Winnie The Pooh Glitter

Kamis, 24 November 2011

hukum acara perdata (tata cara pengajuan tuntutan hak)

TATA CARA PENGAJUAN TUNTUTAN HAK

A. PENGERTIAN TUNTUTAN HAK KEPERDATAAN

Tuntutan hak adalah suatu upaya yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hukum atas hak –hak tertentu yang dimiliki oleh seseorang melalui proses peradilan yang dibenarkan menurut hukum untuk mencegah terjadinya “eigenrichting”atau perbuatan main hakim sendiri dalam melaksanakan haknya sehingga menimbulkan perbuatan melawan hukum yang dapat merugikan pihak lainnya.
Tuntutan hak yang di dalam pasal 118 ayat 1 HIR (pasal 142 ayat 1 Rbg) disebut sebagai tuntutan perdata tidak lain adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dan lazimnya disebut gugatan. Gugatan dapat diajukan baik secara tertulis (pasal 118 ayat 1 HIR ,142 ayat 1 Rbg) maupun secara lisan (pasal 144 ayat 1 Rbg).
HIR dan Rbg hanya mengatur tentang caranya mengajukan gugatan, sedang tempat persyaratan mengenai isi daripada gugatan tidak ada ketentuannya. Bagi kepentingan para pencari keadilan kekurangan ini diatasi oleh adanya pasal 119 HIR (pasal 143 Rbg), yang memberi wewenang kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk memberi nasehat dan bantuan kepada pihak pengugat dalam pengajuan gugatannya. Dengan demikian hendak dicegat pengajuan gugatan-gugatan yang kurang jelas atau kurang lengkap.

B. PIHAKPIHAK PIHAK DALAM PERKARA PERDATA

Di dalam suatu sengketa perdata sekurang kurangnya terdapat dua pihak, yaitu : pihak penggugat yang mengajukan gugatan, dan pihak tergugat. Dan biasanya orang yang langsung berkepentingan sendirilah yang aktif bertindak di muka pengadilan, baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat. Mereka ini merupakan pihak materil, karena mereka mempunya kepentingan langsung di dalam perkara yang bersangkutan, tetapi sekaligus juga merupakan pihak formil, karena merekalah yang beracara di muka peradilan.
Akan tetapi seseorang dapat pula bertindak sebagai penggugat atau tergugat di muka pengadilan tanpa mempunyai kepentingan secara langsung dalam berperkara yang bersangkutan. Seorang wali atau pengampu yang bertindak sebagai pihak di muka pengadilan atas namanya sendiri, tetapi untuk kepentingan orang lain yang di wakilinya karena yang terakhir inilah yang mempunyai kepentingan secara langsung (pasal 383, 446, 452,403-405 BW). Nama mereka harus dimuat dalam gugatan dan disebut pula dalam putusan ,disamping nama-nama yang mereka wakilinya adalah pihak materiil.
Disamping itu tidak jarang terjadi suatu pihak materiil memerlukan seorang wakil untuk beracara di muka pengadilan, karena tidak mungkin beracara tanpa diwakili. Hal ini terjadi pada badan hukum ,yang beracara atas namanya sendiri ,tetapi memerlukan seorang wakil yang bertindak di muka pengadilan selaku pihak formil untuk kepentingannya (pasal 8 no 2 Rv, 1955BW).

C. TATA CARA PENGAJUAN GUGATAN

1. Pendaftaran Gugatan
Langkah pertama mengajukan gugatan perdata adalah dengan melakukan pendaftaran gugatan tersebut ke pengadilan. Menurut pasal 118 ayat (1) HIR, pendaftaran gugatan itu diajukan ke Pengadilan Negeri berdasarkan kompetensi relatifnya – berdasarkan tempat tinggal tergugat atau domisili hukum yang ditunjuk dalam perjanjian . Gugatan tersebut hendaknya diajukan secara tertulis, ditandatangani oleh Penggugat atau kuasanya, dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pendaftaran gugatan itu dapat dilakukan di kantor kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat.

2. Membayar Panjar Biaya Perkara
Setelah gugatan diajukan di kepaniteraan, selanjutnya Penggugat wajib membayar biaya perkara. Biaya perkara yang dimaksud adalah panjar biaya perkara, yaitu biaya sementara yang finalnya akan diperhitungkan setelah adanya putusan pengadilan. Dalam proses peradilan, pada prinsipnya pihak yang kalah adalah pihak yang menanggung biaya perkara, yaitu biaya-biaya yang perlu dikeluarkan pengadilan dalam proses pemeriksaan perkara tersebut, antara lain biaya kepaniteraan, meterai, pemanggilan saksi, pemeriksaan setempat, pemberitahuan, eksekusi, dan biaya lainnya yang diperlukan. Apabila Penggugat menjadi pihak yang kalah, maka biaya perkara itu dipikul oleh Penggugat dan diambil dari panjar biaya perkara yang telah dibayarkan pada saat pendaftaran. Jika panjar biaya perkara kurang, maka Penggugat wajib menambahkannya, sebaliknya, jika lebih maka biaya tersebut harus dikembalikan kepada Penggugat.
Bagi Penggugat dan Tergugat yang tidak mampu membayar biaya perkara, Hukum Acara Perdata juga mengizinkan untuk berperkara tanpa biaya (prodeo/free of charge). Untuk berperkara tanpa biaya, Penggugat dapat mengajukan permintaan izin berperkara tanpa biaya itu dalam surat gugatannya atau dalam surat tersendiri. Selain Penggugat, Tergugat juga dapat mengajukan izin untuk berperkara tanpa biaya, izin mana dapat diajukan selama berlangsungnya proses persidangan. Permintaan izin berperkara tanpa biaya itu disertai dengan surat keterangan tidak mampu dari camat atau kepada desa tempat tinggal pihak yang mengajukan.

3. Registrasi Perkara
Registrasi perkara adalah pencatatan gugatan ke dalam Buku Register Perkara untuk mendapatkan nomor gugatan agar dapat diproses lebih lanjut. Registrasi perkara dilakukan setelah dilakukannya pembayaran panjar biaya perkara. Bagi gugatan yang telah diajukan pendaftarannya ke Pengadilan Negeri namun belum dilakukan pembayaran panjar biaya perkara, maka gugatan tersebut belum dapat dicatat di dalam Buku Register Perkara, sehingga gugatan tersebut belum terigstrasi dan mendapatkan nomor perkara dan karenanya belum dapat diproses lebih lanjut – dianggap belum ada perkara. Dengan demikian, pembayaran panjar biaya perkara merupakan syarat bagi registrasi perkara, dan dengan belum dilakukannya pembayaran maka kepaniteraan tidak wajib mendaftarkannya ke dalam Buku Register Perkara.

4. Pelimpahan Berkas Perkara Kepada Ketua Pengadilan Negeri
Setelah Penitera memberikan nomor perkara berdasarkan nomor urut dalam Buku Register Perkara, perkara tersebut dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pelimpahan tersebut harus dilakukan secepat mungkin agar tidak melanggar prinsip-prinsip penyelesaian perkara secara sederhana, cepat dan biaya ringan – selambat-lambatnya 7 hari dari tanggal registrasi.

5. Penetapan Majelis Hakim Oleh Ketua Pengadilan Negeri
Setelah Ketua Pengadilan Negeri memeriksa berkas perkara yang diajukan Panitera, kemudian Ketua Pengadilan Negeri menetapkan Majelis Hakim yang akan memeriksa dan memutus perkara. Penetapan itu harus dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 7 hari setelah berkas perkara diterima oleh Ketua Pengadilan Negeri. Majelis Hakim yang akan memeriksa dan memutus perkara tersebut terdiri dari sekurang-kurangnya 3 orang Hakim – dengan komposisi 1 orang Ketua Majelis Hakim dan 2 lainnya Hakim Anggota.

6. Penetapan Hari Sidang
Selanjutnya, setelah Majelis Hakim terbentuk, Majelis Hakim tersebut kemudian menetapkan hari sidang. Penetapan itu dituangkan dalam surat penetapan. Penetapan itu dilakukan segera setelah Majelis Hakim menerima berkas perkara, atau selambat-lambatnya 7 hari setelah tanggal penerimaan berkas perkara. Setelah hari sidang ditetapkan, selanjutnya Majelis Hakim memanggil para pihak (Penggugat dan Tergugat) untuk hadir pada hari sidang yang telah ditentukan itu.

D. PENGGABUNGAN TUNTUTAN HAK

Dalam suatu perkara perdata itu sekurang-kurangnya terdiri dari dua pihak, yaitu penggugat dan tergugat. Dan perkara perdata yang sederhana, masing-masing pihak terdiri dari seorang: seorang penggugat dan seorang tergugat yang menyengketakan satu tuntutan. Tetapi tidak jarang terjadi bahwa penggugat lebih dari seorang melawan tergugat hanya seorang saja, atau seorang penggugat melawan tergugat lebih dari seorang atau kedua pihak lebih dari seorang. Hal ini di sebut kumulasi subyektif: penggabungan dari pada kumulasi subyektif terjadi misalnya apabila seorang kreditur menagih beberapa orang debitur atau beberapa orang ahli waris menggugat ahli waris lainya mengenai harta warisan.
Tidak jarang terjadi bahwa penggugat mengajukan lebih dari satu tuntutan dalam satu perkara sekaligus. Ini merupakan penggabungan dari pada tuntutan yang di sebut kumulasi obyektif pada umumnya tidak di syaratkan bahwa tuntutan-tuntutan itu harus ada hubunganya yang erat satu sama lain.
Baik kumulasi subyektif maupun kumulasi obyektif pada hakekatnya merupakan penggabungan (kumulasi) dari pada tuntutan hak. Kumulasi harus kita bedakan dari konkursus yang merupakan kebersamaan adanya beberapa tuntutan hak. Konkursus terjadi apabila seorang penggugat melakukan gugatan yang mengadung beberapa tuntutan yang kesemuanya menuju pada satu akibat hukum yang sama. Dengan dipenuhi dan dikabulkanya salah satu dari tuntutan-tuntutan itu maka tuntutan lainya sekaligus terkabul. Contoh:
1. Seorang kreditur menuntut pembayaran sejumlah uang kepada beberapa orang debitur yang terikat secara tanggung renteng dengan kreditur. Dengan di bayarkanya sejumlah uang tersebut oleh salah seorang debitur itu semua tuntutan terhadap debitur lainya hapus.
2. Pemilik satu benda meminjamkan bendanya dengan persetujuan pinjam pakai. Pada waktu berakhirnya persetujuan pinjam pakai tersebut pemilik berhak menuntut pengembalian benda itu, karena dia pemiliknya, karena juga persetujuan pinjam pakai sudah berakhir, maka ia berhak menuntut pengembalian benda itu: yang pertama bedasarkan adanya hak milik. Yang kedua berdasarkan adanya persetujuan pinjam pakai.
Sementara dua pihak yaitu penggugat dan tergugat, menyengketakan sesuatu di muka pengadilan ,pihak ketiga atas kehendaknya sendiri mencampuri sengketa yang sedang berlangsung antara penggugat dan tergugat tersebut. Pihak ketiga yang mencampuri sengketa yang sedang berlangsung disebut intervenient. Intervenient diatur dalam pasal 279-282 Rv. Ada 2 bentuk interventie : menyertai dan menengahi.

a. WEWENANG MUTLAK DARIPADA HAKIM (KOMPETENSI ABSOLUT)
Tugas pokok daripada pengadilan ,yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman ,adalah untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Pengadilan negeri merupakan pengadilan sehari-hari biasa untuk segala penduduk,yang mempunyai wewenang memeriksa dan memutus dalam peradilan tingkat pertama segala perkara perdata dan pidana yang dulu diperiksa dan diputus oleh pengadilan-pengadilan yang dihapuskan (pasal 5 ayat 3a UU Dar. 1/1951).
Pasal 50 UU no 8 tahun 2004 menentukan bahwa Pengadilan Neger bertugas dan berwenang memeriksa, memutus ,dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara pidata di tingkat pertama.

b. WEWENANG NISBI DARIPADA HAKIM (KOMPETENSI RELATIF)
Kompetensi relatif berkaitan dengan wilayah hukum suatu pengadilan. Diatur dalam pasal 118 HIR (pasal 142 Rbg).

E. UPAYA-UPAYA MENJAMIN HAK

Bertujuan untuk kepentingan penggugat agar terjamin haknya sekiranya gugatannya dikabulkan nanti. Ada beberapa bentuk upaya menjamin hak yang dilakukan oleh hukum, yaitu Permohonan Sita/ penyitaan.
Adapun pengertian sita / beslaag yaitu suatu tindakan hukum oleh hakim yang bersifat eksepsional, atas permohonan atas salah satu pihak yang bersengketa, untuk mengamankan barang-barang sengketa atau yang menjadi jaminan dari kemungkinan dipindahtangankan, dibebani sesuatu sebagai jaminan, dirusak atau dimusnahkan oleh pemegang atau pihak yang menguasai barang-barang tersebut, untuk menjamin agar putusan hakim nantinya dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Penyitaan dilakukan oleh panitera pengadilan agama, yang wajiub membuat berita acara tentang pekerjaannya itu serta memberitahukan isinya kepada tersita bila dia hadir. Dalam melaksanakan pekerjaan itu, panitera dibantu oleh dua orang saksi yang ikut serta menandatangani berita acara.
Unsur-unsur Dalam Penyitaan antara lain yaitu pemohon sita, permohonan sita, obyek sita, tersita, hakim, pelaksana sita.

Macam-macam Sita:
1. Sita Jaminan tehadap Barang Miliknya Sendiri
Untuk menjamin suatu hak kebendaan dari pemohon atau kreditur dan berakhir dengan penyerahan barang yang disita, dibagi menjadi dua macam pula, yaitu :
a. Sita revindicatoir (ps. 226 hir, 260 Rbg)
Yang dapat mengajukan sita revindicatoir ialah setiap pemilik barang bergerak yang barangnya dikuasai oleh orang lain (ps. 1977 ayat 2, 1751 BW). Demikian pula setiap orang yang mempunyai hak reklame, yaitu hak daripada penjual barang bergerak untuk minta kembali barangnya apabila harga tidak dibayar, dapat mengajukan permohonan sita revindicatoir (ps. 1145 BW, 232 WvK).
Yang dapat disita secara revindicatoir adalah barang bergerak milik pemohon. Karena kemungkinan akan dialihkan atau diasingkannya barang tetap tersebut pada umumnya tidak ada atau kecil.
Untuk dapat mengajukan permohonan sita revindicatoir tidak perlu ada dugaan yang beralasan, bahwa seseorang yang berhutang selama belum dijatuhkan putusan, mencari akal akan menggelapkan atau melarikan barang yang bersangkutan (baca Ps. 227 ayat 1 HIR, 261 ayat 1 Rbg). Oleh karena tidak perlu ada dugaan akan digelapkannya barang bergerak tersebut, maka sudah wajarlah kiranya kalau pihak yang berhutang tidak perlu didengar. Barang bergerak yang disita harus dibiarkan ada pada pihak tersita untuk disimpannya, atau dapat juga barang tersebut disimpan ditempat lain yang patut.

b. Sita Maritaal (ps.823-823 j Rv)
Sita Marital bukanlah untuk menjamin suatu tagihan uang atau penyerahan barang, melainkan menjamin agar barang yang disita tidak dijual. Jadi fungsinya adalah untuk melindungi hak pemohon selama pemeriksaan sengketa perceraian di pengadilan berlangsung antara pemohon dan lawannya, dengan menyimpan atau membekukan barang-barang yang disita, agar jangan sampai jatuh di tangan pihak ketiga. Oleh karena sifatnya hanyalah menyimpan, maka sita marital ini tidak perlu dinyatakan sah dan berharga apabila dikabulkan. Pernyataan sah dan berharga itu diperlukan untuk memperoleh titel eksekutorial yang mengubah sita jaminan menjadi sita eksekutorial, sehingga putusan dapat dilaksanakan dengan penyerahan atau penjualan barang yang disita. Sita maritaal tidak berakhir dengan penyerahan atau penjualan barang yang disita.
Sita maritaal ini dapat dimohonkan kepada Pengadilan Negeri oleh seorang isteri, yang tunduk pada BW, selama sengketa perceraiannya diperiksa di pengadilan, terhadap barang-barang yang merupakan kesatuan harta kekayaan, untuk mencegah agar pihak lawannya tidak mengasingkan barang-barang tersebut (Ps. 190 BW, 823 Rv). Jadi yang dapat mengajukan sita maritaal adalah si isteri Yang dapat disita secara maritaal ialah baik barang bergerak dari kesatuan harta kekyaan atau milik isteri maupun barang tetap dan kesatuan harta kekayaan (Ps. 823 Rv). HIR tidak mengenal sita maritaal ini, tetapi seperti yang dapat kita lihat di atas, sita maritaal ini diatur dalam Rv. Di dalam praktek peradilan sekarang ini sita maritaal tidak banyak dimanfaatkan.

2. Sita Jaminan tehadap Barang Milik Debitur
Penyitaan inilah yang biasanya disebut sita conservatoir. Sita conservatoir ini merupakan tindakan persiapan dari pihak penggugat dalam bentuk permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata dengan menguangkan atau menjual barang debitur yang disita guna memenuhi tutntutan penggugat. Penyitaan ini hanya dapat terjadi berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permintaan kreditur atau penggugat (Ps. 227 ayat 1 HIR, 261 ayat 1 Rbg). Dalam konkretnya permohonan diajukan kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan.
Setiap saat debitur atau tersita dapat mengajukan permohonan kepada hakim yang memeriksa pokok perkara yang bersangkutan, agar sita jaminan atas barangnya dicabut. Permohonan pencabutan atau pengangkatan sita jaminan dari debitur dapat dikabulkan oleh hakim apabila debitur menyediakan tanggungan yang mencukupi (Ps. 227 ayat 5 HIR, 261 ayat 8 Rbg). Demikian pula apabila ternyata bahwa sita jaminan itu tidak ada manfaatnya (vexatoir) atau barang yang telah disita ternyata bukan milik debitur.
Di dalam praktek dapatlah dikatakan bahwa pada umumnya setiap permohonan sita jaminan selalu dikabulkan : hakim terlalu mudah mengabulkan permohonan sita jaminan. Yang dapat disita secara conservatoir ialah :
a. Sita Conservatoir atas barang bergerak milik debitur (Ps. 227 jo. 197 HIR jo. 208 Rbg)
Barang bergerak yang disita harus dibiarkan tetap ada pada tergugat atau tersita untuk disimpannya dan dijaganya serta dilarang menjual atau mengalihkannya (Ps. 197 ayat 9 HIR, 212 Rbg). Atau barang bergerak yang disita itu dapat pula disimpan ditempat lain. Jadi dengan adanya sita conservatoir itu tersita atau tergugat sebagai pemilik barang yang disita kehilangan wewenangnya atas barang miliknya.
Permohonan pelaksanaan putusan yang timbul kemudian setelah diadakan penyitaan tidak dikabulkan dengan mengadakan penyitaan lagi terhadap barang yang sama (sita rangkap). Menurut pasal 201 HIR (Ps. 219 Rbg) apabila ada dua permohonan pelaksanaan putusan atau lebih diajukan sekaligus terhadap seorang debitur, maka hanya dibuatkan satu berita acara penyitaan saja. Dari dua pasal tersebut dapatlah disimpulkan bahwa tidak dapat diadakan sita rangkap terhadap barang yang sama. Para kreditur lainnya dapat mengajukan permohonan kepada Ketua PN untuk ikut serta dalam pembagian hasil penjualan barang debitur yang telah disita (Ps. 204 ayat 1 HIR, 222 ayat 1 Rbg). Asas larangan sita rangkap ini, yang disebut saisie sur saisie ne vaut, lebih tegas dimuat dalam pasal 463 Rv.

b. Sita Conservatoir atas barang tetap milik debitur (Ps. 227, 197,198, 199 HIR 261, 208,214 Rbg)
Jika disita barang tetap, maka agar jangan sampai barang tersebut dijual, penyitaan itu harus diumumkan dengan memberi perintah kepada kepala desa supaya penyitaan barang tetap itu diumumkan ditempat, agar diketahui orang banyak. Kecuali di salinan berita acara penyitaan didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Tanah Ps. 30 PP. 10/1961 jo Ps. 198 ayat 1 HIR, 213 ayat 1 Rbg). Penyitaan barang tetap harus dilakukan oleh jurusita ditempat barang-barang itu terletak dengan mencocokkan batas-batasnya dan disaksikan pleh pamong desa. Terhitung mulai hari berita acara penyitaan barang tetap itu dimaklumkan kepada umum, maka pihak yang disita barangnya dilarang memindahkannya kepada orang lain, membebani atau menyewakan (Ps. 199 HIR, 214 Rbg). Penyitaan barang tetap itu meliputi juga tanaman diatasnya serta hasil panen pada saat dilakukan penyitaan. Kalau barang tetap itu disewakan oleh pemiliknya, maka panen itu menjadi milik penyewa. Sedangkan sewa yang belum dibayarkan kepada pemilik barang tetap yang telah disita (Ps. 509 Rv).

c. Sita Conservatoir atas barang bergerak milik debitur yang ada di tangan pihak ketiga (Ps. 728 Rv, 197 ayat 8 HIR, 211 Rbg)
Apabila debitur mempunyai piutang kepada pihak ketiga, maka kreditur untuk menjamin haknya dapat melakukan sita conservatoir atas barang bergerak milik debitur yang ada pada pihak ketiga itu. Sita conservatoir ini yang disebut derdenbeslag, diatur dalam pasal 728 Rv. Kreditur dapat menyita, atas dasar akta autentik atau akta dibawah tangan pihak ketiga. Dalam hal ini dibolehkan sita rangkap (Ps. 747 Rv). HIR tidak mengatur derdensblag sebagai sita conservatoir tetapi sebagai sita eksekutorial. Pasal 197 ayat 8 HIR (Ps. 211 Rbg) menentukan, bahwa penyitaan barang bergerak milik debitur, termasuk uang dan surat-surat berharga, meliputi juga barang bergerak yang bertubuh yang ada di tangan pihak ketiga. Akan tetapi sita conservatoir ini tidak boleh dilakukan atas hewan dan alat-alat yang digunakan untuk mencari mata pencaharian. Disamping tiga macam sita conservatoir seperti tersebut diatas Rv masih mengenal beberapa sita conservatoir lainnya, yaitu :

d. Sita Conservatoir terhadap kreditur (Ps. 75a Rv)
Ada kemungkinannya bahwa debitur mempunyai piutang kepada kreditur. Jadi ada hubungan piutang timbal balik antara kreditur dan debitur. Dalam hubungan piutang timbal balik antara kreditur dan debitur ini, dimana kreditur juga sekaligus debitur dan kreditur juga sekaligus debitur, tidak jarang terjadi bahwa prestasinya tidak dapat dikompensasi.

e. Sita gadai atau pandbeslag (Ps. 751-756 Rv)
Sita gadai ini sebagai sita conservatoir hanyalah dapat diajukan berdasarkan tuntutan yang disebut dalam pasal 1139 sub 2 BW dan dijalankan atas barang-barang yang disebut dalam pasal 1140 BW.

f. Sita Conservatoir atas barang barang debitur yang tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal di Indonesia atau orang asing bukan penduduk Indonesia (Ps. 757 Rv)
Ratio dari sita conservatoir ini yang disebut juga sita saisie foraine, ialah untuk melindungi penduduk Indonesia terhadap orang-orang asing bukan penduduk Indonesia, maka oleh karena itu berlaku juga dengan sendirinya bagi acara perdata di Pengadilan Negri.

g. Sita Conservatoir atas pesawat terbang (Ps.763h-763k Rv)
Apakah semua barang milik debitur disita secara conservatoir? Pada asasnya semua barang bergerak maupun tetap milik debitur menjadi tanggung jawab untuk segala perikatan yang bersifat perorangan (Ps. 1131 BW), dan semua hak-hak atas harta kekayaan dapat diuangkan untuk memenuhi tagihan, sehingga dengan demikian dapat disita.
Penyitaan barang milik Negara
Pada dasarnya barang-barang milik negara yaitu seperti uang negara yang ada pada pihak ketiga, piutang negara pada pihak ketiga, barang-barang bergerak milik negara, tidak dapat disita kecuali ada izin dari hakim. Izin untuk menyita barang-barang milik negara itu harus dimintakan kepada MA (pasal 65, 66 ICW, S. 1864 no 106).



6 komentar: