·
TNI pada Masa Orde Lama
Faktor kemerdekaan menjadikan awal keterlibatan militer Indonesia dalam
peran politik, dimasa orde lama, Soekarno mengakomodasi militer diawal
pemerintahannya dan bersitegang dan menjadi faktor penentu lengsernya Soekarno
sebagai presiden. Tampilnya militer dimata masyarakat sebagai aktor penting ”
pengaman ” keutuhan bangsa Indonesia dari aksi radikalisme PKI menjadikan
militer semakin dominan dalam perpolitikan dan aktivitas ekonomi Indonesia
Menurut Yahya A. Muhaimin : semenjak tahun-tahun pertama Republik
Indonesia berdiri, para perwira militer Indonesia sebenarnya sudah mempunyai
kecenderungan untuk berpolitik sebagai prajurit revoludioner. Kecenderungan ini
semakin kuat setelah pada tahun-tahun berikutnya mereka harus mengatasi bukan
hanya ancaman dari luar ( Belanda ) tetapi juga mengatasi peristiwa politik
yang kritis, yaitu teristimewa penculikan politik yang terjadi tanggal 3 Juli
1946 dan pemberontakan komunis di Madiun pada tahun 1948.
·
TNI pada
Masa Orde Baru
Indonesia memasuki babakan politik baru pasca kegagalan kudeta 1965 yang
menandai runtuhnya keseimbangan 3 aktor politik utama dengan kehancuran PKI dan
semakin merosotnya kewibawaan politik Presiden Soekarno. Keberhasilan Angkatan
Darat menumpas kekuatan komunis telah menimbulkan efek psikologis luar biasa
pada masyarakat anti komunis, akan citranya sebagai penyelamat negara dari
rongongan komunis. Setelah kewibawaan politik Presiden Soekarno merosot secara
drastis pada masa-masa pasca kudeta. Sentral kekuatan politik lambat-laun
bergeser dari istana kepresidenan ke Markas Kostrad, dimana Mayjen Soeharto
selaku pemegang kendali efektif atas tentara bermarkas pada waktu itu.
Semakin menguatnya posisi tentara sebagai aktor politik terkuat di
Indonesia pasca kejatuhan Soekarno telah mendorong dilakukannya berbagai upaya
memperkuat posisi dan kelanggengan dominasi politik tentara dalam sistem
politik Indonesia. Pertama, pelembagaan ideologi dwifungsi ABRI.
Konsepsi dwifungsi pertama kali termaktub dalam Sapta Marga ( kode etik dasar
bagi setiap personel tentara Indonesia ) kemudian dipertegas dengan doktrin TNI
Angkatan Darat ” Tri Ubaya Cakti ” yang merupakan hasil seminar angkatan darat
pada April 1965. Doktrin ini kemudian disempurnakan lagi dalam seminar
angkatan darat II agustus 1966. Melalui doktrin itulah untuk pertama kalinya
dirumuskan dwifungsi. Selanjutnya untuk meningkatkan bobot dwifungsi
diperkenalkan doktrin ” Catur Dharma Eka Karma ” pada tahun 1967. agar rumusan
dwifungsi memperoleh landasan yang kuat dan berlaku luas pada masyarakat umum
dikeluarkan UU No.20 tahun 1982 tentang ” Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan
Keamanan Negara ”. Pada pasal-pasalnya disebutkan bahwa, ” Angkatan Bersenjata
mempunyai fungsi sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sebagai kekuatan
sosial.” Dalam menjalankan perananya sebagai kekuatan sosial tentara bertindak
sebagai dinamisator dan stabillisator yang bersama-sama kekuatan sosial lain
memikul tugas dan tanggung jawab mengamankan dan mensukseskan perjuangan bangsa
dalam mengisi kemerdekaan serta meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat
Indonesia. Untuk itu tentara harus ikut serta dalam pengambilan keputusan
mengenai masalah kenegaraan dan pemerintahan.
Kedua, pengembangan sebuah
sistem kontrol internal atas institusi tentara, dimaksudkan untuk mengendalikan
perilaku militer oleh markas besar secara kelembagaan maupun perorangan.
Langkah awal dengan menempatkan seluruh komponen matra: Angkatan Darat, Laut,
Udara dan Kepolisisan dibawah Pangliama Angkatan Bersenjata ( Pangab ).
Kekuatan bersenjata pada setiap matra hanya bisa digerakkan atas peintah
pangab, bukan lagi oleh Panglima masing-masing matra yang hanya berstatus ”
Kepala Staf angkatan ” tanpa memiliki kewenangan operasional. Selanjutnya
memisahkan kewenangan dan tanggung jawab antara Panglima ABRI dan Menteri
Pertahanan dan Keamanan, perubahan ini semakin memperkuat kepemimpinan pusat.
Ketiga, pengembangan
sistem kontrol eksternal terhadap lembaga dan kekuatan politik lain dengan
mengefektifkan struktur organisasi tentara, membangun lembaga kontrol baru
maupun bekerja sama dengan intitusi-institusi pemerintahan lainnya yang banyak
dikepalai oleh orang-orang berlatar belakang ketentaraan baik masih aktif atau
purnawirawan yang dikaryakan pada jabatan-jabatan strategis baik ditingkat
pusat atau daerah seperti menteri, kepala daerah, Dirjen, Sekjen dan Irjen
departemen.
Keempat, pelemahan
terhadap partai politik, parlemen, serta lembaga-lembaga lain yang dianggap
mungkin memiliki kekuatan politik. Setelah berhasil menguasai kekuasaan
politik, tentara mulai membangun kekuatan politik secara mandiri dan otonom.
Pelemahan terhadap partai politik ini pada intinya adalah untuk memandulkan
kekuatan politik mereka sehingga tidak mempunyai kekuatan tawar yang berarti
dalam proses politik. Salah satu upa yang dilakukan adalah pemberlakuan
kebijakan floating mass ( massa mengambang ) dimana masyarakat dilarang
melakukan aktivitas politik selain saat pemilu. Pelemahan terhadap Parlemen
dilakukan dengan menciptakan sistem pemilu tidak fair dan adanya mekanisme
pengangkatan serta proses rekrutmen anggota DPR dirancang untuk membuat merka
patuh terhadap pmrintah dengan cara mngikuti penelitian khusus yang
diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pengawas milik pemerintah. Lembaga lain yang
juga mengalami pelemahan adalah Pers, dengan melakukan pembredelan surat kabar
kritis.
Pada masa orde baru praktek dwifungsi ABRI dijalankan dalam beberapa
pola; pertama, Politik
sentralisasi ditangan eksekutif. Pemerintahan orde baru mengorientasikan diri
kepada negara kuat ( strong state ), untuk membangun negara yang kuat itu, orde
baru membangun elite penguasa yang terdiri dari militer, birokrat, teknokrat
dan pemilik modal. Politik sentralisasi menyebabkan perasaan tertekan dan
tertindas, rakyat putus asa dan meneima apa saja yang diputuskan atau dikatakan
pemerintah pusat. Keadaan ini tidak mendukung perkembangan kehidupan civil
society dan pembangunan politik, khususnya demokrasi, dan sebaliknya cenderung
melahirkan political decay. Kedua,
Pendekatan keamanan menjadi ciri yang menonjol. Orde baru menterjemahkan lebih
lanjut pendekatan keamanan dengan memberikan tanggung jawab tersebut kepada
ABRI. Tanggung jawab tersebut menjadikan ABRI bertindak ” agresif ” terhadap
semua yang dianggapnya membahayakan stabilitas, dan stabilitas sendiri
dipandang sebagai sesuatu yang dinamis. Karena ABRI berperan sangat besar dalam
keamanan, maka hal ini menempatkan ABRI dalam posisi sentral dan menjadi ujung
tombak dalam memutuskan hal-hal menyangkut kehidupan berbangsa dan
bernegara. Ketiga,
Dominasi militer dengan pendayagunaan dan perluasan dwifungsi ABRI. Untuk
menguatkan sentralisasi kekuasaannya, tentara digunakan untuk mendominasi
jabatan-jabatan politik strategis dan membenarkan campur tangan tentara dalam
politik. Pada akhir 1970-an, separuh anggota kabinet dan pertiga jabatan
gubernur dijabat oleh militer. Pada tingkat bupati dan walikota, 56% adalah
militet, direktur jenderal 70%, dan sekretaris menteri 84% diduduki oleh
militer. Vatikiotis menyatakan, ” More importantly, the military dominated the
affairs of every cabinet departement.” sementara itu data yang diperoleh
Jenkins pada tahun 1980, jumlah anggota ABRI yang berada di luar organisasi
militer sebagai berikut: di pemerintahan pusat, menteri dan pimpinan
lembaga tinggi negara 47%, sekretaris jenderal 73,6%, inspektur jenderal 29,5%,
direktur jenderal 70,9%, sekretaris menteri dan wakil menteri 84%. Dipimpinan
daerah, gubernur 70,3%, dan bupati 56,6%. Diperwakilan luar negeri, duta besar
44,4% dan konsul 34,3%. Menurut data Harold Crouch, pada tahun 1968, jumlah
Gubernur yang berasal dari militer sebanyak 17 Gubernur ( 71 % ). Seseudah
pemilihan umum tahun 1971, dari 26 propinsi hanya menyisakan 4 ( 15 % ) posisi
Gubernur untuk orang sipil. Sedangkan pada tingkat kabupaten pada tahun
1969 jumlah Bupati dan Walikota di seluruh Indonesia sebanyak 271. setelah
pemilu 1971 imbangannya mencapai dua pertiga. Sampai dengan tahun 1998,
sebanyak 4000 anggota militer menduduki posisi jabatan sipil. Keterlibatan
militer dalam birokrasi lokal selain melalui jabatan Bupati dan Gubernur adalah
keterlibatan pimpinan militer melalui Muspida dan Muspika yang berfungsi
mengendalikan kehidupan masyarakat daerah terutama dalam kegiatan-kegiatan
politik seperti mobilisasi rakyat untuk pembangunan dan untuk Pemilihan Umum.
Selain memegang posisi strategis pada pemerintahan, militer juga memegang
posisi kunci pada organisasi BUMN, buruh dan golkar. ABRI juga berada
dilembaga legislatif sampai dengan tahun 2004 melalui mekanisme pengangkatan.
Para perwira membentuk fraksi ABRI di MPR, DPR, DPRD Tk I dan DPRD Tk II,
menjalankan fungsi penting seperti menempatkan aspek keamanan dan pertahanan
dalam setiap perdebatan UU, memperjuangkan kebijakan sosial-politik yang
berasal dari pangab. Seringkali kantor anggota Fraksi ABRI di sebuah wilayah
konstituensi menjadi pusat penyelesaian sejumlah persoalan lokal yang tidak
bisa dilakukan melalui badan legislatif setempat. Keempat, Rendahnya apresiasi terhadap supremasi hukum dan
hak asasi manusia. Hukum dan undang-undang dibuat secara tidak adil dan lebih
banyak untuk memenuhi kepentingan politik dan ekonomi bagi kelompok-kelompok
yang mempunyai kekuasaan kelas berat. Hukum tidak melindungdi masyarakat tetapi
merugikan masyarakat.Apresiasi hukum yang rendah mengakibatkan banyaknya
pelanggaran yang terjadi. Seperti, kasung TanjungPriuk atau kasusu Warsidi di
Lampung, serta pembunuhan aktivis buruh Marsinah di Sidoarjo. Kelima, Otoritas birokrasi yang berlebihan, kelompok elite yang terdiri
dari unsur militer, sipil, teknokrat dan kaum kapitalis melakukan berbagai cara
untuk mempertahankan, memperkuat dan memperluas kekuasaan dengan menghalangi
partisipasi politik dan membatasi partisipasi ekonomi rakyat, serta
menyingkirkan pengaruh massa melalui depolitisasi, mobilisasi dan represi.
Pada Pemerintahan orde baru militer tidak hanya mendominasi peran
sosial-politik, akan tetapi tentara sangat leluasa menjalankan praktek-praktek
bisnis militernya secara legal dengan ditetapkannya UU Yayasan No.16 tahun
2001. Kecilnya anggaran militer baik khususnya untuk kesejahteraan prajurit
dijadikan alasan kuat prektek ini, Panglima TNI mengatakan ’..suatu saat,
sebagaimana diharapkan oleh segenap masyarakat Indonesia, pemerintah akan
mempunyai kemampun untuk menutup seluruh kesejahteraan masyarakat termasuk
prajurit-prajurit TNI beserta keluarganya, maka saat itu, TNI bertekad untuk
meninggalkan sepenuhnya kegiatan bisnis yang dikelolanya…”, Panglima TNI
Jenderal Endiarto Sutarto mengungkapkan bisnis militer menjadi andalan TNI
untuk mendukung kesejahteraan selama ini, oleh karenanya penghapusan bisnis
militer harus diimbangi dengan peningkatan anggaran TNI dalam APBN, dari
kebutuhan ideal per tahun 44-46 Rp. Triliun ( Jawapos, 19 maret 2005 ).
Akan tetapi dalam realitanya praktek bisnis militer hasilnya hanya
dinikmati pada tataran perwira saja. Hampir 52 tahun bisnis militer
berlangsung, akan tetapi sekian lama bisnis itu dilakukan tanda-tanda
kesejahteraahn prajurit pun tidak menunjukan perubahan, ada kesenjangan yang
amat tajam antara kesejahteraan kopral dengan jenderal. Dalam sebuah
wawancara dengan majalah tempo tertanggal 15 september 2002, Gubernur DKI
jakarta Sutiyoso mengatakan sebelum menjadi gubernur dirinya sudah kaya, karena
pernah menjadi Panglima Kodam, Komandan Korem dan Kepala Staf Kodam,
besaran kekayaan dikalangnan kaum serdadu mengikuti hierarki kepangkatan dan
jabatannya.
·
REFORMASI
INTERNAL TNI
Sejak jatuhnya pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden
Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 oleh gerakan mahasiswa yang mengatasnamakan
diri sebagai gerakan reformasi, maka posisi ABRI dalam peta perpolitikan di
Indonesia ikut jatuh pula. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa ABRI adalah
kekuatan politik Orde Baru bersama Golkar. Jatuhnya Orde Baru berarti jatuhnya
ABRI sebagai penyangga pemerintah karena ABRI selama orde baru lebih identik
dengan alat pemerintah yang berkuasa daripada alat penyangga negara dari segala
ancaman. Kecenderungan ABRI yang lebih mementingkan dan memelihara kekuasaan
membawa ABRI terjebak pada pola-pola pendekatan yang bersifat refresif.
Sehingga pada momentum yang tepat yaitu pada saat
jatuhnya pemerintah Orde Baru meledakkan semua akumulasi pelanggaran ABRI pada
masa lalu tersebut. ABRI dibenci dan dihujat oleh rakyat karena dianggap lebih sebagai pelindung dan
pengamat Orde Baru selama 32 tahun daripada pelindung dan pengayom rakyat.
1.
Era B.J.Habibie
Pada masa transisi di bawah Presiden B.J. Habiebie banyak
perubahan-perubahan penting terjadi dalam tubuh ABRI, terutama dalam tataran
konsep dan organisatoris. Seiring dengan arus deras Demokratisasi dan dengan
melihat keadaan lingkungan strategis dalam negeri yang menghendaki adanya
berbagai tuntutan tersebut, akhirnya ABRI menyadari segera menyadari untuk
segera melakukan reformasi Internal seperti diamanatkan dalam ketetapan MPR
No.X/MPR/’98 tentang pokok-pokok reformasi pembangunan dalam rangka
penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sebagai haluan negara, utamanya
tentang agenda penyesuaian implementasi dwi fungsi TNI dengan paradigma baru
peran TNI dalam masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pemerintahan Hebibie juga membuat kebijakan awal
untuk memisahkan institusi ABRI dengan institusi Kepolisian. Pada era ini pula,
dikarenakan desakan yang kuat dari masyarakat, Mabes TNI mengeluarkan kebijakan
reformasi internal militer diantaranya : pertama, perubahan paradigm
shift sebagai penyesuaian peran sosial-politik ABRI ( belum penghapusan
sebagaimana desakan masyarakat ) dimana ABRI berupaya mengubah posisi dan
metode tidak harus selalu di depan, ABRI mengubah konsep menduduki menjadi
mempengaruhi dan mengubah cara mempengaruhi secara langsung menjadi tidak
langsung serta bersedia melalukan political role sharing dalam pengambilan
keputusan penting kenegaraan dengan komponen bangsa
lainnya. Kedua, perubahan nama ABRI menjadi TNI sebagai upaya
mengubah citra karen nama ABRI lebih berkonotasi pada security approach
sementara TNI lebih mmpunyai latar belakang historis dengan kedekatannya dengan
rakyat. Ketiga, pemutusan hubungan organisatoris dengan partai Golkar
dan menegaskan netralitasnya pada pemilu tahun 1999.
Reformasi TNI juga mensyaratkan bahwa para prajurit TNI
diperlakukan sama di muka hukum. Namun, perubahan mengenai posisi TNI di depan
hukum baru sebatas dalam bentuk ketentuan prinsip yang menyatakan bahwa
“prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum
pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran
hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”. Namun, ketentuan baru
dapat dinyatakan berlaku hanya setelah “undang-undang tentang Peradilan Militer
yang baru diberlakukan”. Selama undang-undang Peradialn Militer yang baru belum
dibentuk, prajurit “tetap tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer”. Dengan kata lain, prajurit TNI yang melanggar hukum
pidana umum tetap masih diadili di peradilan militer karena sampai sekarang
undang-undang Peradilan Militer yang baru masih belum dibentuk.
2.
Era Abdurrahman Wahid
Reformasi militer terkait peran
militer pada masa Abdurrahman Wahid memiliki beberapa terobosan baik bersifat
substansial ataupun operasional diantaranya :
a. Pemisahan Kementerian
Pertahanan ( Menhan ) dan Kementerian Keamanan
Hal yang pertama dilakukan Gus Dur ketika
menjadi Presiden adalah penataan institusi militer dengan memisahkan jabatan
Menteri Pertahanan dan Kementerian Kordinator Politik dan Keamanan. Seperti
diketahui selama puluhan tahun era Orde Baru pucuk pimpinan angkatan bersenjata
dipegang oleh satu orang yakni Menhankam/Pangab ( Menteri Pertahanan dan
Keamanan/ panglima ABRI ). Pemisahan ini dimaksudkan untuk membatasi militer
dari persoalan internal negara, dengan posisi pertahanan mengonsentrasikan
militer dari ancaman atau intervensi negara lain.
b. Mengangkat tokoh-tokoh sipil
untuk jabatan Menteri Pertahanan
Gus Dur mempelopori penempatan
pejabat sipil sebagai Menteri Pertahanan setelah selama puluhan tahun jabatan
itu dijadikan domain militer, dengan menunjuk Yuwono Sudarsono. Kebijakan ini
kemudian dilanjutkan oleh Presiden Megawati maupun Susilo Bambang
Yudhoyono. Menurut Mahfudz MD ada dua alasan, mengapa jabatan
Kementerian Pertahanan harus diisi sipil. Pertama, ke depan sistem pertahanan
nasional (national devence) tidak lagi hanya bertumpu pada kekuatan militer.
Ancaman terhadap pertahanan nasional ke depan jauh lebih kompleks (tidak hanya
bersifat fisik), tetapi juga nonfisik (misal, ancaman ideologi, psikis, kultur,
dan lain-lain). Karena itu, sistem pertahanan nasional harus mencakup berbagai
front (multifront). Kiranya amat tepat jika kementerian ini dipegang oleh figur
dari sipil. Kedua, penempatan sosok sipil pada Dephan juga dimaksudkan untuk
memperketat/menciptakan kontrol sipil atas militer. Presiden terpilih (the
elected politicians) biasanya melakukan kontrol atas institusi militer melalui
kewenangan yang dimiliki Menteri Pertahanan. Di negara-negara maju, bahkan
Malaysia, posisi TNI ada di bawah dan menjadi bagian Kementerian Pertahanan.
c. Penegasan pemisahan
TNI-Polri dan menempatkan lembaga TNI dan Polri di bawah langsung lembaga
kepresidenan
Gagasan pemisahan TNI-Polri muncul
pada masa pemerintahan Habibie, akan tetapi sampai dengan awal tahun 1999
gagasan ini belum terealisasi. Pemisahan TNI-Polri dimaksudkan untuk memperjelas
tugas, wewenang dan tanggung jawab TNI dan Kepolisian.
d. Penghapusan lembaga Badan
Kordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional ( Bakorstanas ) dan Lembaga
Penelitian Khusus ( Litsus )
Kebijakan lain yang diluncurkan Gus
Dur yang bertujuan untuk mengikis hak prerogatif militer adalah penghapusan
Bakorstanas dan Litsus. Kebijakan ini dikeluarkan melalui Keppres No.38 tahun
2000. Malik Haramain ( 2004 ) melihat kebijakan ini sebagai upaya pengurangan
sejumlah hak istimewa TNI. Semakin efektif pengurangan hak istimewa TNI
dilakukan semakin efektif pula kontrol pemerintahan sipil terhadap militer.
Sebab, semakin rendak hak istimewa militer terutama dalam urusan politik, maka
semakin terbuka peluang kontrol sipil diberlakukan.
e. Penghapusan dominasi Angkatan
Darat sebagai Panglima TNI
Keputusan ini tercermin dalam
kebijakan menempatkan Laksamana Widodo AS sebagai Panglima Angkatan Bersenjata
( Pangab TNI ). Kebijakan ini sebagai upaya menciptakan tradisi baru dalam
pengisian jabatan di tubuh TNI yang selama ini selalu menjadi jatah Angkatan
Darat. Penempatan orang Angkatan Laut ( AL ) diposisi tertinggi dalam hirarki
kemiliteran sebagai usaha memecahkan mitos bahwa Angkatan Darat lebih cocok dan
lebih berhak untuk mengisi posisi Pangab, dan dengan kebijakan ini dimungkinkan
terjadinya sharing kekuatan dan kekuasaan antar angkatan di internal TNI.
f. Perumusan TNI dibawah Dephan
Setelah Abdurrahman Wahid mengganti
Juwono Sudarsono dengan Prof. Mahfud MD ada upaya mempersipkan UU pertahanan
untuk menggantikan UU No.20 tahun 1982. Dimana, menurut Mahfud MD, didalam
RUU pertahanan itu terdapat pasal yang mengatur bahwa selurh angkatan yang ada
di TNI berada dibawah Departemen Prtahanan ( Dephan ). Keuntungan TNI
dibawah Dephan antara lain TNI sepenuhnya berada di bawah komando pemerintahan.
Dengan demikian, situasi yang melibatkan konflik militer dengan presiden
seperti sering terjadi akan lebih bisa dikontrol karena komando berada di satu
tangan. Sementara yang terjadi sebelumnya di TNI adalah seluruh komando ada di
tangan Panglima sedangkan dukungan material dan persenjataan dari Dephan.
g. Mutasi Perwira
Langkah lain yang diambil Gus Dur
dalam pembenahan militer adalah kebijakan mutasi perwira , kebijakan ini
membuat hubungan sipil-militer pada era Gus Dur berada eskalasi konflik yang
tinggi. Banyak kalangan menilai langkah-langkah
Gus Dur dalam melakukan mutasi besar-besaran seperti pergantian Pangkostrad
Djaja Suparman oleh Agus Umar Wirahadikusuma, melikuidasi posisi Wakil Panglima
TNI yang ditempati Fachrul Razi dan puncaknya pencopotan Wiranto sebagai
Menkopolkam dianggap intervensi sipil kedalam militer yang terlalu jauh atau
subjective civilian control over mlitary, danmendorong militer
melakukan penolakkan atas keputusan tersebut ( munculnya isu ancaman dari
beberapa jenderal untuk mengundurkan diri, dan akhirnya melakukan
perselingkuhan dengan elit-elit sipil untuk menurunkan Abdurahman Wahid sebagai
presiden.
3. Era
Pemerintahan Megawati
Pengalaman pemerintahan Gus Dur dan
manivestasi militer dalam naiknya Megawati menjadikan penguatan atau
penegakkan supremacy cipilmengalami pelemahan. Rizal Sukma melihat, sejak kejatuhan Gus Dur
ada anggapan di kalangan politisi sipil bahwa kalau tidak menjaga hubungan baik
dengan militer, posisinya lebih gampang digoyang dan rapuh. Akibatnya,
pemerintahan Megawati tidak antusias untuk mendorong reformasi militer. Hal inilah yang menyebabkan pemerintahan Megawati
berhati-hati dalam membuat kebijakan yang menyangkut kepentingan militer
khususnya penegasan peran atau posisi Panglima TNI merupakan subordinasi
pemerintahan sah yang dipilih langsung oleh rakyat.
Pola hubungan sipil-militer pada era
Megawati menggambarkan kelemahan pemerintah dalam menghadapi kehendak militer.
Bahkan George Junus Aditjondro melihat perkembangan militer pada era Megawati
sebagai remiliterisasi, walaupun kondisi ini terjadi bukan semuanya di
karenakan political will pemerintah. George Junus Aditjondro melihat yang
berlangsung pada masa pemerintahan Megawati bukanlah demiliterisasi sebagaimana
desakan banyak pihak, akan tetapi sebaliknya, militer melakukan berbagai cara
untuk kembali berperan layaknya pada pemerintahan orde baru, dikatakan
sedikitnya ada tujuh indikator remiliterisasi di Indonesia. Indikator pertama yang
menandai gejala remiliterisasi adalah meningkatnya kepercayaan diri
konglomerat-konglomerat yang berafiliasi ke militer untuk menunjukan kuku dan
taringnya, kasus teror yang dilakukan Tomy Winata salah satu konglomerat yang
didukung militer terhadap kantor majalah Tempo adalah bukti yang tidak bisa
dinafikan. Indikator yang kedua munculnya perlawanan yang
dilakukan pihak militer terhadap usaha menegakkan ketaatan pada hak-hak asasi
manusia melalui lembaga peradilan, dengan memberikan pembenaran terhadap
militer untuk menggunakan kekuatan bersenjata yang mematikan, dan bukan sekedar
melumpuhkan, dalam sidang pertama kasus Tanjung Priuk denga terdakwa mantan
Kasi Ops II Kodam 0502 Jakarta Utara, Mayor Jenderal Sriyanto, sekitar seratus
orang anggota Kopassus memenuhi sidang lengkap dengan seragam dan baret merah,
ini jelas merupakan usaha memberikan tekanan mental kepada majelis hakim, agar
menjauhkan vonis maksimal.
Indikator ketiga adalah
munculnya 7 RUU yang disahkan atau sedang dibahas parlemen, yang sarat dengan
konsolidasi kekuasaan militer dalam bidang politik dan ekonomi, mulai dari UU
No.16 tahun 2001 tentang Yayasan, UU No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara,
UU No.15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, RUU tentang
Kerahasian Negara, RUU tentang Intelejen, RUU tentang TNI, dan RUU tentang
Tenaga Cadangan Pertahanan, dimana secara menyeluruh atau parsial,
masing-masing UU dan RUU itu mempunyai titik-titik tertentu yang sangat rawan,
karena dapat menjadi senjata pamungkas bagi militer untuk mengkonsolidasikan
kekuasaan politik dan ekonominya.
Indikator keempat adalah
Masuknya sejumlah Purnawirawan kedalam kepengurusan penting didalam
partai-partai besar khususnya. Serta Munculnya tiga orang jenderal sebagai
Capres atau Cawapres. Indikator kelima, menebalnya
kepercayaan diri para purnawirawan ABRI yang makin meningkat menghadapi
kecaman negara adidaya ( Amerika Serikat ). Indikator keenam adalah
perang untuk merebut kembali simpati media dengan aktif melancarkan efensif
ketengah-tengah publik untuk membersihkan nama mereka sekaligus memutihkan
sejarah militer. dan Indikator ketujuh adalah seringnya
organisasi-organisasi non-pemerintah yang memperjuangkan demokratisasi di
berbagai bidang, diserang secara fisik oleh kelompok-kelompok paramiliter yang
baru muncul setelah turunya Soeharto dari singgasana kepresidenan.
Ditengah lemahnya
kontrol sipil atas militer, Megawati mensahkan Undang-Undang No.34 tahun 2004
tentang TNI. Didalamnya ditegaskan profesionalisme TNI yang terlepas dari
aktivitas politik ataupun ekonomi dan berkonsentrasi pada masalah pertahanan..
Pasal 2 ayat e, mendefinisikan tentara profesional sebagai tentara yang
terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak
berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara
yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan
hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Didalam UU ini
juga ditandaskan tentang kordinasi Panglima TNI dan Dephan, disebutkan dalam
pasal 4 ayat 2 bahwa Panglima TNI harus berkordinasi dengan Dephan dalam
kebijakan pertahanan. Namun ketentuan hukum ini tidak menandaskan kejelasan
lebih tegas terlait relasi Panglima TNI dan Departemen Pertahanan.
4. Era Susilo
Bambang Yudhoyono
Banyak pihak khawatir ketika
Letjen Susilo Bambang Yudhoyono terpilih menjadi presiden, mengembalikan
dominasi militer dalam perpolitikkan Indonesia. Akan tetapi, kekhawatiran yang
ada tidak terlalu besar, dikarenakan figur SBY sendiri yang dikenal sebagai
perwira militer yang moderat dan mendukung penghapusan dwi fungsi ABRI serta
perkembangan demokratisasi yang sangat pesat, tidak memberikan celah besar
kepada militer untuk tampil dominan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa
seperti masa Orde Baru. Dalam pembekalan Rapat Pimpinan TNI di Cilangkap.
Selaku Panglima Tertinggi Angkatan Darat, Laut dan Udara, Presiden SBY kembali
menegaskan bahwa militer harus. “...Berhenti bermain politik praktis, hormati
hukum dan HAM, jangan mudah tergoda, petik pelajaran di masa lalu.” Pembaruan,
21/09).
Belum banyak analisa yang dapat
dilakukan untuk melihat arah kebijakan SBY dalam menata institusi militer. Akan
tetapi ada beberapa kebijakan yang bisa menjadi referensi awal. Seperti,
penunjukkan Juwono Sudarsono sebagai Menteri Pertahanan, inventaris bisnis TNI
yang ditargetkan selesai bulan Oktober , kebijakan meningkatkan kesejahteraan
prajurit. serta polemik dalam pergantian Panglima TNI. Dalam pergantian
Panglima TNI, Susilo Bambang Yudhoyono terlihat hati-hati dan masih
mempertimbangkan sosok perwira yang mempunyai loyalitas ketika sudah menjadi
Panglima TNI. Yuddy Crisnandi ( Republika, 5 Oktober 2005) melihat, pada era
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum sepenuhnya menggambarkan hubungan
sipil-militer ideal layaknya gagasan Huntington dalam The Soldier and The
State, yaitu berlangsungnya civillian objective control over military. Sekilas
tampak SBY mengendalikan militer, namun kenyataannya seolah SBY memiliki
kekhawatiran akan loyalitas militernya. Kontroversi pergantian panglima TNI
antara DPR dengan Presiden yang tertunda-tunda, menunjukkan alasan kuat akan
hal itu.
Sumber:
Rawinarno,Tjahyo.(2008).Peran TNI dari Masa ke Masa.Diunduh
Januari 2008, http://newblueprint.wordpress.com/2008/01/14/peran-tni-dari-masa-ke-masa/
Yulianto,Arif (2002).Hubungan Sipil Militer di Indonesia.Jakarta:PT
raja grafindo persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar