Warga Negara Demokratis
Bagaimanapun pada hakekatnya,pendidikan
kewarganegaraan di negara manapun di dunia,yang menjadi great ought-nya ialah
dasar sistem politik dari negara yang bersangkutan.Indonesia sudah pasti bahwa
dasar kehidupan berbangsa bernegaranya ialah pancasila,yang dengan sendirinya pendidikan
kewarganegaraan sebagai upaya pembentukan warga negara yang akan mendasarkan
diri kepada pancasila sebagai dasar negara.Sebagaimana diketahui P4 merupakan
materi pokok dari pendidikan kewarganegaraan selama orde baru.Penjelasan ini
memperlihatkan bahwa reformasi pendidikan khususnya pendidikan kewarganegaraan
tidak dapat dilepaskan dari kepentingan politik nasional.Dengan demikian,sistem
politik sangat kuat mempengaruhi arah politik pendidikan.
(Samsuri,2010:204-205).
Mengikuti
rumusan john J.Patrick (1999),peran warga negara baik secara individual maupun
kelompok seperti di lembaga-lembaga kemasyarakatan,dalam perumusan dan
pengambilan keputusan untuk kebijakan
publik merupakan salah satu karakteristik dari sebuah negara demokrasi.Melalui
keterlibatan warga dalam partisipasi publik,warga negara mengembangkan
pengetahuan,kecakapan,kebijakan dan kebiasaan yang membuat demokrasi dapat
bekarja.
Pendekatan
contextual teaching and learning (CTL) atau dengan model portofolio merupakan
pilihan model pembelajaran yang sekarang sering dipilih sebagai model
pembelajaran pendidikan kewarganegaraan.Dalam model portofolio yang dalam
praktik merupakan penerjemahan model project citizen banyak melatih dan
menumbuhkan karakter warga negara tang ideal (demokratis).Nilai-nilai
demokratis,partisipatif,kerjasama,peduli dan peka terhadap persoalan publik di
sekitar siswa,serta belajar otentik terhadap persolan kewargaan dan publik
merupakan sesuatu yang dikembangkan dalam project citizen.
C.ANALISIS
Upaya pembentukan warga negara yang baik sebagaimana
diidealkan oleh tujuan pendidikan kewarganegaraan,di indonesia mengalami
berbagai bentuk penafsiran dalam setiap kebijakan pendidikan nasionalnya.Corak
pembentukan warga negara selam ORBA di nilai gagal melahirkan masyarakat yang
demokratis,mandiri, kritis dan partisipatif.Pembentukan karakter manusia
pembangunan sebagai upaya membangun insan pancasilais terkalahkan oleh realitas
kehidupan politik dan kehidupan kewargenegraan yang cenderung
korup,kolutif,nepotis.
Pembahasan kebijakan
pendidikan kewarganegraan pada awal era reformasi memperlihatkan bahwa sebgai
bagian reformasi pendidikan nasinal,pendidikan kewarganegaraan telah bergeser
dari pendekatan materi pendidikan nilai-nilai sebagaimana tampak dalam PMP dan
PPKn,kepada pendekatan kompetensi kewarganegaraan dan pendekatan
keilmuan.Pendekatan kompetensi kewarganegaraan berupaya membangun
kecakapan-kecakapan yang harapanya dimiliki peserta didik sebgai warga negara
muda yang kritis,rasional dan partisipatif.Pendekatan keilmuwan menjadikan
pendidikan kewarganegaraan memfokuskan diri kepada induk keilmuwan civics yaitu
ilmu politik.Implikasi pendekatan ini ialah bahwa pendidikan
kewarganegaraan sedapat mungkin
mendasrkan diri kepada kepentingan nilai-nilai sistem politik nasional,dan
bukannya bergantung kepada politik rezim.Dengan demikian,setiap perubahan dan
pembaharuan pendidikan kewarganegaraan seyogianya tidak bergantung kepada
perubahan rezim mana yang tengah berkuasa (Samsuri,2010:199-200).
Senin, 09 Juli 2012
Demokrasi Pancasila
·
Peran Parpol
Paska dibubarkannya PKI,perebutan kekuasaan di
indonesia berlangsung kontroversional.hal ini dapat di lihat dalam perumusan UU
pemilu yang molor begitu panjang,yaitu rentan waktu Desember sampai 22 November
1969.Kondisi ini terang saja kurang menguntungkan bagi partai-partai lain
selain Golkar,sebab golkar selain mendapat perlakuan yang istimewa dari
pemerintah,juga mendapatkan back-up dari militer.
Adapun pemilu yang diselenggarakan pada tanggal 3
juli 1971 diikuti oleh 10 partai politik. Pada perkembangan berikutnya satu hal
yang cukup menyakitkan bagi indonesia di era orde baru adalah adanya kebijakan
penciutan kontestan partai politik dan penyeragaman asas. Jika pemilu 1955
diikuti oleh banyak partai pemilu 1971 diikuti 10 partai politik maka pada
pemilihan umum 1977 hanya diikuti oleh 3 partai politik yakni PPP, PDI dan
GOLKAR. Ini merupakan perkembangan dari gagasan fungsi partai yang dilakukan
oleh ORBA.
Salah satu strategi politik yang dipakai oleh ORBA
adalah mewujudkan stabilitas politik. Sebagai jalan atas tujuan stabilitas
politik itu, ORBA mengukuhkan manufernya dengan cara menyederhanakan pluralisme
ideologi partai-partai menjadi 2 partai paketan. Pertama PPP dengan lambang
ka’bah untuk menampung nahdatul ulama’ partai muslimin indonesia PERTI. Kedua
PDI menghimpun 5 partai yaitu PNI, IPKI, MURBA, partai katolik dan partai
kristen indonesia.
Sementara itu PPP dan PDI justru mengalami keretakan
internal paska pemilu 1982 ditubuh PDI soliditas pengurus partai terganggu 4
pejabat terasnya yang terkenal dengan empat serangkai direcall dari DPR sebalum
akhirnya dipecat secara tidak hormat akibat banyaknya perpecahan yang terjadi
banyak program partai yang tidak berjalan.
·
Peran Badan Legeslatif
Ø Peran
DPR
Dalam suasana menegakkan orde baru sesudah
terjadinya G.30 S/PKI,DPR-GR mengalami perubahan,baik mengenai keanggotaan
maupun wewenangnya.Anggota PKI dikeluarkan,sedang partai politik lainnya
memakai hak recallnya untuk mengganti anggota yang dianggap tersangkut dalam atau
bersimpati dengan anggota PKI,dengan wakil lain.Susunan keanggotaan DPR-GR
menjadi jumlah total 242 anggota.Di antaranya 102 merupakan anggota
parpol,antara lain 44 anggota PNI dan 36 anggota NU,selebihnya anggota beberapa
partai kecil.Di samping itu ada 140 anggota Golongan Karya (ABRI).selain dari
itu diusahakan supaya tat kerja DPR-GR lebih sesuai dengan ketentuan-ketentuan
UUD 1945,terutama yang menyangkut kontrolnya.
Mengenai soal mengambil kepitusan,sistem
musyawarah/mufakat masih dipertahankan dengan ketentuan bahwa keputusan harus
diambil oleh anggota DPR sendiri (tanpa campur tangan dari presiden). DPR-GR demokrasi pancasila telah
menyelesaikan 82 buah undang-undang, yang terpenting diantaranya adalah No.15
tahun 1969 tentang pemilihan umum anggota-anggota badan permusyawaratan rakyat,
perwakilan rakyat, No.16 tahun 1969 tentang susunan dan kedudukan MPR,DPR dan
DPR daerah menyelesaikan 7 buah resolusi, 9 buah pernyataan pendapat dan 1 buah
angket guna menyederhanakan efesiensi kerja para anggota dalam melaksanakan
tugasnya sebagai wakil rakyat maka dibentuk fraksi dalam DPR RI. Pengertian
fraksi menurut peraturan tata tertib DPR RI adalah pengelompokan DPR RI yang
mencerminkan konstelasi pengelompokan politik dalam masyarakat yang terdiri
dari unsur-unsur golongan karya dan golongan politik.
Sebagai hasil pelaksanaan tugas DPR RI diatas sejak
tanggal 2 oktober 1971 s/d 27 april 1976 telah menghasilkan 34 undang-undang, 3
buah memorandum dan 4 buah unsul pernyataan pendapat. Berbeda dengan DPR-GR demokrasi
pancasila yang unuk melaksanakan tugas membentuk undang-undang dibentuk bagian
dan untuk melaksanakan tugas pengawasan dibentuk komisi maka dalam melaksanakan
kedua bentuk tugas tersebut DPR RI hanya membentuk komisi yang jumlahnya,
termasuk komisi APBN adalah 11 buah.
Sama halnya DPR-GR demokrasi pancasila dalam hal
pengambilankeputusan masih tetap diutamakan (tanpa campur tangan presiden) dan
baru apabila tidak mungkin maka keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
Ø Peran
MPR
Sebagai
majelis transisi (yaitu perubahan dari masa demokrasi terpimpin ke demokrasi
pancasila atau dari masa orde lama ke orde baru, dimana banyak anggotanya yang
mengalami pemecatan karena dianggap terlibat dalam gerakan 30 S PKI) waktu
sidang umum ke IV dijakarta jumlah anggotanya hanya sebanyak 545 orang saja
terdiri dari anggota DPR 241 orang, utusan daerah 110 orang dan utusan golongan
karya 194 orang. Sidang istimewa jumlah anggotanya 660 orang, sedang pada
sidang ke V jumlah anggotanya menjadi 828 orang.
Pimpinan
majelis pada masa demokrasi pancasila ini juga melembaga tetapi lepas dari
pengaruh/kekuasaan presiden karena menurut undang-undang No.10 tahun 1966
tentang kedudukan MPR dan DPR-GR pasal 19 pimpinan MPRS tidak dirangkap dengan
jabatan-jabatan presiden, wakil presiden, menteri, jaksa agung, ketua dan
hakim-hakim anggota mahkamah agung, ketua dan anggota BPK, keua anggota DPA dan
jabatan-jabatan lain. Dengan ketetapan MPRS No.X/MPRS/1966 posisi dan fungsi
sebagaimana diatur oleh UUD 1945. Dengan demikian kedudukan fungsi pimpinan
MPRS masa demokrasi pancasila ini luas sekali, lebih luas dari pimpinan MPRS
demokrasi pancasila dan pimpinan MPR hasil pemilihan umum 1971.
·
Peran badan eksekutif
Dalam masa demokrasi pancasila ketetapan MPRS yang
memberikaan kedudukan presiden seumur hidup kepada ir.soekarno telah dibatalkan
dengan ketetapan MPRS No.XXXXIV 1968 jendral soeharto dipilih oleh MPRS sebagai
presiden. Jabatan wakil presiden sementara tidak diisi. Dalam masa demokrasi
liberal pasca pemerintahan orde baru yaitu pada tahun 1999 praktek
penyelenggaraan pemerintahan mengalami perubahan yang mendasar dari pada yang
sebelumnya terutama selama pemerintahan orde baru. Dalam proses pemilihan pres
dan wapres pada tahun 1999 dilakukan DPR/MPR secara langsung melalui suara
kedalam kotak suara yang disediakan oleh panitia pemilihan pres dan wapres yang
ditetapkan oleh DPR, kemudian kabinetnya dipilih oleh pres dan wapres yang
terpilih pada masa ini kabinet ditetapkan oleh presiden dengan sistem kabinet
nasional. Yaitu dimana para anggota kabinet dipilih oleh presiden dari unsur
partai, proposional dan daerah. Sehingga kabinetnya disebut gotong royong.
Peran TNI
·
TNI pada Masa Orde Lama
Faktor kemerdekaan menjadikan awal keterlibatan militer Indonesia dalam
peran politik, dimasa orde lama, Soekarno mengakomodasi militer diawal
pemerintahannya dan bersitegang dan menjadi faktor penentu lengsernya Soekarno
sebagai presiden. Tampilnya militer dimata masyarakat sebagai aktor penting ”
pengaman ” keutuhan bangsa Indonesia dari aksi radikalisme PKI menjadikan
militer semakin dominan dalam perpolitikan dan aktivitas ekonomi Indonesia
Menurut Yahya A. Muhaimin : semenjak tahun-tahun pertama Republik
Indonesia berdiri, para perwira militer Indonesia sebenarnya sudah mempunyai
kecenderungan untuk berpolitik sebagai prajurit revoludioner. Kecenderungan ini
semakin kuat setelah pada tahun-tahun berikutnya mereka harus mengatasi bukan
hanya ancaman dari luar ( Belanda ) tetapi juga mengatasi peristiwa politik
yang kritis, yaitu teristimewa penculikan politik yang terjadi tanggal 3 Juli
1946 dan pemberontakan komunis di Madiun pada tahun 1948.
·
TNI pada
Masa Orde Baru
Indonesia memasuki babakan politik baru pasca kegagalan kudeta 1965 yang
menandai runtuhnya keseimbangan 3 aktor politik utama dengan kehancuran PKI dan
semakin merosotnya kewibawaan politik Presiden Soekarno. Keberhasilan Angkatan
Darat menumpas kekuatan komunis telah menimbulkan efek psikologis luar biasa
pada masyarakat anti komunis, akan citranya sebagai penyelamat negara dari
rongongan komunis. Setelah kewibawaan politik Presiden Soekarno merosot secara
drastis pada masa-masa pasca kudeta. Sentral kekuatan politik lambat-laun
bergeser dari istana kepresidenan ke Markas Kostrad, dimana Mayjen Soeharto
selaku pemegang kendali efektif atas tentara bermarkas pada waktu itu.
Semakin menguatnya posisi tentara sebagai aktor politik terkuat di
Indonesia pasca kejatuhan Soekarno telah mendorong dilakukannya berbagai upaya
memperkuat posisi dan kelanggengan dominasi politik tentara dalam sistem
politik Indonesia. Pertama, pelembagaan ideologi dwifungsi ABRI.
Konsepsi dwifungsi pertama kali termaktub dalam Sapta Marga ( kode etik dasar
bagi setiap personel tentara Indonesia ) kemudian dipertegas dengan doktrin TNI
Angkatan Darat ” Tri Ubaya Cakti ” yang merupakan hasil seminar angkatan darat
pada April 1965. Doktrin ini kemudian disempurnakan lagi dalam seminar
angkatan darat II agustus 1966. Melalui doktrin itulah untuk pertama kalinya
dirumuskan dwifungsi. Selanjutnya untuk meningkatkan bobot dwifungsi
diperkenalkan doktrin ” Catur Dharma Eka Karma ” pada tahun 1967. agar rumusan
dwifungsi memperoleh landasan yang kuat dan berlaku luas pada masyarakat umum
dikeluarkan UU No.20 tahun 1982 tentang ” Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan
Keamanan Negara ”. Pada pasal-pasalnya disebutkan bahwa, ” Angkatan Bersenjata
mempunyai fungsi sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sebagai kekuatan
sosial.” Dalam menjalankan perananya sebagai kekuatan sosial tentara bertindak
sebagai dinamisator dan stabillisator yang bersama-sama kekuatan sosial lain
memikul tugas dan tanggung jawab mengamankan dan mensukseskan perjuangan bangsa
dalam mengisi kemerdekaan serta meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat
Indonesia. Untuk itu tentara harus ikut serta dalam pengambilan keputusan
mengenai masalah kenegaraan dan pemerintahan.
Kedua, pengembangan sebuah
sistem kontrol internal atas institusi tentara, dimaksudkan untuk mengendalikan
perilaku militer oleh markas besar secara kelembagaan maupun perorangan.
Langkah awal dengan menempatkan seluruh komponen matra: Angkatan Darat, Laut,
Udara dan Kepolisisan dibawah Pangliama Angkatan Bersenjata ( Pangab ).
Kekuatan bersenjata pada setiap matra hanya bisa digerakkan atas peintah
pangab, bukan lagi oleh Panglima masing-masing matra yang hanya berstatus ”
Kepala Staf angkatan ” tanpa memiliki kewenangan operasional. Selanjutnya
memisahkan kewenangan dan tanggung jawab antara Panglima ABRI dan Menteri
Pertahanan dan Keamanan, perubahan ini semakin memperkuat kepemimpinan pusat.
Ketiga, pengembangan
sistem kontrol eksternal terhadap lembaga dan kekuatan politik lain dengan
mengefektifkan struktur organisasi tentara, membangun lembaga kontrol baru
maupun bekerja sama dengan intitusi-institusi pemerintahan lainnya yang banyak
dikepalai oleh orang-orang berlatar belakang ketentaraan baik masih aktif atau
purnawirawan yang dikaryakan pada jabatan-jabatan strategis baik ditingkat
pusat atau daerah seperti menteri, kepala daerah, Dirjen, Sekjen dan Irjen
departemen.
Keempat, pelemahan
terhadap partai politik, parlemen, serta lembaga-lembaga lain yang dianggap
mungkin memiliki kekuatan politik. Setelah berhasil menguasai kekuasaan
politik, tentara mulai membangun kekuatan politik secara mandiri dan otonom.
Pelemahan terhadap partai politik ini pada intinya adalah untuk memandulkan
kekuatan politik mereka sehingga tidak mempunyai kekuatan tawar yang berarti
dalam proses politik. Salah satu upa yang dilakukan adalah pemberlakuan
kebijakan floating mass ( massa mengambang ) dimana masyarakat dilarang
melakukan aktivitas politik selain saat pemilu. Pelemahan terhadap Parlemen
dilakukan dengan menciptakan sistem pemilu tidak fair dan adanya mekanisme
pengangkatan serta proses rekrutmen anggota DPR dirancang untuk membuat merka
patuh terhadap pmrintah dengan cara mngikuti penelitian khusus yang
diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pengawas milik pemerintah. Lembaga lain yang
juga mengalami pelemahan adalah Pers, dengan melakukan pembredelan surat kabar
kritis.
Pada masa orde baru praktek dwifungsi ABRI dijalankan dalam beberapa
pola; pertama, Politik
sentralisasi ditangan eksekutif. Pemerintahan orde baru mengorientasikan diri
kepada negara kuat ( strong state ), untuk membangun negara yang kuat itu, orde
baru membangun elite penguasa yang terdiri dari militer, birokrat, teknokrat
dan pemilik modal. Politik sentralisasi menyebabkan perasaan tertekan dan
tertindas, rakyat putus asa dan meneima apa saja yang diputuskan atau dikatakan
pemerintah pusat. Keadaan ini tidak mendukung perkembangan kehidupan civil
society dan pembangunan politik, khususnya demokrasi, dan sebaliknya cenderung
melahirkan political decay. Kedua,
Pendekatan keamanan menjadi ciri yang menonjol. Orde baru menterjemahkan lebih
lanjut pendekatan keamanan dengan memberikan tanggung jawab tersebut kepada
ABRI. Tanggung jawab tersebut menjadikan ABRI bertindak ” agresif ” terhadap
semua yang dianggapnya membahayakan stabilitas, dan stabilitas sendiri
dipandang sebagai sesuatu yang dinamis. Karena ABRI berperan sangat besar dalam
keamanan, maka hal ini menempatkan ABRI dalam posisi sentral dan menjadi ujung
tombak dalam memutuskan hal-hal menyangkut kehidupan berbangsa dan
bernegara. Ketiga,
Dominasi militer dengan pendayagunaan dan perluasan dwifungsi ABRI. Untuk
menguatkan sentralisasi kekuasaannya, tentara digunakan untuk mendominasi
jabatan-jabatan politik strategis dan membenarkan campur tangan tentara dalam
politik. Pada akhir 1970-an, separuh anggota kabinet dan pertiga jabatan
gubernur dijabat oleh militer. Pada tingkat bupati dan walikota, 56% adalah
militet, direktur jenderal 70%, dan sekretaris menteri 84% diduduki oleh
militer. Vatikiotis menyatakan, ” More importantly, the military dominated the
affairs of every cabinet departement.” sementara itu data yang diperoleh
Jenkins pada tahun 1980, jumlah anggota ABRI yang berada di luar organisasi
militer sebagai berikut: di pemerintahan pusat, menteri dan pimpinan
lembaga tinggi negara 47%, sekretaris jenderal 73,6%, inspektur jenderal 29,5%,
direktur jenderal 70,9%, sekretaris menteri dan wakil menteri 84%. Dipimpinan
daerah, gubernur 70,3%, dan bupati 56,6%. Diperwakilan luar negeri, duta besar
44,4% dan konsul 34,3%. Menurut data Harold Crouch, pada tahun 1968, jumlah
Gubernur yang berasal dari militer sebanyak 17 Gubernur ( 71 % ). Seseudah
pemilihan umum tahun 1971, dari 26 propinsi hanya menyisakan 4 ( 15 % ) posisi
Gubernur untuk orang sipil. Sedangkan pada tingkat kabupaten pada tahun
1969 jumlah Bupati dan Walikota di seluruh Indonesia sebanyak 271. setelah
pemilu 1971 imbangannya mencapai dua pertiga. Sampai dengan tahun 1998,
sebanyak 4000 anggota militer menduduki posisi jabatan sipil. Keterlibatan
militer dalam birokrasi lokal selain melalui jabatan Bupati dan Gubernur adalah
keterlibatan pimpinan militer melalui Muspida dan Muspika yang berfungsi
mengendalikan kehidupan masyarakat daerah terutama dalam kegiatan-kegiatan
politik seperti mobilisasi rakyat untuk pembangunan dan untuk Pemilihan Umum.
Selain memegang posisi strategis pada pemerintahan, militer juga memegang
posisi kunci pada organisasi BUMN, buruh dan golkar. ABRI juga berada
dilembaga legislatif sampai dengan tahun 2004 melalui mekanisme pengangkatan.
Para perwira membentuk fraksi ABRI di MPR, DPR, DPRD Tk I dan DPRD Tk II,
menjalankan fungsi penting seperti menempatkan aspek keamanan dan pertahanan
dalam setiap perdebatan UU, memperjuangkan kebijakan sosial-politik yang
berasal dari pangab. Seringkali kantor anggota Fraksi ABRI di sebuah wilayah
konstituensi menjadi pusat penyelesaian sejumlah persoalan lokal yang tidak
bisa dilakukan melalui badan legislatif setempat. Keempat, Rendahnya apresiasi terhadap supremasi hukum dan
hak asasi manusia. Hukum dan undang-undang dibuat secara tidak adil dan lebih
banyak untuk memenuhi kepentingan politik dan ekonomi bagi kelompok-kelompok
yang mempunyai kekuasaan kelas berat. Hukum tidak melindungdi masyarakat tetapi
merugikan masyarakat.Apresiasi hukum yang rendah mengakibatkan banyaknya
pelanggaran yang terjadi. Seperti, kasung TanjungPriuk atau kasusu Warsidi di
Lampung, serta pembunuhan aktivis buruh Marsinah di Sidoarjo. Kelima, Otoritas birokrasi yang berlebihan, kelompok elite yang terdiri
dari unsur militer, sipil, teknokrat dan kaum kapitalis melakukan berbagai cara
untuk mempertahankan, memperkuat dan memperluas kekuasaan dengan menghalangi
partisipasi politik dan membatasi partisipasi ekonomi rakyat, serta
menyingkirkan pengaruh massa melalui depolitisasi, mobilisasi dan represi.
Pada Pemerintahan orde baru militer tidak hanya mendominasi peran
sosial-politik, akan tetapi tentara sangat leluasa menjalankan praktek-praktek
bisnis militernya secara legal dengan ditetapkannya UU Yayasan No.16 tahun
2001. Kecilnya anggaran militer baik khususnya untuk kesejahteraan prajurit
dijadikan alasan kuat prektek ini, Panglima TNI mengatakan ’..suatu saat,
sebagaimana diharapkan oleh segenap masyarakat Indonesia, pemerintah akan
mempunyai kemampun untuk menutup seluruh kesejahteraan masyarakat termasuk
prajurit-prajurit TNI beserta keluarganya, maka saat itu, TNI bertekad untuk
meninggalkan sepenuhnya kegiatan bisnis yang dikelolanya…”, Panglima TNI
Jenderal Endiarto Sutarto mengungkapkan bisnis militer menjadi andalan TNI
untuk mendukung kesejahteraan selama ini, oleh karenanya penghapusan bisnis
militer harus diimbangi dengan peningkatan anggaran TNI dalam APBN, dari
kebutuhan ideal per tahun 44-46 Rp. Triliun ( Jawapos, 19 maret 2005 ).
Akan tetapi dalam realitanya praktek bisnis militer hasilnya hanya
dinikmati pada tataran perwira saja. Hampir 52 tahun bisnis militer
berlangsung, akan tetapi sekian lama bisnis itu dilakukan tanda-tanda
kesejahteraahn prajurit pun tidak menunjukan perubahan, ada kesenjangan yang
amat tajam antara kesejahteraan kopral dengan jenderal. Dalam sebuah
wawancara dengan majalah tempo tertanggal 15 september 2002, Gubernur DKI
jakarta Sutiyoso mengatakan sebelum menjadi gubernur dirinya sudah kaya, karena
pernah menjadi Panglima Kodam, Komandan Korem dan Kepala Staf Kodam,
besaran kekayaan dikalangnan kaum serdadu mengikuti hierarki kepangkatan dan
jabatannya.
·
REFORMASI
INTERNAL TNI
Sejak jatuhnya pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden
Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 oleh gerakan mahasiswa yang mengatasnamakan
diri sebagai gerakan reformasi, maka posisi ABRI dalam peta perpolitikan di
Indonesia ikut jatuh pula. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa ABRI adalah
kekuatan politik Orde Baru bersama Golkar. Jatuhnya Orde Baru berarti jatuhnya
ABRI sebagai penyangga pemerintah karena ABRI selama orde baru lebih identik
dengan alat pemerintah yang berkuasa daripada alat penyangga negara dari segala
ancaman. Kecenderungan ABRI yang lebih mementingkan dan memelihara kekuasaan
membawa ABRI terjebak pada pola-pola pendekatan yang bersifat refresif.
Sehingga pada momentum yang tepat yaitu pada saat
jatuhnya pemerintah Orde Baru meledakkan semua akumulasi pelanggaran ABRI pada
masa lalu tersebut. ABRI dibenci dan dihujat oleh rakyat karena dianggap lebih sebagai pelindung dan
pengamat Orde Baru selama 32 tahun daripada pelindung dan pengayom rakyat.
1.
Era B.J.Habibie
Pada masa transisi di bawah Presiden B.J. Habiebie banyak
perubahan-perubahan penting terjadi dalam tubuh ABRI, terutama dalam tataran
konsep dan organisatoris. Seiring dengan arus deras Demokratisasi dan dengan
melihat keadaan lingkungan strategis dalam negeri yang menghendaki adanya
berbagai tuntutan tersebut, akhirnya ABRI menyadari segera menyadari untuk
segera melakukan reformasi Internal seperti diamanatkan dalam ketetapan MPR
No.X/MPR/’98 tentang pokok-pokok reformasi pembangunan dalam rangka
penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sebagai haluan negara, utamanya
tentang agenda penyesuaian implementasi dwi fungsi TNI dengan paradigma baru
peran TNI dalam masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pemerintahan Hebibie juga membuat kebijakan awal
untuk memisahkan institusi ABRI dengan institusi Kepolisian. Pada era ini pula,
dikarenakan desakan yang kuat dari masyarakat, Mabes TNI mengeluarkan kebijakan
reformasi internal militer diantaranya : pertama, perubahan paradigm
shift sebagai penyesuaian peran sosial-politik ABRI ( belum penghapusan
sebagaimana desakan masyarakat ) dimana ABRI berupaya mengubah posisi dan
metode tidak harus selalu di depan, ABRI mengubah konsep menduduki menjadi
mempengaruhi dan mengubah cara mempengaruhi secara langsung menjadi tidak
langsung serta bersedia melalukan political role sharing dalam pengambilan
keputusan penting kenegaraan dengan komponen bangsa
lainnya. Kedua, perubahan nama ABRI menjadi TNI sebagai upaya
mengubah citra karen nama ABRI lebih berkonotasi pada security approach
sementara TNI lebih mmpunyai latar belakang historis dengan kedekatannya dengan
rakyat. Ketiga, pemutusan hubungan organisatoris dengan partai Golkar
dan menegaskan netralitasnya pada pemilu tahun 1999.
Reformasi TNI juga mensyaratkan bahwa para prajurit TNI
diperlakukan sama di muka hukum. Namun, perubahan mengenai posisi TNI di depan
hukum baru sebatas dalam bentuk ketentuan prinsip yang menyatakan bahwa
“prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum
pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran
hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”. Namun, ketentuan baru
dapat dinyatakan berlaku hanya setelah “undang-undang tentang Peradilan Militer
yang baru diberlakukan”. Selama undang-undang Peradialn Militer yang baru belum
dibentuk, prajurit “tetap tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer”. Dengan kata lain, prajurit TNI yang melanggar hukum
pidana umum tetap masih diadili di peradilan militer karena sampai sekarang
undang-undang Peradilan Militer yang baru masih belum dibentuk.
2.
Era Abdurrahman Wahid
Reformasi militer terkait peran
militer pada masa Abdurrahman Wahid memiliki beberapa terobosan baik bersifat
substansial ataupun operasional diantaranya :
a. Pemisahan Kementerian
Pertahanan ( Menhan ) dan Kementerian Keamanan
Hal yang pertama dilakukan Gus Dur ketika
menjadi Presiden adalah penataan institusi militer dengan memisahkan jabatan
Menteri Pertahanan dan Kementerian Kordinator Politik dan Keamanan. Seperti
diketahui selama puluhan tahun era Orde Baru pucuk pimpinan angkatan bersenjata
dipegang oleh satu orang yakni Menhankam/Pangab ( Menteri Pertahanan dan
Keamanan/ panglima ABRI ). Pemisahan ini dimaksudkan untuk membatasi militer
dari persoalan internal negara, dengan posisi pertahanan mengonsentrasikan
militer dari ancaman atau intervensi negara lain.
b. Mengangkat tokoh-tokoh sipil
untuk jabatan Menteri Pertahanan
Gus Dur mempelopori penempatan
pejabat sipil sebagai Menteri Pertahanan setelah selama puluhan tahun jabatan
itu dijadikan domain militer, dengan menunjuk Yuwono Sudarsono. Kebijakan ini
kemudian dilanjutkan oleh Presiden Megawati maupun Susilo Bambang
Yudhoyono. Menurut Mahfudz MD ada dua alasan, mengapa jabatan
Kementerian Pertahanan harus diisi sipil. Pertama, ke depan sistem pertahanan
nasional (national devence) tidak lagi hanya bertumpu pada kekuatan militer.
Ancaman terhadap pertahanan nasional ke depan jauh lebih kompleks (tidak hanya
bersifat fisik), tetapi juga nonfisik (misal, ancaman ideologi, psikis, kultur,
dan lain-lain). Karena itu, sistem pertahanan nasional harus mencakup berbagai
front (multifront). Kiranya amat tepat jika kementerian ini dipegang oleh figur
dari sipil. Kedua, penempatan sosok sipil pada Dephan juga dimaksudkan untuk
memperketat/menciptakan kontrol sipil atas militer. Presiden terpilih (the
elected politicians) biasanya melakukan kontrol atas institusi militer melalui
kewenangan yang dimiliki Menteri Pertahanan. Di negara-negara maju, bahkan
Malaysia, posisi TNI ada di bawah dan menjadi bagian Kementerian Pertahanan.
c. Penegasan pemisahan
TNI-Polri dan menempatkan lembaga TNI dan Polri di bawah langsung lembaga
kepresidenan
Gagasan pemisahan TNI-Polri muncul
pada masa pemerintahan Habibie, akan tetapi sampai dengan awal tahun 1999
gagasan ini belum terealisasi. Pemisahan TNI-Polri dimaksudkan untuk memperjelas
tugas, wewenang dan tanggung jawab TNI dan Kepolisian.
d. Penghapusan lembaga Badan
Kordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional ( Bakorstanas ) dan Lembaga
Penelitian Khusus ( Litsus )
Kebijakan lain yang diluncurkan Gus
Dur yang bertujuan untuk mengikis hak prerogatif militer adalah penghapusan
Bakorstanas dan Litsus. Kebijakan ini dikeluarkan melalui Keppres No.38 tahun
2000. Malik Haramain ( 2004 ) melihat kebijakan ini sebagai upaya pengurangan
sejumlah hak istimewa TNI. Semakin efektif pengurangan hak istimewa TNI
dilakukan semakin efektif pula kontrol pemerintahan sipil terhadap militer.
Sebab, semakin rendak hak istimewa militer terutama dalam urusan politik, maka
semakin terbuka peluang kontrol sipil diberlakukan.
e. Penghapusan dominasi Angkatan
Darat sebagai Panglima TNI
Keputusan ini tercermin dalam
kebijakan menempatkan Laksamana Widodo AS sebagai Panglima Angkatan Bersenjata
( Pangab TNI ). Kebijakan ini sebagai upaya menciptakan tradisi baru dalam
pengisian jabatan di tubuh TNI yang selama ini selalu menjadi jatah Angkatan
Darat. Penempatan orang Angkatan Laut ( AL ) diposisi tertinggi dalam hirarki
kemiliteran sebagai usaha memecahkan mitos bahwa Angkatan Darat lebih cocok dan
lebih berhak untuk mengisi posisi Pangab, dan dengan kebijakan ini dimungkinkan
terjadinya sharing kekuatan dan kekuasaan antar angkatan di internal TNI.
f. Perumusan TNI dibawah Dephan
Setelah Abdurrahman Wahid mengganti
Juwono Sudarsono dengan Prof. Mahfud MD ada upaya mempersipkan UU pertahanan
untuk menggantikan UU No.20 tahun 1982. Dimana, menurut Mahfud MD, didalam
RUU pertahanan itu terdapat pasal yang mengatur bahwa selurh angkatan yang ada
di TNI berada dibawah Departemen Prtahanan ( Dephan ). Keuntungan TNI
dibawah Dephan antara lain TNI sepenuhnya berada di bawah komando pemerintahan.
Dengan demikian, situasi yang melibatkan konflik militer dengan presiden
seperti sering terjadi akan lebih bisa dikontrol karena komando berada di satu
tangan. Sementara yang terjadi sebelumnya di TNI adalah seluruh komando ada di
tangan Panglima sedangkan dukungan material dan persenjataan dari Dephan.
g. Mutasi Perwira
Langkah lain yang diambil Gus Dur
dalam pembenahan militer adalah kebijakan mutasi perwira , kebijakan ini
membuat hubungan sipil-militer pada era Gus Dur berada eskalasi konflik yang
tinggi. Banyak kalangan menilai langkah-langkah
Gus Dur dalam melakukan mutasi besar-besaran seperti pergantian Pangkostrad
Djaja Suparman oleh Agus Umar Wirahadikusuma, melikuidasi posisi Wakil Panglima
TNI yang ditempati Fachrul Razi dan puncaknya pencopotan Wiranto sebagai
Menkopolkam dianggap intervensi sipil kedalam militer yang terlalu jauh atau
subjective civilian control over mlitary, danmendorong militer
melakukan penolakkan atas keputusan tersebut ( munculnya isu ancaman dari
beberapa jenderal untuk mengundurkan diri, dan akhirnya melakukan
perselingkuhan dengan elit-elit sipil untuk menurunkan Abdurahman Wahid sebagai
presiden.
3. Era
Pemerintahan Megawati
Pengalaman pemerintahan Gus Dur dan
manivestasi militer dalam naiknya Megawati menjadikan penguatan atau
penegakkan supremacy cipilmengalami pelemahan. Rizal Sukma melihat, sejak kejatuhan Gus Dur
ada anggapan di kalangan politisi sipil bahwa kalau tidak menjaga hubungan baik
dengan militer, posisinya lebih gampang digoyang dan rapuh. Akibatnya,
pemerintahan Megawati tidak antusias untuk mendorong reformasi militer. Hal inilah yang menyebabkan pemerintahan Megawati
berhati-hati dalam membuat kebijakan yang menyangkut kepentingan militer
khususnya penegasan peran atau posisi Panglima TNI merupakan subordinasi
pemerintahan sah yang dipilih langsung oleh rakyat.
Pola hubungan sipil-militer pada era
Megawati menggambarkan kelemahan pemerintah dalam menghadapi kehendak militer.
Bahkan George Junus Aditjondro melihat perkembangan militer pada era Megawati
sebagai remiliterisasi, walaupun kondisi ini terjadi bukan semuanya di
karenakan political will pemerintah. George Junus Aditjondro melihat yang
berlangsung pada masa pemerintahan Megawati bukanlah demiliterisasi sebagaimana
desakan banyak pihak, akan tetapi sebaliknya, militer melakukan berbagai cara
untuk kembali berperan layaknya pada pemerintahan orde baru, dikatakan
sedikitnya ada tujuh indikator remiliterisasi di Indonesia. Indikator pertama yang
menandai gejala remiliterisasi adalah meningkatnya kepercayaan diri
konglomerat-konglomerat yang berafiliasi ke militer untuk menunjukan kuku dan
taringnya, kasus teror yang dilakukan Tomy Winata salah satu konglomerat yang
didukung militer terhadap kantor majalah Tempo adalah bukti yang tidak bisa
dinafikan. Indikator yang kedua munculnya perlawanan yang
dilakukan pihak militer terhadap usaha menegakkan ketaatan pada hak-hak asasi
manusia melalui lembaga peradilan, dengan memberikan pembenaran terhadap
militer untuk menggunakan kekuatan bersenjata yang mematikan, dan bukan sekedar
melumpuhkan, dalam sidang pertama kasus Tanjung Priuk denga terdakwa mantan
Kasi Ops II Kodam 0502 Jakarta Utara, Mayor Jenderal Sriyanto, sekitar seratus
orang anggota Kopassus memenuhi sidang lengkap dengan seragam dan baret merah,
ini jelas merupakan usaha memberikan tekanan mental kepada majelis hakim, agar
menjauhkan vonis maksimal.
Indikator ketiga adalah
munculnya 7 RUU yang disahkan atau sedang dibahas parlemen, yang sarat dengan
konsolidasi kekuasaan militer dalam bidang politik dan ekonomi, mulai dari UU
No.16 tahun 2001 tentang Yayasan, UU No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara,
UU No.15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, RUU tentang
Kerahasian Negara, RUU tentang Intelejen, RUU tentang TNI, dan RUU tentang
Tenaga Cadangan Pertahanan, dimana secara menyeluruh atau parsial,
masing-masing UU dan RUU itu mempunyai titik-titik tertentu yang sangat rawan,
karena dapat menjadi senjata pamungkas bagi militer untuk mengkonsolidasikan
kekuasaan politik dan ekonominya.
Indikator keempat adalah
Masuknya sejumlah Purnawirawan kedalam kepengurusan penting didalam
partai-partai besar khususnya. Serta Munculnya tiga orang jenderal sebagai
Capres atau Cawapres. Indikator kelima, menebalnya
kepercayaan diri para purnawirawan ABRI yang makin meningkat menghadapi
kecaman negara adidaya ( Amerika Serikat ). Indikator keenam adalah
perang untuk merebut kembali simpati media dengan aktif melancarkan efensif
ketengah-tengah publik untuk membersihkan nama mereka sekaligus memutihkan
sejarah militer. dan Indikator ketujuh adalah seringnya
organisasi-organisasi non-pemerintah yang memperjuangkan demokratisasi di
berbagai bidang, diserang secara fisik oleh kelompok-kelompok paramiliter yang
baru muncul setelah turunya Soeharto dari singgasana kepresidenan.
Ditengah lemahnya
kontrol sipil atas militer, Megawati mensahkan Undang-Undang No.34 tahun 2004
tentang TNI. Didalamnya ditegaskan profesionalisme TNI yang terlepas dari
aktivitas politik ataupun ekonomi dan berkonsentrasi pada masalah pertahanan..
Pasal 2 ayat e, mendefinisikan tentara profesional sebagai tentara yang
terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak
berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara
yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan
hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Didalam UU ini
juga ditandaskan tentang kordinasi Panglima TNI dan Dephan, disebutkan dalam
pasal 4 ayat 2 bahwa Panglima TNI harus berkordinasi dengan Dephan dalam
kebijakan pertahanan. Namun ketentuan hukum ini tidak menandaskan kejelasan
lebih tegas terlait relasi Panglima TNI dan Departemen Pertahanan.
4. Era Susilo
Bambang Yudhoyono
Banyak pihak khawatir ketika
Letjen Susilo Bambang Yudhoyono terpilih menjadi presiden, mengembalikan
dominasi militer dalam perpolitikkan Indonesia. Akan tetapi, kekhawatiran yang
ada tidak terlalu besar, dikarenakan figur SBY sendiri yang dikenal sebagai
perwira militer yang moderat dan mendukung penghapusan dwi fungsi ABRI serta
perkembangan demokratisasi yang sangat pesat, tidak memberikan celah besar
kepada militer untuk tampil dominan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa
seperti masa Orde Baru. Dalam pembekalan Rapat Pimpinan TNI di Cilangkap.
Selaku Panglima Tertinggi Angkatan Darat, Laut dan Udara, Presiden SBY kembali
menegaskan bahwa militer harus. “...Berhenti bermain politik praktis, hormati
hukum dan HAM, jangan mudah tergoda, petik pelajaran di masa lalu.” Pembaruan,
21/09).
Belum banyak analisa yang dapat
dilakukan untuk melihat arah kebijakan SBY dalam menata institusi militer. Akan
tetapi ada beberapa kebijakan yang bisa menjadi referensi awal. Seperti,
penunjukkan Juwono Sudarsono sebagai Menteri Pertahanan, inventaris bisnis TNI
yang ditargetkan selesai bulan Oktober , kebijakan meningkatkan kesejahteraan
prajurit. serta polemik dalam pergantian Panglima TNI. Dalam pergantian
Panglima TNI, Susilo Bambang Yudhoyono terlihat hati-hati dan masih
mempertimbangkan sosok perwira yang mempunyai loyalitas ketika sudah menjadi
Panglima TNI. Yuddy Crisnandi ( Republika, 5 Oktober 2005) melihat, pada era
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum sepenuhnya menggambarkan hubungan
sipil-militer ideal layaknya gagasan Huntington dalam The Soldier and The
State, yaitu berlangsungnya civillian objective control over military. Sekilas
tampak SBY mengendalikan militer, namun kenyataannya seolah SBY memiliki
kekhawatiran akan loyalitas militernya. Kontroversi pergantian panglima TNI
antara DPR dengan Presiden yang tertunda-tunda, menunjukkan alasan kuat akan
hal itu.
Sumber:
Rawinarno,Tjahyo.(2008).Peran TNI dari Masa ke Masa.Diunduh
Januari 2008, http://newblueprint.wordpress.com/2008/01/14/peran-tni-dari-masa-ke-masa/
Yulianto,Arif (2002).Hubungan Sipil Militer di Indonesia.Jakarta:PT
raja grafindo persada.
Langganan:
Postingan (Atom)