Winnie The Pooh Glitter

Senin, 09 Juli 2012

Demokrasi Pancasila



·         Peran Parpol
Paska dibubarkannya PKI,perebutan kekuasaan di indonesia berlangsung kontroversional.hal ini dapat di lihat dalam perumusan UU pemilu yang molor begitu panjang,yaitu rentan waktu Desember sampai 22 November 1969.Kondisi ini terang saja kurang menguntungkan bagi partai-partai lain selain Golkar,sebab golkar selain mendapat perlakuan yang istimewa dari pemerintah,juga mendapatkan back-up dari militer.
Adapun pemilu yang diselenggarakan pada tanggal 3 juli 1971 diikuti oleh 10 partai politik. Pada perkembangan berikutnya satu hal yang cukup menyakitkan bagi indonesia di era orde baru adalah adanya kebijakan penciutan kontestan partai politik dan penyeragaman asas. Jika pemilu 1955 diikuti oleh banyak partai pemilu 1971 diikuti 10 partai politik maka pada pemilihan umum 1977 hanya diikuti oleh 3 partai politik yakni PPP, PDI dan GOLKAR. Ini merupakan perkembangan dari gagasan fungsi partai yang dilakukan oleh ORBA.
Salah satu strategi politik yang dipakai oleh ORBA adalah mewujudkan stabilitas politik. Sebagai jalan atas tujuan stabilitas politik itu, ORBA mengukuhkan manufernya dengan cara menyederhanakan pluralisme ideologi partai-partai menjadi 2 partai paketan. Pertama PPP dengan lambang ka’bah untuk menampung nahdatul ulama’ partai muslimin indonesia PERTI. Kedua PDI menghimpun 5 partai yaitu PNI, IPKI, MURBA, partai katolik dan partai kristen indonesia.
Sementara itu PPP dan PDI justru mengalami keretakan internal paska pemilu 1982 ditubuh PDI soliditas pengurus partai terganggu 4 pejabat terasnya yang terkenal dengan empat serangkai direcall dari DPR sebalum akhirnya dipecat secara tidak hormat akibat banyaknya perpecahan yang terjadi banyak program partai yang tidak berjalan.


·         Peran Badan Legeslatif
Ø  Peran DPR
Dalam suasana menegakkan orde baru sesudah terjadinya G.30 S/PKI,DPR-GR mengalami perubahan,baik mengenai keanggotaan maupun wewenangnya.Anggota PKI dikeluarkan,sedang partai politik lainnya memakai hak recallnya untuk mengganti anggota yang dianggap tersangkut dalam atau bersimpati dengan anggota PKI,dengan wakil lain.Susunan keanggotaan DPR-GR menjadi jumlah total 242 anggota.Di antaranya 102 merupakan anggota parpol,antara lain 44 anggota PNI dan 36 anggota NU,selebihnya anggota beberapa partai kecil.Di samping itu ada 140 anggota Golongan Karya (ABRI).selain dari itu diusahakan supaya tat kerja DPR-GR lebih sesuai dengan ketentuan-ketentuan UUD 1945,terutama yang menyangkut kontrolnya.
Mengenai soal mengambil kepitusan,sistem musyawarah/mufakat masih dipertahankan dengan ketentuan bahwa keputusan harus diambil oleh anggota DPR sendiri (tanpa campur tangan dari presiden).  DPR-GR demokrasi pancasila telah menyelesaikan 82 buah undang-undang, yang terpenting diantaranya adalah No.15 tahun 1969 tentang pemilihan umum anggota-anggota badan permusyawaratan rakyat, perwakilan rakyat, No.16 tahun 1969 tentang susunan dan kedudukan MPR,DPR dan DPR daerah menyelesaikan 7 buah resolusi, 9 buah pernyataan pendapat dan 1 buah angket guna menyederhanakan efesiensi kerja para anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat maka dibentuk fraksi dalam DPR RI. Pengertian fraksi menurut peraturan tata tertib DPR RI adalah pengelompokan DPR RI yang mencerminkan konstelasi pengelompokan politik dalam masyarakat yang terdiri dari unsur-unsur golongan karya dan golongan politik.
Sebagai hasil pelaksanaan tugas DPR RI diatas sejak tanggal 2 oktober 1971 s/d 27 april 1976 telah menghasilkan 34 undang-undang, 3 buah memorandum dan 4 buah unsul pernyataan pendapat. Berbeda dengan DPR-GR demokrasi pancasila yang unuk melaksanakan tugas membentuk undang-undang dibentuk bagian dan untuk melaksanakan tugas pengawasan dibentuk komisi maka dalam melaksanakan kedua bentuk tugas tersebut DPR RI hanya membentuk komisi yang jumlahnya, termasuk komisi APBN adalah 11 buah.
Sama halnya DPR-GR demokrasi pancasila dalam hal pengambilankeputusan masih tetap diutamakan (tanpa campur tangan presiden) dan baru apabila tidak mungkin maka keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.

Ø  Peran MPR
Sebagai majelis transisi (yaitu perubahan dari masa demokrasi terpimpin ke demokrasi pancasila atau dari masa orde lama ke orde baru, dimana banyak anggotanya yang mengalami pemecatan karena dianggap terlibat dalam gerakan 30 S PKI) waktu sidang umum ke IV dijakarta jumlah anggotanya hanya sebanyak 545 orang saja terdiri dari anggota DPR 241 orang, utusan daerah 110 orang dan utusan golongan karya 194 orang. Sidang istimewa jumlah anggotanya 660 orang, sedang pada sidang ke V jumlah anggotanya menjadi 828 orang.
Pimpinan majelis pada masa demokrasi pancasila ini juga melembaga tetapi lepas dari pengaruh/kekuasaan presiden karena menurut undang-undang No.10 tahun 1966 tentang kedudukan MPR dan DPR-GR pasal 19 pimpinan MPRS tidak dirangkap dengan jabatan-jabatan presiden, wakil presiden, menteri, jaksa agung, ketua dan hakim-hakim anggota mahkamah agung, ketua dan anggota BPK, keua anggota DPA dan jabatan-jabatan lain. Dengan ketetapan MPRS No.X/MPRS/1966 posisi dan fungsi sebagaimana diatur oleh UUD 1945. Dengan demikian kedudukan fungsi pimpinan MPRS masa demokrasi pancasila ini luas sekali, lebih luas dari pimpinan MPRS demokrasi pancasila dan pimpinan MPR hasil pemilihan umum 1971.


·         Peran badan eksekutif
Dalam masa demokrasi pancasila ketetapan MPRS yang memberikaan kedudukan presiden seumur hidup kepada ir.soekarno telah dibatalkan dengan ketetapan MPRS No.XXXXIV 1968 jendral soeharto dipilih oleh MPRS sebagai presiden. Jabatan wakil presiden sementara tidak diisi. Dalam masa demokrasi liberal pasca pemerintahan orde baru yaitu pada tahun 1999 praktek penyelenggaraan pemerintahan mengalami perubahan yang mendasar dari pada yang sebelumnya terutama selama pemerintahan orde baru. Dalam proses pemilihan pres dan wapres pada tahun 1999 dilakukan DPR/MPR secara langsung melalui suara kedalam kotak suara yang disediakan oleh panitia pemilihan pres dan wapres yang ditetapkan oleh DPR, kemudian kabinetnya dipilih oleh pres dan wapres yang terpilih pada masa ini kabinet ditetapkan oleh presiden dengan sistem kabinet nasional. Yaitu dimana para anggota kabinet dipilih oleh presiden dari unsur partai, proposional dan daerah. Sehingga kabinetnya disebut gotong royong.

Peran TNI


·         TNI pada Masa Orde Lama

Faktor kemerdekaan menjadikan awal keterlibatan militer Indonesia dalam peran politik, dimasa orde lama, Soekarno mengakomodasi militer diawal pemerintahannya dan bersitegang dan menjadi faktor penentu lengsernya Soekarno sebagai presiden. Tampilnya militer dimata masyarakat sebagai aktor penting ” pengaman ” keutuhan bangsa Indonesia dari aksi radikalisme PKI menjadikan militer semakin dominan dalam perpolitikan dan aktivitas ekonomi Indonesia
Menurut Yahya A. Muhaimin : semenjak tahun-tahun pertama Republik Indonesia berdiri, para perwira militer Indonesia sebenarnya sudah mempunyai kecenderungan untuk berpolitik sebagai prajurit revoludioner. Kecenderungan ini semakin kuat setelah pada tahun-tahun berikutnya mereka harus mengatasi bukan hanya ancaman dari luar ( Belanda ) tetapi juga mengatasi peristiwa politik yang kritis, yaitu teristimewa penculikan politik yang terjadi tanggal 3 Juli 1946 dan pemberontakan komunis di Madiun pada tahun 1948.

·      TNI pada Masa Orde Baru
Indonesia memasuki babakan politik baru pasca kegagalan kudeta 1965 yang menandai runtuhnya keseimbangan 3 aktor politik utama dengan kehancuran PKI dan semakin merosotnya kewibawaan politik Presiden Soekarno. Keberhasilan Angkatan Darat menumpas kekuatan komunis telah menimbulkan efek psikologis luar biasa pada masyarakat anti komunis, akan citranya sebagai penyelamat negara dari rongongan komunis. Setelah kewibawaan politik Presiden Soekarno merosot secara drastis pada masa-masa pasca kudeta. Sentral kekuatan politik lambat-laun bergeser dari istana kepresidenan ke Markas Kostrad, dimana Mayjen Soeharto selaku pemegang kendali efektif atas tentara bermarkas pada waktu itu.
Semakin menguatnya posisi tentara sebagai aktor politik terkuat di Indonesia pasca kejatuhan Soekarno telah mendorong dilakukannya berbagai upaya memperkuat posisi dan kelanggengan dominasi politik tentara dalam sistem politik Indonesia. Pertama, pelembagaan ideologi dwifungsi ABRI. Konsepsi dwifungsi pertama kali termaktub dalam Sapta Marga ( kode etik dasar bagi setiap personel tentara Indonesia ) kemudian dipertegas dengan doktrin TNI Angkatan Darat ” Tri Ubaya Cakti ” yang merupakan hasil seminar angkatan darat pada April 1965. Doktrin ini kemudian disempurnakan lagi dalam seminar angkatan darat II agustus 1966. Melalui doktrin itulah untuk pertama kalinya dirumuskan dwifungsi. Selanjutnya untuk meningkatkan bobot dwifungsi diperkenalkan doktrin ” Catur Dharma Eka Karma ” pada tahun 1967. agar rumusan dwifungsi memperoleh landasan yang kuat dan berlaku luas pada masyarakat umum dikeluarkan UU No.20 tahun 1982 tentang ” Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara ”. Pada pasal-pasalnya disebutkan bahwa, ” Angkatan Bersenjata mempunyai fungsi sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sebagai kekuatan sosial.” Dalam menjalankan perananya sebagai kekuatan sosial tentara bertindak sebagai dinamisator dan stabillisator yang bersama-sama kekuatan sosial lain memikul tugas dan tanggung jawab mengamankan dan mensukseskan perjuangan bangsa dalam mengisi kemerdekaan serta meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu tentara harus ikut serta dalam pengambilan keputusan mengenai masalah kenegaraan dan pemerintahan.
Kedua, pengembangan sebuah sistem kontrol internal atas institusi tentara, dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku militer oleh markas besar secara kelembagaan maupun perorangan. Langkah awal dengan menempatkan seluruh komponen matra: Angkatan Darat, Laut, Udara dan Kepolisisan dibawah Pangliama Angkatan Bersenjata ( Pangab ). Kekuatan bersenjata pada setiap matra hanya bisa digerakkan atas peintah pangab, bukan lagi oleh Panglima masing-masing matra yang hanya berstatus ” Kepala Staf angkatan ” tanpa memiliki kewenangan operasional. Selanjutnya memisahkan kewenangan dan tanggung jawab antara Panglima ABRI dan Menteri Pertahanan dan Keamanan, perubahan ini semakin memperkuat kepemimpinan pusat.
Ketiga, pengembangan sistem kontrol eksternal terhadap lembaga dan kekuatan politik lain dengan mengefektifkan struktur organisasi tentara, membangun lembaga kontrol baru maupun bekerja sama dengan intitusi-institusi pemerintahan lainnya yang banyak dikepalai oleh orang-orang berlatar belakang ketentaraan baik masih aktif atau purnawirawan yang dikaryakan pada jabatan-jabatan strategis baik ditingkat pusat atau daerah seperti menteri, kepala daerah, Dirjen, Sekjen dan Irjen departemen.
Keempat, pelemahan terhadap partai politik, parlemen, serta lembaga-lembaga lain yang dianggap mungkin memiliki kekuatan politik. Setelah berhasil menguasai kekuasaan politik, tentara mulai membangun kekuatan politik secara mandiri dan otonom. Pelemahan terhadap partai politik ini pada intinya adalah untuk memandulkan kekuatan politik mereka sehingga tidak mempunyai kekuatan tawar yang berarti dalam proses politik. Salah satu upa yang dilakukan adalah pemberlakuan kebijakan floating mass ( massa mengambang ) dimana masyarakat dilarang melakukan aktivitas politik selain saat pemilu. Pelemahan terhadap Parlemen dilakukan dengan menciptakan sistem pemilu tidak fair dan adanya mekanisme pengangkatan serta proses rekrutmen anggota DPR dirancang untuk membuat merka patuh terhadap pmrintah dengan cara mngikuti penelitian khusus yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pengawas milik pemerintah. Lembaga lain yang juga mengalami pelemahan adalah Pers, dengan melakukan pembredelan surat kabar kritis.
Pada masa orde baru praktek dwifungsi ABRI dijalankan dalam beberapa pola; pertama, Politik sentralisasi ditangan eksekutif. Pemerintahan orde baru mengorientasikan diri kepada negara kuat ( strong state ), untuk membangun negara yang kuat itu, orde baru membangun elite penguasa yang terdiri dari militer, birokrat, teknokrat dan pemilik modal. Politik sentralisasi menyebabkan perasaan tertekan dan tertindas, rakyat putus asa dan meneima apa saja yang diputuskan atau dikatakan pemerintah pusat. Keadaan ini tidak mendukung perkembangan kehidupan civil society dan pembangunan politik, khususnya demokrasi, dan sebaliknya cenderung melahirkan political decay. Kedua, Pendekatan keamanan menjadi ciri yang menonjol. Orde baru menterjemahkan lebih lanjut pendekatan keamanan dengan memberikan tanggung jawab tersebut kepada ABRI. Tanggung jawab tersebut menjadikan ABRI bertindak ” agresif ” terhadap semua yang dianggapnya membahayakan stabilitas, dan stabilitas sendiri dipandang sebagai sesuatu yang dinamis. Karena ABRI berperan sangat besar dalam keamanan, maka hal ini menempatkan ABRI dalam posisi sentral dan menjadi ujung tombak dalam memutuskan hal-hal menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga, Dominasi militer dengan pendayagunaan dan perluasan dwifungsi ABRI. Untuk menguatkan sentralisasi kekuasaannya, tentara digunakan untuk mendominasi jabatan-jabatan politik strategis dan membenarkan campur tangan tentara dalam politik. Pada akhir 1970-an, separuh anggota kabinet dan pertiga jabatan gubernur dijabat oleh militer. Pada tingkat bupati dan walikota, 56% adalah militet, direktur jenderal 70%, dan sekretaris menteri 84% diduduki oleh militer. Vatikiotis menyatakan, ” More importantly, the military dominated the affairs of every cabinet departement.” sementara itu data yang diperoleh Jenkins pada tahun 1980, jumlah anggota ABRI yang berada di luar organisasi militer sebagai berikut: di pemerintahan pusat, menteri dan pimpinan lembaga tinggi negara 47%, sekretaris jenderal 73,6%, inspektur jenderal 29,5%, direktur jenderal 70,9%, sekretaris menteri dan wakil menteri 84%. Dipimpinan daerah, gubernur 70,3%, dan bupati 56,6%. Diperwakilan luar negeri, duta besar 44,4% dan konsul 34,3%. Menurut data Harold Crouch, pada tahun 1968, jumlah Gubernur yang berasal dari militer sebanyak 17 Gubernur ( 71 % ). Seseudah pemilihan umum tahun 1971, dari 26 propinsi hanya menyisakan 4 ( 15 % ) posisi Gubernur untuk orang sipil. Sedangkan pada tingkat kabupaten pada tahun 1969 jumlah Bupati dan Walikota di seluruh Indonesia sebanyak 271. setelah pemilu 1971 imbangannya mencapai dua pertiga. Sampai dengan tahun 1998, sebanyak 4000 anggota militer menduduki posisi jabatan sipil.  Keterlibatan militer dalam birokrasi lokal selain melalui jabatan Bupati dan Gubernur adalah keterlibatan pimpinan militer melalui Muspida dan Muspika yang berfungsi mengendalikan kehidupan masyarakat daerah terutama dalam kegiatan-kegiatan politik seperti mobilisasi rakyat untuk pembangunan dan untuk Pemilihan Umum.
Selain memegang posisi strategis pada pemerintahan, militer juga memegang posisi kunci pada organisasi BUMN, buruh dan golkar. ABRI juga berada dilembaga legislatif sampai dengan tahun 2004 melalui mekanisme pengangkatan. Para perwira membentuk fraksi ABRI di MPR, DPR, DPRD Tk I dan DPRD Tk II, menjalankan fungsi penting seperti menempatkan aspek keamanan dan pertahanan dalam setiap perdebatan UU, memperjuangkan kebijakan sosial-politik yang berasal dari pangab. Seringkali kantor anggota Fraksi ABRI di sebuah wilayah konstituensi menjadi pusat penyelesaian sejumlah persoalan lokal yang tidak bisa dilakukan melalui badan legislatif setempat. Keempat, Rendahnya apresiasi terhadap supremasi hukum dan hak asasi manusia. Hukum dan undang-undang dibuat secara tidak adil dan lebih banyak untuk memenuhi kepentingan politik dan ekonomi bagi kelompok-kelompok yang mempunyai kekuasaan kelas berat. Hukum tidak melindungdi masyarakat tetapi merugikan masyarakat.Apresiasi hukum yang rendah mengakibatkan banyaknya pelanggaran yang terjadi. Seperti, kasung TanjungPriuk atau kasusu Warsidi di Lampung, serta pembunuhan aktivis buruh Marsinah di Sidoarjo. Kelima, Otoritas birokrasi yang berlebihan, kelompok elite yang terdiri dari unsur militer, sipil, teknokrat dan kaum kapitalis melakukan berbagai cara untuk mempertahankan, memperkuat dan memperluas kekuasaan dengan menghalangi partisipasi politik dan membatasi partisipasi ekonomi rakyat, serta menyingkirkan pengaruh massa melalui depolitisasi, mobilisasi dan represi.
Pada Pemerintahan orde baru militer tidak hanya mendominasi peran sosial-politik, akan tetapi tentara sangat leluasa menjalankan praktek-praktek bisnis militernya secara legal dengan ditetapkannya UU Yayasan No.16 tahun 2001. Kecilnya anggaran militer baik khususnya untuk kesejahteraan prajurit dijadikan alasan kuat prektek ini, Panglima TNI mengatakan ’..suatu saat, sebagaimana diharapkan oleh segenap masyarakat Indonesia, pemerintah akan mempunyai kemampun untuk menutup seluruh kesejahteraan masyarakat termasuk prajurit-prajurit TNI beserta keluarganya, maka saat itu, TNI bertekad untuk meninggalkan sepenuhnya kegiatan bisnis yang dikelolanya…”, Panglima TNI Jenderal Endiarto Sutarto mengungkapkan bisnis militer menjadi andalan TNI untuk mendukung kesejahteraan selama ini, oleh karenanya penghapusan bisnis militer harus diimbangi dengan peningkatan anggaran TNI dalam APBN, dari kebutuhan ideal per tahun 44-46 Rp. Triliun ( Jawapos, 19 maret 2005 ).
Akan tetapi dalam realitanya praktek bisnis militer hasilnya hanya dinikmati pada tataran perwira saja. Hampir 52 tahun bisnis militer berlangsung, akan tetapi sekian lama bisnis itu dilakukan tanda-tanda kesejahteraahn prajurit pun tidak menunjukan perubahan, ada kesenjangan yang amat tajam antara kesejahteraan kopral dengan jenderal. Dalam sebuah wawancara dengan majalah tempo tertanggal 15 september 2002, Gubernur DKI jakarta Sutiyoso mengatakan sebelum menjadi gubernur dirinya sudah kaya, karena pernah menjadi Panglima Kodam, Komandan Korem dan Kepala Staf Kodam, besaran kekayaan dikalangnan kaum serdadu mengikuti hierarki kepangkatan dan jabatannya.

·         REFORMASI INTERNAL TNI
            Sejak jatuhnya pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 oleh gerakan mahasiswa yang mengatasnamakan diri sebagai gerakan reformasi, maka posisi ABRI dalam peta perpolitikan di Indonesia ikut jatuh pula. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa ABRI adalah kekuatan politik Orde Baru bersama Golkar. Jatuhnya Orde Baru berarti jatuhnya ABRI sebagai penyangga pemerintah karena ABRI selama orde baru lebih identik dengan alat pemerintah yang berkuasa daripada alat penyangga negara dari segala ancaman. Kecenderungan ABRI yang lebih mementingkan dan memelihara kekuasaan membawa ABRI terjebak pada pola-pola pendekatan yang bersifat refresif.
            Sehingga pada momentum yang tepat yaitu pada saat jatuhnya pemerintah Orde Baru meledakkan semua akumulasi pelanggaran ABRI pada masa lalu tersebut. ABRI dibenci dan dihujat oleh rakyat  karena dianggap lebih sebagai pelindung dan pengamat Orde Baru selama 32 tahun daripada pelindung dan pengayom rakyat.

1.      Era B.J.Habibie
            Pada masa transisi di bawah Presiden B.J. Habiebie banyak perubahan-perubahan penting terjadi dalam tubuh ABRI, terutama dalam tataran konsep dan organisatoris. Seiring dengan arus deras Demokratisasi dan dengan melihat keadaan lingkungan strategis dalam negeri yang menghendaki adanya berbagai tuntutan tersebut, akhirnya ABRI menyadari segera menyadari untuk segera melakukan reformasi Internal seperti diamanatkan dalam ketetapan MPR No.X/MPR/’98 tentang pokok-pokok reformasi pembangunan dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sebagai haluan negara, utamanya tentang agenda penyesuaian implementasi dwi fungsi TNI dengan paradigma baru peran TNI dalam masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pemerintahan Hebibie juga membuat kebijakan awal untuk memisahkan institusi ABRI dengan institusi Kepolisian. Pada era ini pula, dikarenakan desakan yang kuat dari masyarakat, Mabes TNI mengeluarkan kebijakan reformasi internal militer diantaranya : pertama, perubahan paradigm shift sebagai penyesuaian peran sosial-politik ABRI ( belum penghapusan sebagaimana desakan masyarakat ) dimana ABRI berupaya mengubah posisi dan metode tidak harus selalu di depan, ABRI mengubah konsep menduduki menjadi mempengaruhi dan mengubah cara mempengaruhi secara langsung menjadi tidak langsung serta bersedia melalukan political role sharing dalam pengambilan keputusan penting kenegaraan dengan komponen bangsa lainnya. Kedua, perubahan nama ABRI menjadi TNI sebagai upaya mengubah citra karen nama ABRI lebih berkonotasi pada security approach sementara TNI lebih mmpunyai latar belakang historis dengan kedekatannya dengan rakyat. Ketiga, pemutusan hubungan organisatoris dengan partai Golkar dan menegaskan netralitasnya pada pemilu tahun 1999.
            Reformasi TNI juga mensyaratkan bahwa para prajurit TNI diperlakukan sama di muka hukum. Namun, perubahan mengenai posisi TNI di depan hukum baru sebatas dalam bentuk ketentuan prinsip yang menyatakan bahwa “prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”. Namun, ketentuan baru dapat dinyatakan berlaku hanya setelah “undang-undang tentang Peradilan Militer yang baru diberlakukan”. Selama undang-undang Peradialn Militer yang baru belum dibentuk, prajurit “tetap tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer”. Dengan kata lain, prajurit TNI yang melanggar hukum pidana umum tetap masih diadili di peradilan militer karena sampai sekarang undang-undang Peradilan Militer yang baru masih belum dibentuk.

2.      Era Abdurrahman Wahid
Reformasi militer terkait peran militer pada masa Abdurrahman Wahid memiliki beberapa terobosan baik bersifat substansial ataupun operasional diantaranya :
a. Pemisahan Kementerian Pertahanan ( Menhan ) dan Kementerian Keamanan
Hal yang pertama dilakukan Gus Dur ketika menjadi Presiden adalah penataan institusi militer dengan memisahkan jabatan Menteri Pertahanan dan Kementerian Kordinator Politik dan Keamanan. Seperti diketahui selama puluhan tahun era Orde Baru pucuk pimpinan angkatan bersenjata dipegang oleh satu orang yakni Menhankam/Pangab ( Menteri Pertahanan dan Keamanan/ panglima ABRI ). Pemisahan ini dimaksudkan untuk membatasi militer dari persoalan internal negara, dengan posisi pertahanan mengonsentrasikan militer dari ancaman atau intervensi negara lain.
b. Mengangkat tokoh-tokoh sipil untuk jabatan Menteri Pertahanan
Gus Dur mempelopori penempatan pejabat sipil sebagai Menteri Pertahanan setelah selama puluhan tahun jabatan itu dijadikan domain militer, dengan menunjuk Yuwono Sudarsono. Kebijakan ini kemudian dilanjutkan oleh Presiden Megawati maupun Susilo Bambang Yudhoyono.  Menurut Mahfudz MD ada dua alasan, mengapa jabatan Kementerian Pertahanan harus diisi sipil. Pertama, ke depan sistem pertahanan nasional (national devence) tidak lagi hanya bertumpu pada kekuatan militer. Ancaman terhadap pertahanan nasional ke depan jauh lebih kompleks (tidak hanya bersifat fisik), tetapi juga nonfisik (misal, ancaman ideologi, psikis, kultur, dan lain-lain). Karena itu, sistem pertahanan nasional harus mencakup berbagai front (multifront). Kiranya amat tepat jika kementerian ini dipegang oleh figur dari sipil. Kedua, penempatan sosok sipil pada Dephan juga dimaksudkan untuk memperketat/menciptakan kontrol sipil atas militer. Presiden terpilih (the elected politicians) biasanya melakukan kontrol atas institusi militer melalui kewenangan yang dimiliki Menteri Pertahanan. Di negara-negara maju, bahkan Malaysia, posisi TNI ada di bawah dan menjadi bagian Kementerian Pertahanan.
c. Penegasan pemisahan TNI-Polri dan menempatkan lembaga TNI dan Polri di bawah langsung lembaga kepresidenan
Gagasan pemisahan TNI-Polri muncul pada masa pemerintahan Habibie, akan tetapi sampai dengan awal tahun 1999 gagasan ini belum terealisasi. Pemisahan TNI-Polri dimaksudkan untuk memperjelas tugas, wewenang dan tanggung jawab TNI dan Kepolisian.
d. Penghapusan lembaga Badan Kordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional ( Bakorstanas ) dan Lembaga Penelitian Khusus ( Litsus )
Kebijakan lain yang diluncurkan Gus Dur yang bertujuan untuk mengikis hak prerogatif militer adalah penghapusan Bakorstanas dan Litsus. Kebijakan ini dikeluarkan melalui Keppres No.38 tahun 2000. Malik Haramain ( 2004 ) melihat kebijakan ini sebagai upaya pengurangan sejumlah hak istimewa TNI. Semakin efektif pengurangan hak istimewa TNI dilakukan semakin efektif pula kontrol pemerintahan sipil terhadap militer. Sebab, semakin rendak hak istimewa militer terutama dalam urusan politik, maka semakin terbuka peluang kontrol sipil diberlakukan.
e. Penghapusan dominasi Angkatan Darat sebagai Panglima TNI
Keputusan ini tercermin dalam kebijakan menempatkan Laksamana Widodo AS sebagai Panglima Angkatan Bersenjata ( Pangab TNI ). Kebijakan ini sebagai upaya menciptakan tradisi baru dalam pengisian jabatan di tubuh TNI yang selama ini selalu menjadi jatah Angkatan Darat. Penempatan orang Angkatan Laut ( AL ) diposisi tertinggi dalam hirarki kemiliteran sebagai usaha memecahkan mitos bahwa Angkatan Darat lebih cocok dan lebih berhak untuk mengisi posisi Pangab, dan dengan kebijakan ini dimungkinkan terjadinya sharing kekuatan dan kekuasaan antar angkatan di internal TNI.
f. Perumusan TNI dibawah Dephan
Setelah Abdurrahman Wahid mengganti Juwono Sudarsono dengan Prof. Mahfud MD ada upaya mempersipkan UU pertahanan untuk menggantikan UU No.20 tahun 1982. Dimana, menurut Mahfud MD, didalam RUU pertahanan itu terdapat pasal yang mengatur bahwa selurh angkatan yang ada di TNI berada dibawah Departemen Prtahanan ( Dephan ). Keuntungan TNI dibawah Dephan antara lain TNI sepenuhnya berada di bawah komando pemerintahan. Dengan demikian, situasi yang melibatkan konflik militer dengan presiden seperti sering terjadi akan lebih bisa dikontrol karena komando berada di satu tangan. Sementara yang terjadi sebelumnya di TNI adalah seluruh komando ada di tangan Panglima sedangkan dukungan material dan persenjataan dari Dephan.
g. Mutasi Perwira
Langkah lain yang diambil Gus Dur dalam pembenahan militer adalah kebijakan mutasi perwira , kebijakan ini membuat hubungan sipil-militer pada era Gus Dur berada eskalasi konflik yang tinggi. Banyak kalangan menilai langkah-langkah Gus Dur dalam melakukan mutasi besar-besaran seperti pergantian Pangkostrad Djaja Suparman oleh Agus Umar Wirahadikusuma, melikuidasi posisi Wakil Panglima TNI yang ditempati Fachrul Razi dan puncaknya pencopotan Wiranto sebagai Menkopolkam dianggap intervensi sipil kedalam militer yang terlalu jauh atau subjective civilian control over mlitary, danmendorong militer melakukan penolakkan atas keputusan tersebut ( munculnya isu ancaman dari beberapa jenderal untuk mengundurkan diri, dan akhirnya melakukan perselingkuhan dengan elit-elit sipil untuk menurunkan Abdurahman Wahid sebagai presiden. 

3.      Era Pemerintahan Megawati
Pengalaman pemerintahan Gus Dur dan manivestasi militer dalam naiknya Megawati menjadikan penguatan atau penegakkan supremacy cipilmengalami pelemahan. Rizal Sukma melihat, sejak kejatuhan Gus Dur ada anggapan di kalangan politisi sipil bahwa kalau tidak menjaga hubungan baik dengan militer, posisinya lebih gampang digoyang dan rapuh. Akibatnya, pemerintahan Megawati tidak antusias untuk mendorong reformasi militer. Hal inilah yang menyebabkan pemerintahan Megawati berhati-hati dalam membuat kebijakan yang menyangkut kepentingan militer khususnya penegasan peran atau posisi Panglima TNI merupakan subordinasi pemerintahan sah yang dipilih langsung oleh rakyat.
Pola hubungan sipil-militer pada era Megawati menggambarkan kelemahan pemerintah dalam menghadapi kehendak militer. Bahkan George Junus Aditjondro melihat perkembangan militer pada era Megawati sebagai remiliterisasi, walaupun kondisi ini terjadi bukan semuanya di karenakan political will pemerintah. George Junus Aditjondro melihat yang berlangsung pada masa pemerintahan Megawati bukanlah demiliterisasi sebagaimana desakan banyak pihak, akan tetapi sebaliknya, militer melakukan berbagai cara untuk kembali berperan layaknya pada pemerintahan orde baru, dikatakan sedikitnya ada tujuh indikator remiliterisasi di Indonesia. Indikator pertama yang menandai gejala remiliterisasi adalah meningkatnya kepercayaan diri konglomerat-konglomerat yang berafiliasi ke militer untuk menunjukan kuku dan taringnya, kasus teror yang dilakukan Tomy Winata salah satu konglomerat yang didukung militer terhadap kantor majalah Tempo adalah bukti yang tidak bisa dinafikan. Indikator yang kedua munculnya perlawanan yang dilakukan pihak militer terhadap usaha menegakkan ketaatan pada hak-hak asasi manusia melalui lembaga peradilan, dengan memberikan pembenaran terhadap militer untuk menggunakan kekuatan bersenjata yang mematikan, dan bukan sekedar melumpuhkan, dalam sidang pertama kasus Tanjung Priuk denga terdakwa mantan Kasi Ops II Kodam 0502 Jakarta Utara, Mayor Jenderal Sriyanto, sekitar seratus orang anggota Kopassus memenuhi sidang lengkap dengan seragam dan baret merah, ini jelas merupakan usaha memberikan tekanan mental kepada majelis hakim, agar menjauhkan vonis maksimal.
Indikator ketiga adalah munculnya 7 RUU yang disahkan atau sedang dibahas parlemen, yang sarat dengan konsolidasi kekuasaan militer dalam bidang politik dan ekonomi, mulai dari UU No.16 tahun 2001 tentang Yayasan, UU No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, UU No.15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, RUU tentang Kerahasian Negara, RUU tentang Intelejen, RUU tentang TNI, dan RUU tentang Tenaga Cadangan Pertahanan, dimana secara menyeluruh atau parsial, masing-masing UU dan RUU itu mempunyai titik-titik tertentu yang sangat rawan, karena dapat menjadi senjata pamungkas bagi militer untuk mengkonsolidasikan kekuasaan politik dan ekonominya.
Indikator keempat adalah Masuknya sejumlah Purnawirawan kedalam kepengurusan penting didalam partai-partai besar khususnya. Serta Munculnya tiga orang jenderal sebagai Capres atau Cawapres. Indikator kelima, menebalnya kepercayaan diri para purnawirawan ABRI yang makin meningkat menghadapi kecaman negara adidaya ( Amerika Serikat ). Indikator keenam adalah perang untuk merebut kembali simpati media dengan aktif melancarkan efensif ketengah-tengah publik untuk membersihkan nama mereka sekaligus memutihkan sejarah militer. dan Indikator ketujuh adalah seringnya organisasi-organisasi non-pemerintah yang memperjuangkan demokratisasi di berbagai bidang, diserang secara fisik oleh kelompok-kelompok paramiliter yang baru muncul setelah turunya Soeharto dari singgasana kepresidenan.
Ditengah lemahnya kontrol sipil atas militer, Megawati mensahkan Undang-Undang No.34 tahun 2004 tentang TNI. Didalamnya ditegaskan profesionalisme TNI yang terlepas dari aktivitas politik ataupun ekonomi dan berkonsentrasi pada masalah pertahanan.. Pasal 2 ayat e, mendefinisikan tentara profesional sebagai tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Didalam UU ini juga ditandaskan tentang kordinasi Panglima TNI dan Dephan, disebutkan dalam pasal 4 ayat 2 bahwa Panglima TNI harus berkordinasi dengan Dephan dalam kebijakan pertahanan. Namun ketentuan hukum ini tidak menandaskan kejelasan lebih tegas terlait relasi Panglima TNI dan Departemen Pertahanan.


4.      Era Susilo Bambang Yudhoyono    
               Banyak pihak khawatir ketika Letjen Susilo Bambang Yudhoyono terpilih menjadi presiden, mengembalikan dominasi militer dalam perpolitikkan Indonesia. Akan tetapi, kekhawatiran yang ada tidak terlalu besar, dikarenakan figur SBY sendiri yang dikenal sebagai perwira militer yang moderat dan mendukung penghapusan dwi fungsi ABRI serta perkembangan demokratisasi yang sangat pesat, tidak memberikan celah besar kepada militer untuk tampil dominan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa seperti masa Orde Baru. Dalam pembekalan Rapat Pimpinan TNI di Cilangkap. Selaku Panglima Tertinggi Angkatan Darat, Laut dan Udara, Presiden SBY kembali menegaskan bahwa militer harus. “...Berhenti bermain politik praktis, hormati hukum dan HAM, jangan mudah tergoda, petik pelajaran di masa lalu.” Pembaruan, 21/09).
Belum banyak analisa yang dapat dilakukan untuk melihat arah kebijakan SBY dalam menata institusi militer. Akan tetapi ada beberapa kebijakan yang bisa menjadi referensi awal. Seperti, penunjukkan Juwono Sudarsono sebagai Menteri Pertahanan, inventaris bisnis TNI yang ditargetkan selesai bulan Oktober , kebijakan meningkatkan kesejahteraan prajurit. serta polemik dalam pergantian Panglima TNI. Dalam pergantian Panglima TNI, Susilo Bambang Yudhoyono terlihat hati-hati dan masih mempertimbangkan sosok perwira yang mempunyai loyalitas ketika sudah menjadi Panglima TNI. Yuddy Crisnandi ( Republika, 5 Oktober 2005) melihat, pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum sepenuhnya menggambarkan hubungan sipil-militer ideal layaknya gagasan Huntington dalam The Soldier and The State, yaitu berlangsungnya civillian objective control over military. Sekilas tampak SBY mengendalikan militer, namun kenyataannya seolah SBY memiliki kekhawatiran akan loyalitas militernya. Kontroversi pergantian panglima TNI antara DPR dengan Presiden yang tertunda-tunda, menunjukkan alasan kuat akan hal itu. 
  



Sumber:
Rawinarno,Tjahyo.(2008).Peran TNI dari Masa ke Masa.Diunduh Januari 2008, http://newblueprint.wordpress.com/2008/01/14/peran-tni-dari-masa-ke-masa/
Yulianto,Arif (2002).Hubungan Sipil Militer di Indonesia.Jakarta:PT raja grafindo persada.

Hukum Keuangan Negara


BAB IX
HUKUM KEUANGAN NEGARA

A.  Hubungan antar keuangan negara dengan hukum
Mempelajari keuangan negara tanpa mempelajari hukum administrasi negara adalah hal yang mustahil , demikian hal nya yang terdapat anatar keuangan negara dengan hukum perdata dan hukum dagang serta hukum pidana. Misalnya jual beli , sewa menyewa , pemborongan , pelayaran dan sebagainya.

B.  Pengertian keuangan negara
Menurut Manual Administrasi Keuangan Daerah yang di maksud Administrasi Negara adalah semua hak dan kewajiban yang dapat di nilai dengan uang ( baik uang maupun barang ) yang dapat menjadi kekayaan negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
1.    Hak – hak negara :
a.    hak monopoli mencetak uang
b.    hak untuk memungut pajak , bea , cukai dan retribusi
c.    hak untuk memproduksi barang dan jasa yang sangat di buthkan oleh masyaraka
d.   thak untuk melakukan pinjaman baik dalam maupun luar negeri
2.    kewajiban – kewajiban negara :
a.    melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia
b.    memajukan kesejahteraan umum
c.    mencerdaskan kehidupan bangsa
d.   ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan , perdamaian abadi dan keadilan sosial.
3.    ruang ligkup Keuangan negara
ruang lingkupnya dapat di bedakan menjadi 2 komposisi yaitu :
a.    Keuangan negara yang langsung di urus pemerintah
Keuangan negara yang langsung di urus pemerintah dapat berupa uang maupun barang . dalam hal berupa uang berwujud dalam bentuk APBN yang setiap tahun di susun dan di tetapkan dengan UU dan secara teknis operasional di atur dalam berbagai peratutan perundang-undangan.
b.    Keuangan negara yang di pisahkan pengurusannya
Bentuk-bentuk usaha negara tersebut antara lain berupa perusahaan jawatan ( perjan ) , perusahaan umum negara dan persero. Kemudian ada juga lembaga-lembaga keuangan milik negara yang di atur dalam undang-undang no.14/1968 antara lain Banu Bumi Jaya , BNI 1946 , BRI ,Perusahaan Asuransi Jiwasraya , Perusahaan umum Tabungan Asuransi pegawai negeri (perum taspen ) , dll.
4.     aspek sosial ekonomi keuangan negara
aspek sosial ekonomi keuangan negara antara lain mencakup distribusi pendapatan dan kekayaan dan kestabilan kegiatn-kegiatan ekonomi . tujuan kestabilan ekonomi adalah untuk mengurangi timbulnya kegoncangan.

C.  Landasan Hukum Keuangan Negara
1.    Landasan umum
a.    UUD 1945
b.    Ketetapan MPR mengenai garis-garis Besar Haluan Negara
2.    Landasan khusus
a.    UU perbendaharaan indonesiastbl. 1925 nomoer 448 dan terakhir di perbaharui dengan UU no.9 yahun 1969
b.    UU no.5 tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
c.    Undang-undang tentang APBN
d.   Peraturan Perundan-undangan menyangkut Pajak , Bea dan Cukai.
e.    Peraturan Pemerinrah , keputusan/instruksi Presiden dan peraturan /keputusan Menteri Keuangan Negara (termasuk Kepres no.14A tahun 1980)

D.  Aktiva Pemerintah ( Goverment Assets , Overheidsvermagen)
Aktiva atau kekayaan pemerintah adalah merupakan salah satu sumber penting bagi pemerintah untuk mebiayai aktivitas-aktivitasnya dalam rangka melayani kebutuhan –kebutuhan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Secara garis besar kekayaan pemerintah dapat di bagi menjadi , kekayaan pemerintah yang tidak menghasilkan dan kekayaan pemerintah yang memberikan sumber-sumber penghasilan. Kekayaan pemerintah yang tidak menghasilkan adalah gedung-gedung pemrintah sedangkan kekayaan pemerintah yang menghasilkan adalah perusahaan negara.


E.  Anggaran negara
adalah gambaran kebijaksanaan negara  yang tercermin dalam bentuk angka-angka yang merupakan pemasukan dan pengeluaran negara untuk jangka waktu tertentu yang umumnya untuk jangka waktu 1 tahun yang di samping itu memuat data-data pelaksanaan anggaran tahun ini.

F.  Pendapatan negara
Pendapat negara adalah realisasi pemasukan pendapatan negara untuk membiayai pengeluaran-pengaluaran negara. Menurut APBN , pendapatan negara di bedakan menjadi :
1.    Sumber penerimaan rutin = bukan pajak di luar negeri , pajak langsung , bea cukai
2.    Sumber penerimaan pembangunan , meliputi :
a.    Nilai lawan bantuan program
b.    Nilai rupiah bantuan proyek
c.    Sisa anggaran lebih

G.  Keuangan daerah
Wewenang yang di berikan kepada daerah antara lain :
1.    Pemungutan sumber-sumber pendapatan daerah sebagaimana di maksud dalam pasal 55 UU no.5 Tahun 1974
2.    Penyelenggaran penyusunan , pertanggungjawaban dan pengawasan keunagna daerah (pasal 62 UU no.5 th.1974)
3.    Penetapan anggara pendapatn dan belanja daerah ( APBD) dan perhitungan atas APBD (pasal 64 ayat (2) dan (3) UU no.5 th 1974)

H.  Bendaharawan
Pengertian bendaharawan dimuat dalam pasal 77 ayat (1) UU perbendaharaan Indonesia (UUPI) atau ICW. Bendahrawan adalah orang-orang atau badan-badan yang karena negara di tugaskan untuk menerima , menyimpan, membayar atau menyerahkan uang atau kertas-kertas berharga dan barang didalam gudang-gudang atau tepat-tempat penyimpanan yang lain sebagaiman di maksud dalam pasal 55 UUPI/ICW dan selaku demikian di wajibkan memberikan perhitungan tentang hal pengurusannya.


I.     Iventarisasi
Iventarisasi adalah kegiatan untuk melakukan pengurusan, penyelenggaraan , pengaturan pencatatan dan pendaftaran barang-barang inventaris. Daftar inventaris adalah suatu dokumen yang menunjukkan sejumlah kekayaan negara yang bersifat kebendaan baik yang bergerak maupun tidak bergerak. Barang milik negara adalah semua barang milik negra yang berasal atau di beli dengan dana bersumber untuk seluruhnya ataupun sebagian dari anggaran belanja negara.





















BAB X
HUKUM PAJAK

A.  Kedudukan hukum pajak
Hukum pajak yang juga sering di sebut sebagai hukum fisual adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang meliputi kewenangan pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara , sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur hubungan-hubungan hukum anatr negara dengan oorang atau badan-badan hukum yang berkewajiban membayar pajak.

B.  Sejarah pemungutan pajak
Pada zaman dahulu orang-orang telah menganggap bijaksana dan berbudi luhr serta merasa bangga untuk secara sukarela turut serta memelihara kelangsungan hidup  negaranya. Jalan pikiran seperti ini dapat dilihat pada alam pikiran rakyt yunani kuno. Pikirab itu berlangsung terus samapi jatuhnya romawi brat pada tahun 476 masehi, bahkan sampai ditemukannya benua amerika sehingga sampai waktu tersebut pajak secara paks belum dikenal.

C.  Dasar hukum pajak di indonesia
Adanya UU no.8 tahun 1967 belum bisa menjawab secara fundamental tentang masalah perpajakan sehinggatuntutan akan perubahannya kembali tetap ada. Oleh sebab itu sejak tahun 1983 di lahirkan beberapa UU tentang perpajakan yang berlaku sampai sekarang, yaitu :
1.    UU no.6 th 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan
2.    UU no.7 th 1983 tentang pajak penghasilan
3.    UU no.8 th 1983 tentang pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penhualan atas barang mewah
4.    UU no.12 th 1985 tentang pajak buni dan bangunan
5.    UU no.13 th 1985 tentang bea materai



D.  Fungsi pajak
Fungsi pajak yaitu sebagai bugeter dan sebagai regulerend. Fungsi budgeter pajak terletak di sekitar publik dan merupakan suatu alat atau sumber untuk memasukan uang sebanyak-banyaknya pada kas negara kemudian di pergunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara yang pada umunya di pergunakan untuk membiayai pengeluaran rutin. Fungsi regulerend adalah pajak di gunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang berada diluar bidang ekonomi dan banayk di tujukan pada sekitar swasta.

E.  Macam-macam pemungutan
Secara garis besar macam –macam pungutan yang umumnya di lakukan oleh pemerintah terhadap rakyat ada 3 macam yaitu :
1.    Pajak
2.    Retribusi
3.    Sumbangan
Sedangkan pajak sebagai pungutan dapat di bedakan menjadi :
1.    Pajak subyektif dan pajak obyektif
2.    Pajak langsung dan pajak tidak langsung
3.    Pajak umum dan pajak daerah

F.  Retribusi , sumbangan dan ireda/ipeda
Retribusi adalah pungutan sebagai pembayaran atas suatu pemakaian denagan prestasi kembalinya secara langsung.
Sumbangan adalah biaya-biaya atau pungutan yang di keluarkan untuk prestasi pemrintahj tertentu dalam menutupi kekurangan keuangan, ireda/ipeda adalah pungutan pusat yang di selenggarakan oleh suatu direktorat yang semula bernama direktorat pajak hasil bumi yang kemudian diubah menjadi direktorat jenderal pajak.

G.  Timbulnya hutang pajak
1.    Ajaran materiil, hutang pajak timbul karena UU , bukan karena ketetapan fiksus.
2.    Ajaran formal , hutang pajak timbul setelah di keluarkan surat ketetapan pajak.



H.  Cara pemungutan pajak
1.    Stelsel nyata
2.    Stelsel anggapan
3.    Stelsel campuran