Winnie The Pooh Glitter

Jumat, 13 April 2012

civic education dalam perspektif internasional

Tahun ini (2009) kita kembali merayakan ulang tahun kemerdekaan yang ke-64. Untuk ukuran hidup manusia usia 64 tahun itu telah memasuki usia kematangan, namun kita masih menyaksikan berbagai gejolak dalam masyarakat kita pada beberapa tahun terakhir ini yang sangat memprihatinkan kita semua. Pertama, munculnya karakter buruk yang ditandai kondisi kehidupan sosial budaya kita yang berubah sedemikian drastis dan fantastis. Bangsa yang sebelumnya dikenal penyabar, ramah, penuh sopan santun dan pandai berbasa-basi sekonyong-konyong menjadi pemarah, suka mencaci, pendendam, membakar manusia hidup-hidup di keramaian kota, mutilasi, perang antar kampung dan suku dengan tingkat kekejaman yang sangat biadab. Bahkan yang lebih tragis, anak-anak kita yang masih duduk di bangku sekolah pun sudah dapat saling bunuh di jalanan.
Kedua, dalam tiga dekade terakhir ini Indonesia tengah mengalami proses kehilangan, mulai dari kehilangan dalam aspek alam fisik, alam hayati, manusia, dan budaya. Dalam aspek alam fisik Indonesia telah kehilangan tanah subur kita. Luas tanah kritis di Indonesia pada tahun 2008 menurut perkiraan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Kehutanan Sosial, Departemen Kehutanan RI ditaksir 77,8 juta hektar. Tanah kritis ini diperkirakan akan terus bertambah satu juta hektar setiap tahunnya. Kita makin kehilangan hak guna tanah untuk perkebunan karena semakin banyaknya perusahaan asing yang bergerak di bidang perkebunan di Indonesia. Dalam aspek alam hayati, kita telah kehilangan hutan tropis. Indonesia sekarang dikenal sebagai negara dengan laju deforestasitertinggi di dunia. Kita juga kehilangan kekayaan alam yang berasal dari laut yang diambil secara ilegal oleh penjarah dari dalam maupun luar negeri. Dalam aspek manusia, Indonesia kehilangan daya saing. Dalam World Competitivness Scoreboard tahun 2007, Indonesia menempati peringkat 54 dari 55 negara, turun dari peringkat 52 pada tahun 2006. Kita kehilangan niat untuk menaati hukum, bahkan menaati aturan yang paling sederhana yaitu aturan berlalu-lintas (Raka,2008:3). Dalam aspek budaya kita sudah kehilangan kecintaan terhadap kesenian tradisional sebagai warisan budaya adiluhung bangsa. Sebagian dari kita sudah kehilangan kejujuran dan rasa malu. Sudah sekian lamanya Indonesia mendapat predikat sebagai salah satu negara yang tingkat korupsinya sangat tinggi di dunia. Celakanya predikat ini tidak membuat kita merasa malu dan korupsi nyatanya terus berlangsung dengan modus operandi yang berubah-ubah. Kita kehilangan rasa ke-Indonesiaan kita. Tampaknya kita makin menonjolkan kepentingan daerah dan golongan daripada kepentingan bangsa dan negara. Kita kehilangan cita-cita bersama (in-group feeling) sebagai bangsa. Tiada lagi “Indonesian Dream” yang mengikat kita bersama, yang lebih menonjol adalah cita-cita golongan untuk mengalahkan golongan lain.
Indonesia sudah kehilangan banyak hal dan kehilangan ini bukan tidak mungkin masih dapat berlangsung. Jika demikian daftar kehilangan tentu akan semakin panjang. Pertanyaannya, mungkinkah ini tanda-tanda kita akan meluncur ke arah kehilangan segala-galanya sebagaimana tersirat dalam kata-kata bijak berikut ini:
You lose your wealth, you lose nothing
You lose your health, you lose something
You lose your character, you lose everything
Tentu saja kita tidak berharap seperti itu. Kita tidak menghendaki kehilangan karakter sebagai bangsa sehingga akan kehilangan segala-galanya. Oleh karena itu perlu mencermati dengan sungguh-sungguh apa sebenarnya yang menjadi sumber terjadinya berbagai gejolak tersebut. Situasi yang bergolak serupa ini dapat dijelaskan secara sosiologis karena ini memiliki kaitan dengan struktur sosial dan sistem budaya yang telah terbangun pada masa yang lalu. Mencoba membaca situasi reformasi ini terdapat beberapa gejala sosiologis fundamental yang menjadi sumber terjadinya berbagai gejolak dalam masyarakat kita saat ini.
Pertama, suatu kenyataan yang memprihatinkan bahwa setelah tumbangnya struktur kekuasaan “otokrasi”  yang dimainkan Rezim Orde Baru ternyata bukan demokrasi yang kita peroleh melainkan oligarki dimana kekuasaan terpusat pada sekelompok kecil elit, sementara sebagian besar rakyat (demos) tetap jauh dari sumber-sumber kekuasaan (wewenang, uang, hukum, informasi, pendidikan, dan sebagainya).
Kedua, sumber terjadinya berbagai gejolak dalam masyarakat kita saat ini adalah akibat munculnya kebencian sosial budaya terselubung (socio-cultural animosity). Gejala ini muncul dan semakin menjadi-jadi pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Ketika rezim Orde Baru berhasil dilengserkan, pola konflik di Indonesia ternyata bukan hanya terjadi antara pendukung fanatik Orde Baru dengan pendukung Reformasi, tetapi justru meluas menjadi konflik antarsuku, antarumat beragama, kelas sosial, kampung, dan sebagainya. Sifatnya pun bukan vertikal antara kelas atas dengan kelas bawah tetapi justru lebih sering horizontal, antarsesama rakyat kecil, sehingga konflik yang terjadi bukan konflik yang korektif tetapi destruktif (bukan fungsional tetapi disfungsional), sehingga kita menjadi  sebuah bangsa yang menghancurkan dirinya sendiri (self destroying nation).
Ciri lain dari konflik yang terjadi di Indonesia adalah bukan hanya yang bersifat terbuka (manifest conflict) tetapi yang lebih berbahaya lagi adalah konflik yang tersembunyi (latent conflict) antara berbagai golongan. Socio-cultural animosityadalah suatu kebencian sosial budaya yang bersumber dari perbedaan ciri budaya dan perbedaan nasib yang diberikan oleh sejarah masa lalu, sehingga terkandung unsur keinginan balas dendam. Konflik terselubung ini bersifat laten karena terdapat mekanisme sosialisasi kebencian yang berlangsung di hampir seluruh pranata sosialisasi di masyarakat (mulai dari keluarga, sekolah, kampung, tempat ibadah, media massa, organisasi massa, organisasi politik, dan sebagainya).
Tidak dapat dipungkiri bahwa kebencian sosial budaya terselubung ini sangat berhubungan dengan pluralitas negara-bangsa Indonesia. Contoh nyata hancurnya Yugoslavia akibat semakin menipisnya in-group feeling di antara etnis yang ada, sementara katup penyelamat (safety valve institution) untuk mengurai kebencian sosial budaya terselubung tidak bekerja efektif. Namun hal ini bukan faktor penentu, karena banyak masyarakat plural yang lain bisa membangun platformbudaya yang mampu menghasilkan kerukunan antaretnis pada derajat yang cukup mantap. Sebagai contoh masyarakat Malaysia dengan konsep pembangunan sosial budayanya telah berhasil menyiptakan civic culture sebagai kesepakatan budaya untuk membangun kerukunan antarkelompok rasial dan agama. Konflik politik sekeras apapun yang terjadi di Malaysia, tidak pernah mengusik kesepakatan ini (Wirutomo,2001:7). Berbeda halnya dengan yang terjadi di Indonesia bahwa setiap perbedaan pandangan politik selalu ditarik lagi kepada faktor perbedaan budaya yang paling mendasar (terutama agama). Inilah yang membuat persoalan politik tidak pernah mudah diselesaikan.
Jika menengok pada proses integrasi bangsa Indonesia, persoalannya terletak pada kurangnya mengembangkan kesepakatan nilai secara alamiah dan partisipatif (integrasi normatif) dan lebih mengandalkan pendekatan kekuasaan (integrasi koersif). Atas dasar kenyataan demikian maka cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan masa lalu.  Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis yang memiliki karakter ke-Indonesiaan yang adaptif di era global.
Era globalisasi yang ditandai oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang amat pesat, terutama teknologi informasi dan komunikasi, telah mengubah dunia seakan-akan menjadi kampung dunia (global village).  Dunia menjadi transparan tanpa mengenal batas negara. Kondisi yang demikian itu berdampak pada seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di samping itu, dapat pula mempengaruhi pola pikir, pola sikap, dan pola tindak seluruh masyarakat Indonesia. Fenomena globalisasi telah menantang kekuatan penerapan unsur-unsur karakter bangsa. Kenichi Ohmae dalam bukunya yang berjudul Borderless World: Power and Strategy in the Interlinked Economy (1999) dan The End of Nation State: The Rise of Regional Economies (1996) mengatakan bahwa dalam perkembangan masyarakat global, batas-batas wilayah negara dalam arti geografis dan politik relatif masih tetap. Namun kehidupan dalam suatu negara tidak mungkin dapat membatasi kekuatan global yang berupa informasi, inovasi, dan industri yang membentuk peradaban modern. Itulah pentingnya kita harus lebih waspada dengan tetap meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa serta mengekalkan karakter sebagai bangsa yang berdaulat sempurna (Dasim Budimansyah).

Sumber:http://actacivicus.wordpress.com/

Statuta Mahkamah Internasional

Statuta Mahkamah Internasional

Statuta Mahkamah Internasional dilampirkan pada Piagam PBB, yang membentuk bagian integral. Tujuan utama dari Statuta tersebut adalah untuk mengatur komposisi dan fungsi Pengadilan.
Statuta ini dapat diubah hanya dalam cara yang sama seperti Piagam, yakni dengan suara mayoritas dua pertiga di Majelis Umum dan ratifikasi oleh dua pertiga dari Amerika (Seni 69).
Haruskah ICJ menganggapnya diinginkan untuk Negara untuk diubah, maka harus mengajukan proposal ke efek kepada Majelis Umum melalui suatu komunikasi tertulis yang ditujukan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (Seni 70). Namun, ada sampai sekarang belum ada perubahan Statuta Pengadilan.

NEGARA
DARI
PENGADILAN INTERNASIONAL HUKUM
DAFTAR ISI :
Bab I: Organisasi Pengadilan (Pasal 2 - 33)
Bab II: Kompetensi Pengadilan (Pasal 34 - 38)
Bab III: Prosedur (Pasal 39-64)
Bab IV: Pendapat Penasehat (Pasal 65-68)
Bab V: Perubahan (Pasal 69 & 70)

Pasal 1
Pengadilan Keadilan Internasional yang ditetapkan oleh Piagam PBB sebagai organ hukum utama PBB harus dibentuk dan akan berfungsi sesuai dengan ketentuan Statuta ini.
BAB I - ORGANISASI PENGADILAN
Pasal 2
Pengadilan terdiri dari tubuh hakim independen, terpilih tanpa memandang kebangsaan mereka dari kalangan bermoral tinggi, yang memiliki kualifikasi yang dibutuhkan di negara masing-masing untuk janji ke kantor peradilan tertinggi, atau berada jurisconsults kompetensi yang diakui di internasional hukum.
Pasal 3
1. Pengadilan terdiri dari lima belas anggota, tidak ada dua di antaranya mungkin warga negara dari negara yang sama.
2. Seseorang yang untuk keperluan keanggotaan dalam Pengadilan dapat dianggap sebagai warga negara dari lebih dari satu negara akan dianggap menjadi warga negara dari satu di mana ia biasanya latihan hak-hak sipil dan politik.
Pasal 4
1. Para anggota Mahkamah harus dipilih oleh Majelis Umum dan oleh Dewan Keamanan dari daftar orang-orang dicalonkan oleh kelompok nasional di Pengadilan Tetap Arbitrase, sesuai dengan ketentuan sebagai berikut.
2. Dalam hal Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak terwakili di Pengadilan Tetap Arbitrase, calon diusulkan oleh kelompok-kelompok nasional yang ditunjuk untuk tujuan ini oleh pemerintah mereka dalam kondisi yang sama dengan yang diungkapkan untuk anggota Pengadilan Tetap Arbitrase dalam Pasal 44 Konvensi Den Haag tahun 1907 untuk penyelesaian sengketa pasifik internasional.
3. Kondisi di mana sebuah negara yang menjadi pihak pada Statuta ada tapi bukan Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat berpartisipasi dalam pemilihan anggota Pengadilan wajib, tidak adanya kesepakatan khusus, ditetapkan oleh Majelis Umum atas rekomendasi Dewan Keamanan.
Pasal 5
1. Setidaknya tiga bulan sebelum tanggal pemilihan, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa harus mengirimkan permohonan tertulis kepada anggota Pengadilan Tetap Arbitrase milik negara yang merupakan pihak dalam Statuta ini, dan untuk anggota kelompok nasional ditunjuk berdasarkan Pasal 4, ayat 2, mengundang mereka untuk melakukan, dalam waktu tertentu, oleh kelompok-kelompok nasional, pencalonan orang dalam posisi untuk menerima tugas-tugas seorang anggota Pengadilan.
2. Ada kelompok yang dapat mengajukan lebih dari empat orang, tidak lebih dari dua di antaranya harus dari kebangsaan mereka sendiri. Dalam hal tidak mungkin jumlah calon yang diusulkan oleh kelompok lebih dari dua kali lipat jumlah kursi untuk diisi.
Pasal 6
Sebelum membuat ini nominasi, masing-masing kelompok nasional disarankan untuk berkonsultasi pengadilan tertinggi keadilan, fakultas hukum dan sekolah hukum, dan akademi nasional dan nasional bagian dari akademi internasional dikhususkan untuk mempelajari hukum.
Pasal 7
1. Sekretaris Jenderal mempersiapkan daftar nama dalam urutan alfabetis dari semua orang yang dicalonkan. Simpan sebagai diatur dalam Pasal 12 ayat 2, ini akan menjadi orang saja yang memenuhi syarat.
2. Sekretaris Jenderal harus menyerahkan daftar ini kepada Majelis Umum dan Dewan Keamanan.
Pasal 8
Majelis Umum dan Dewan Keamanan akan melanjutkan bebas satu sama lain untuk memilih anggota Pengadilan.
Pasal 9
Pada setiap pemilu, para pemilih harus diingat bahwa tidak hanya orang-orang yang terpilih secara individual harus memiliki kualifikasi yang dibutuhkan, tetapi juga bahwa di dalam tubuh sebagai representasi seluruh bentuk utama peradaban dan prinsip sistem hukum dari dunia harus terjamin.
Pasal 10
1. Mereka kandidat yang memperoleh mayoritas mutlak suara di Majelis Umum dan Dewan Keamanan akan dianggap sebagai terpilih.
2. Setiap suara Dewan Keamanan, baik untuk pemilihan hakim atau untuk pengangkatan anggota konferensi yang digambarkan dalam Pasal 12, harus diambil tanpa perbedaan antara anggota tetap dan tidak tetap Dewan Keamanan.
3. Dalam hal terjadi lebih dari satu nasional dari negara yang sama memperoleh mayoritas mutlak dari suara kedua Majelis Umum dan Dewan Keamanan, anak sulung dari hal ini hanya dianggap sebagai terpilih.
Pasal 11
Jika, setelah pertemuan pertama yang diadakan untuk tujuan pemilu, satu atau lebih kursi tetap harus diisi, kedua dan, jika perlu, pertemuan ketiga akan terjadi.
Pasal 12
1. Jika, setelah pertemuan ketiga, satu atau lebih kursi masih tetap terisi, konferensi bersama yang terdiri dari enam anggota, tiga diangkat oleh Majelis Umum dan tiga oleh Dewan Keamanan, dapat terbentuk setiap saat atas permintaan baik Majelis Umum atau Dewan Keamanan, untuk tujuan memilih dengan suara nama salah satu mayoritas mutlak untuk setiap kursi masih kosong, untuk menyerahkan kepada Majelis Umum dan Dewan Keamanan untuk penerimaan masing-masing.
2. Jika konferensi bersama dengan suara bulat disetujui setiap orang yang memenuhi kondisi yang diperlukan, ia dapat dimasukkan dalam daftar, meskipun ia tidak termasuk dalam daftar nominasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
3. Jika konferensi bersama puas bahwa itu tidak akan berhasil dalam pengadaan pemilihan umum anggota-anggota Mahkamah yang telah terpilih harus, dalam jangka waktu yang akan ditetapkan oleh Dewan Keamanan, lanjutkan untuk mengisi kursi kosong oleh seleksi dari antara para kandidat yang telah memperoleh suara baik dalam Majelis Umum atau Dewan Keamanan.
4. Dalam hal kesetaraan suara di antara para hakim, hakim sulung harus memiliki suara casting.
Pasal 13
1. Para anggota Mahkamah harus dipilih selama sembilan tahun dan dapat dipilih kembali; disediakan, bagaimanapun, bahwa para hakim terpilih pada pemilihan pertama, masa jabatan untuk lima hakim akan berakhir pada akhir tiga tahun dan masa jabatan untuk lima hakim lagi yang harus berakhir pada akhir enam tahun.
2. Para hakim yang istilah yang akan berakhir pada akhir yang disebutkan di atas periode awal tiga dan enam tahun akan dipilih oleh banyak yang harus ditarik oleh Sekretaris Jenderal segera setelah pemilihan pertama telah selesai.
3. Para anggota Mahkamah akan terus melaksanakan tugas mereka sampai tempat mereka telah diisi. Meskipun diganti, mereka akan menyelesaikan setiap kasus yang mereka mungkin telah dimulai.
4. Dalam kasus pengunduran diri anggota Pengadilan, pengunduran diri tersebut harus ditujukan kepada Ketua Pengadilan untuk transmisi kepada Sekretaris Jenderal. Ini pemberitahuan terakhir membuat tempat itu kosong.
Pasal 14
Lowongan diisi oleh metode yang sama seperti yang digariskan untuk pemilihan pertama, tunduk pada ketentuan berikut: Sekretaris Jenderal harus, dalam waktu satu bulan terjadi lowongan, lanjutkan untuk mengeluarkan undangan diatur dalam Pasal 5, dan tanggal pemilihan akan ditetapkan oleh Dewan Keamanan.
Pasal 15
Seorang anggota Mahkamah terpilih untuk menggantikan anggota yang masa jabatannya belum kedaluwarsa akan memegang jabatan selama sisa jangka pendahulunya.
Pasal 16
1. Tidak ada anggota dari Pengadilan dapat melaksanakan fungsi politik atau administratif, atau terlibat dalam pekerjaan lain yang bersifat profesional.
2. Setiap keraguan mengenai hal ini harus diselesaikan oleh keputusan Pengadilan.
Pasal 17
1. Tidak ada anggota dari Pengadilan dapat bertindak sebagai agen, penasehat, atau advokat dalam hal apapun.
2. Tidak ada anggota dapat berpartisipasi dalam keputusan setiap kasus di mana ia sebelumnya mengambil bagian sebagai agen, penasehat, atau pembela salah satu pihak, atau sebagai anggota pengadilan nasional atau internasional, atau komisi penyelidikan, atau dalam kapasitas lain.
3. Setiap keraguan mengenai hal ini harus diselesaikan oleh keputusan Pengadilan.
Pasal 18
1. Tidak ada anggota Mahkamah bisa diberhentikan kecuali, menurut pendapat bulat dari anggota lain, dia tidak lagi memenuhi persyaratan yang diperlukan.
2. Pemberitahuan resmi dari padanya akan dilakukan kepada Sekretaris Jenderal dengan Panitera.
3. Pemberitahuan ini membuat tempat itu kosong.
Pasal 19
Para anggota Mahkamah, ketika terlibat pada bisnis Pengadilan, harus menikmati hak istimewa dan kekebalan diplomatik.
Pasal 20
Setiap anggota Mahkamah akan, sebelum memulai tugasnya, membuat pernyataan khidmat di pengadilan terbuka bahwa ia akan melaksanakan kekuasaannya memihak dan sungguh-sungguh.
Pasal 21
1. Pengadilan akan memilih Presiden dan Wakil Presiden selama tiga tahun, mereka dapat terpilih kembali.
2. Pengadilan akan menunjuk Panitera dan dapat memberikan penunjukan petugas lainnya yang dianggap perlu.
Pasal 22
1. Kursi Pengadilan harus ditetapkan di Den Haag. Ini, bagaimanapun, tidak akan mencegah pengadilan dari duduk dan berolahraga fungsinya tempat lain setiap kali Pengadilan menganggap perlu.
2. Presiden dan Panitera akan berada di kursi Pengadilan.
Pasal 23
1. Pengadilan akan tetap secara permanen di sesi, kecuali selama liburan peradilan, tanggal dan durasi yang akan ditetapkan oleh Pengadilan.
2. Anggota Mahkamah berhak atas cuti periodik, tanggal dan durasi yang akan ditetapkan oleh Pengadilan, terbersit dalam pikiran jarak antara Den Haag dan rumah dari setiap hakim.
3. Anggota Mahkamah akan terikat, kecuali mereka cuti atau berhalangan karena sakit atau alasan serius lainnya sepatutnya menjelaskan kepada Presiden, untuk menahan diri secara permanen di pembuangan Pengadilan.
Pasal 24
1. Jika, untuk beberapa alasan khusus, anggota Mahkamah menilai bahwa ia seharusnya tidak mengambil bagian dalam keputusan kasus tertentu, ia wajib memberitahu Presiden.
2. Jika Presiden menganggap bahwa untuk beberapa alasan khusus salah satu anggota Mahkamah tidak harus duduk dalam kasus tertentu, maka ia harus memberinya melihat sesuai.
3. Jika dalam kasus seperti ini, anggota Pengadilan dan Presiden setuju, masalah ini harus diselesaikan oleh keputusan Pengadilan.
Pasal 25
1. Pengadilan akan duduk penuh kecuali bila secara tegas ditentukan lain dalam Anggaran Dasar ini.
2. Dengan syarat bahwa jumlah hakim yang tersedia untuk membentuk Mahkamah tidak berkurang di bawah sebelas, Peraturan Pengadilan dapat menyediakan untuk memungkinkan satu atau lebih hakim, sesuai dengan keadaan dan dalam rotasi, yang akan dibagikan dari duduk.
3. Sebuah kuorum dari sembilan hakim cukup untuk membentuk Pengadilan.
Pasal 26
1. Pengadilan dapat dari waktu ke bentuk waktu satu atau lebih kamar, terdiri dari tiga atau lebih hakim sebagai Pengadilan dapat menentukan, untuk menangani kasus kategori tertentu, misalnya, kasus perburuhan dan kasus yang berkaitan dengan angkutan dan komunikasi.
2. Pengadilan setiap saat dapat membentuk ruang untuk menangani kasus tertentu. Jumlah hakim untuk membentuk seperti sebuah ruangan akan ditentukan oleh Mahkamah dengan persetujuan para pihak.
3. Kasus harus didengar dan ditentukan oleh ruang yang diatur dalam artikel ini apabila para pihak permintaan.
Pasal 27
Sebuah penilaian yang diberikan oleh salah satu ruang diatur dalam Pasal 26 dan 29 dianggap sebagai yang diberikan oleh Pengadilan.
Pasal 28
Ruang diatur dalam Pasal 26 dan 29 dapat, dengan persetujuan para pihak, duduk dan melaksanakan fungsi mereka di tempat lain daripada di Den Haag.
Pasal 29
Dengan tujuan untuk pengiriman cepat dari bisnis, Mahkamah akan membentuk setiap ruang terdiri dari lima hakim yang, atas permintaan para pihak, dapat memeriksa dan memutuskan kasus dengan prosedur ringkasan. Selain itu, dua hakim harus dipilih untuk tujuan penggantian hakim yang merasa tidak mungkin untuk duduk.
Pasal 30
1. Mahkamah akan membingkai aturan untuk menjalankan fungsinya. Secara khusus, ia harus berbaring aturan prosedur.
2. Aturan Pengadilan dapat menyediakan asesor untuk duduk ke Pengadilan atau dengan salah satu ruang, tanpa hak untuk memilih.
Pasal 31
1. Hakim melihat kewarganegaraan dari masing-masing pihak akan mempertahankan hak mereka untuk duduk dalam kasus pengadilan.
2. Jika Pengadilan termasuk pada Bench hakim melihat kewarganegaraan dari salah satu pihak, pihak lain mungkin memilih orang untuk duduk sebagai hakim. Orang tersebut harus dipilih sebaiknya dari kalangan orang-orang yang telah dinominasikan sebagai calon sebagaimana diatur dalam Pasal 4 dan 5.
3. Jika Pengadilan termasuk pada Bench tidak ada hakim melihat kewarganegaraan dari para pihak, masing-masing pihak dapat melanjutkan untuk memilih hakim sebagaimana ditentukan dalam ayat 2 Pasal ini.
4. Ketentuan-ketentuan Pasal ini akan berlaku untuk kasus Pasal 26 dan 29. Dalam kasus tersebut, Presiden akan meminta satu atau, jika perlu, dua anggota Mahkamah membentuk ruang untuk mewadahi anggota Pengadilan kewarganegaraan dari pihak yang bersangkutan, dan, gagal seperti itu, atau jika mereka tidak dapat hadir, para hakim khusus dipilih oleh para pihak.
5. Harus ada beberapa pihak untuk kepentingan yang sama, mereka harus, untuk tujuan ketentuan-ketentuan sebelumnya, harus diperhitungkan sebagai salah satu pihak saja. Keraguan pada titik ini harus diselesaikan oleh keputusan Pengadilan.
6. Hakim dipilih sebagai ditetapkan dalam ayat 2, 3, dan 4 pasal ini harus memenuhi kondisi yang disyaratkan oleh Pasal 2, 17 (ayat 2), 20, dan 24 dari Statuta ini. Mereka harus mengambil bagian dalam keputusan tentang hal kesetaraan lengkap dengan rekan-rekan mereka.
Pasal 32
1. Setiap anggota Mahkamah akan menerima gaji tahunan.
2. Presiden harus menerima tunjangan tahunan khusus.
3. Wakil Presiden akan menerima tunjangan khusus untuk setiap hari dimana dia bertindak sebagai Presiden.
4. Para hakim dipilih berdasarkan Pasal 31, selain anggota Pengadilan, akan menerima kompensasi untuk setiap hari di mana mereka melaksanakan fungsi mereka.
5. Ini gaji, tunjangan, dan kompensasi akan ditetapkan oleh Majelis Umum. Mereka tidak mungkin akan menurun selama masa jabatan.
6. Gaji Panitera harus ditetapkan oleh Majelis Umum atas usul Pengadilan.
7. Peraturan yang dibuat oleh Majelis Umum akan memperbaiki kondisi di mana pensiun pensiun dapat diberikan kepada anggota Mahkamah dan Panitera, dan kondisi di mana anggota Mahkamah dan Panitera akan memiliki biaya perjalanan mereka dikembalikan.
8. Gaji di atas, tunjangan, dan kompensasi harus bebas dari semua pajak.
Pasal 33
Biaya Pengadilan akan ditanggung oleh PBB sedemikian rupa ditetapkan oleh Majelis Umum.
BAB II - KEWENANGAN PENGADILAN
Pasal 34
1. Negara hanya mungkin pihak dalam kasus pengadilan.
2. Pengadilan, dikenakan dan sesuai dengan Aturan nya, dapat meminta informasi organisasi publik internasional yang relevan untuk kasus-kasus sebelumnya, dan akan menerima informasi tersebut disajikan oleh organisasi seperti atas inisiatif sendiri.
3. Setiap kali pembangunan instrumen konstituen dari organisasi publik internasional atau dari bawahnya konvensi internasional diadopsi dipertanyakan dalam kasus sebelum Pengadilan, Panitera sehingga harus memberitahu organisasi publik internasional yang bersangkutan dan harus menyampaikan kepada itu salinan dari semua tuntutan tertulis .
Pasal 35
1. Pengadilan harus terbuka kepada negara pihak pada Statuta ini.
2. Kondisi di mana Mahkamah akan terbuka bagi negara-negara lain harus, tunduk pada ketentuan khusus yang terkandung dalam perjanjian yang berlaku, akan ditetapkan oleh Dewan Keamanan, tetapi dalam kasus apapun kondisi seperti menempatkan para pihak dalam posisi ketidaksetaraan sebelum pengadilan.
3. Ketika sebuah negara yang bukan Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan pihak pada sebuah kasus, Mahkamah akan memperbaiki jumlah yang pihak yang berkontribusi terhadap biaya Pengadilan. Ketentuan ini tidak berlaku jika negara tersebut membawa bagian dari biaya Pengadilan
Pasal 36
1. Yurisdiksi Pengadilan terdiri dari semua kasus dimana para pihak menyebutnya dan semua hal-hal khusus yang diatur dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa atau dalam perjanjian dan konvensi yang berlaku.
2. Negara pihak pada Statuta ini dapat setiap saat menyatakan bahwa mereka mengakui sebagai ipso facto wajib dan tanpa kesepakatan khusus, dalam hubungannya dengan negara lain menerima kewajiban yang sama, yurisdiksi Pengadilan di semua sengketa hukum mengenai:
a. interpretasi suatu perjanjian;
b. pertanyaan hukum internasional;
c. keberadaan setiap fakta yang jika dibentuk, akan merupakan pelanggaran kewajiban internasional;
d. sifat atau tingkat perbaikan yang akan dibuat untuk pelanggaran kewajiban internasional.
3. Deklarasi tersebut di atas dapat dilakukan tanpa syarat atau dengan syarat timbal balik pada bagian dari beberapa negara bagian atau tertentu, atau selama waktu tertentu.
4. Deklarasi tersebut harus disimpan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa yang akan menyampaikan salinannya kepada para pihak untuk Statuta dan Panitera Pengadilan.
5. Deklarasi yang dibuat berdasarkan Pasal 36 dari Statuta Pengadilan Tetap Internasional Keadilan dan mana yang masih berlaku akan dianggap, karena antara pihak dalam Statuta ini, untuk menjadi akseptasi yurisdiksi wajib dari Pengadilan Internasional untuk periode yang mereka masih harus berjalan dan sesuai dengan persyaratan mereka.
6. Dalam hal terjadi perselisihan mengenai apakah Mahkamah memiliki yurisdiksi, masalah ini harus diselesaikan oleh keputusan Pengadilan.
Pasal 37
Setiap kali sebuah perjanjian atau konvensi yang berlaku menyediakan untuk referensi materi untuk pengadilan telah ditetapkan oleh Liga Bangsa-Bangsa, atau kepada Pengadilan Tetap Internasional Keadilan, masalah ini harus, antara pihak-pihak pada Statuta ini, disebut ke Mahkamah Internasional.
Pasal 38
1. Pengadilan, yang berfungsi untuk memutuskan sesuai dengan sengketa hukum internasional seperti yang diserahkan kepadanya, berlaku:
a. konvensi internasional, baik umum maupun khusus, aturan menetapkan secara tegas diakui oleh negara-negara peserta;
b. internasional adat, sebagai bukti dari praktek umum diterima sebagai hukum;
c. umum prinsip-prinsip hukum yang diakui oleh negara-negara beradab;
d. tunduk pada ketentuan Pasal 59, keputusan hukum dan ajaran-ajaran humas yang paling berkualifikasi tinggi dari berbagai bangsa, sebagai anak perusahaan berarti untuk penentuan aturan hukum.
2. Ketentuan ini tidak mengurangi kekuatan Mahkamah untuk memutuskan kasus mantan aequo et bono, apabila para pihak setuju hal tersebut.
BAB III - PROSEDUR
Pasal 39
1. Bahasa resmi Mahkamah akan menjadi Perancis dan Inggris. Jika para pihak sepakat bahwa kasus tersebut dilakukan di Perancis, penilaian disampaikan dalam bahasa Prancis. Jika para pihak sepakat bahwa kasus tersebut akan dilakukan dalam bahasa Inggris, penilaian tersebut harus disampaikan dalam bahasa Inggris.
2. Dengan tidak adanya kesepakatan untuk yang bahasa harus diberlakukan, setiap pihak dapat, dalam pembelaan, menggunakan bahasa yang lebih memilih; putusan Pengadilan harus diberikan dalam bahasa Prancis dan Inggris. Dalam hal ini Mahkamah akan sekaligus menentukan yang mana dari dua teks akan dianggap sebagai berwibawa.
3. Mahkamah akan, atas permintaan dari pihak manapun, wewenang bahasa lain selain bahasa Perancis atau bahasa Inggris untuk digunakan oleh pihak tersebut.
Pasal 40
1. Kasus di bawa ke hadapan Mahkamah, sebagai kasus mungkin, baik dengan pemberitahuan dari perjanjian khusus atau dengan permohonan tertulis yang ditujukan kepada Panitera. Dalam kedua kasus subjek sengketa dan para pihak harus ditunjukkan.
2. Panitera wajib segera mengkomunikasikan aplikasi untuk semua pihak.
3. Dia juga harus memberitahukan kepada Anggota PBB melalui Sekretaris Jenderal, dan juga setiap negara-negara lain berhak untuk menghadap Pengadilan.
Pasal 41
1. Mahkamah akan memiliki kekuatan untuk menunjukkan, jika menganggap bahwa keadaan mengharuskan demikian, setiap tindakan sementara yang seharusnya diambil untuk menjaga hak masing-masing salah satu pihak.
2. Sambil menunggu keputusan akhir, pemberitahuan dari langkah-langkah yang disarankan segera harus diberikan kepada para pihak dan kepada Dewan Keamanan.
Pasal 42
1. Para pihak akan diwakili oleh agen.
2. Mereka mungkin memiliki bantuan dari pengacara atau advokat sebelum Pengadilan.
3. Para agen, penasehat, dan pendukung partai sebelum Pengadilan wajib mendapatkan hak istimewa dan kekebalan yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas mereka independen.
Pasal 43
1. Prosedur ini terdiri dari dua bagian: tertulis dan lisan.
2. Proses tertulis terdiri dari komunikasi ke Pengadilan dan para pihak dari peringatan, kontra-kenangan dan, jika perlu, balasan, juga semua kertas dan dokumen dalam dukungan.
3. Komunikasi ini dilakukan melalui Panitera, untuk dan dalam waktu yang ditetapkan oleh Pengadilan.
4. Salinan resmi dari setiap dokumen yang dihasilkan oleh salah satu pihak harus disampaikan kepada pihak lain.
5. Proses lisan terdiri dari sidang oleh Pengadilan saksi, ahli, agen, penasehat, dan pendukung.
Pasal 44
1. Untuk melayani semua pemberitahuan pada orang lain dari agen, penasehat, dan pendukung, Pengadilan harus menerapkan langsung ke pemerintah negara yang atas wilayah pemberitahuan harus dilayani.
2. Ketentuan yang sama berlaku setiap kali langkah yang harus diambil untuk mendapatkan bukti di tempat.
Pasal 45
Sidang akan berada di bawah kendali Presiden atau, jika ia tidak mampu memimpin, dari Wakil Presiden, jika tidak mampu memimpin, sekarang hakim senior harus memimpin.
Pasal 46
Sidang di Pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali Mahkamah akan menentukan lain, atau kecuali para pihak menuntut bahwa masyarakat akan tidak mengakui.
Pasal 47
1. Menit harus dilakukan pada setiap sidang dan ditandatangani oleh Panitera dan Presiden.
2. Ini menit saja sudah otentik.
Pasal 48
Mahkamah akan membuat perintah untuk pelaksanaan kasus, harus menentukan bentuk dan waktu di mana masing-masing pihak harus menyimpulkan argumen, dan membuat semua pengaturan yang berhubungan dengan pengambilan bukti.
Pasal 49
Pengadilan dapat, bahkan sebelum sidang dimulai, menyerukan kepada para agen untuk menghasilkan dokumen, atau melakukan penjelasan. Catatan formal harus diambil penolakan apapun.
Pasal 50
Pengadilan dapat, setiap saat, mempercayakan setiap individu, badan, biro, komisi, atau organisasi lain yang mungkin pilih, dengan tugas melakukan penyelidikan atau memberikan pendapat ahli.
Pasal 51
Selama mendengar pertanyaan yang relevan untuk diajukan kepada saksi dan ahli di bawah kondisi yang ditetapkan oleh Pengadilan dalam aturan prosedur dimaksud dalam Pasal 30.
Pasal 52
Setelah Mahkamah telah menerima bukti-bukti dan bukti dalam waktu tertentu untuk tujuan tersebut, mungkin menolak untuk menerima bukti lebih lanjut lisan atau tertulis bahwa satu pihak mungkin keinginan untuk menyajikan kecuali persetujuan sisi lain.
Pasal 53
1. Setiap kali salah satu pihak tidak muncul sebelum Pengadilan, atau gagal dalam mempertahankan kasusnya, pihak lainnya dapat meminta Pengadilan untuk memutuskan mendukung klaimnya.
2. Pengadilan harus, sebelum melakukannya, memenuhi sendiri, bukan hanya bahwa ia memiliki yurisdiksi sesuai dengan Pasal 36 dan 37, tetapi juga bahwa klaim tersebut berdasarkan pada fakta dan hukum.
Pasal 54
1. Ketika, tunduk pada kontrol Mahkamah, agen, penasehat, dan pendukung telah menyelesaikan presentasi mereka dari kasus tersebut, Presiden menyatakan sidang ditutup.
2. Mahkamah akan mempertimbangkan menarik penghakiman.
3. Pertimbangan Mahkamah akan dilakukan secara pribadi dan tetap rahasia.
Pasal 55
1. Semua pertanyaan harus diputuskan oleh mayoritas hakim hadir.
2. Dalam hal kesetaraan suara, Presiden atau hakim yang bertindak di tempat-Nya akan memiliki suara casting.
Pasal 56
1. Penilaian tersebut harus menyebutkan alasan yang menjadi dasarnya.
2. Keputusan tersebut harus memuat nama-nama hakim yang telah mengambil bagian dalam keputusan.
Pasal 57
Jika keputusan tidak mewakili secara keseluruhan atau sebagian pendapat bulat dari hakim, hakim berhak untuk memberikan pendapat terpisah.
Pasal 58
Penghakiman yang ditandatangani oleh Presiden dan oleh Panitera. Ini harus dibaca di pengadilan terbuka, karena pemberitahuan yang telah diberikan kepada agen.
Pasal 59
Keputusan Mahkamah tidak memiliki kekuatan mengikat kecuali antara para pihak dan dalam hal kasus tertentu.
Pasal 60
Penghakiman adalah final dan tanpa banding. Dalam hal terjadi sengketa mengenai makna dan ruang lingkup penilaian, Pengadilan harus mengartikannya atas permintaan pihak manapun.
Pasal 61
1. Permohonan revisi penilaian hanya dapat dilakukan bila berdasarkan penemuan beberapa fakta sedemikian sehingga menjadi faktor yang menentukan, yang sebenarnya adalah, ketika penghakiman itu diberikan, tidak diketahui ke Pengadilan dan juga ke pihak mengklaim revisi, selalu asalkan ketidaktahuan tersebut bukan karena kelalaian.
2. Proses untuk revisi akan dibuka oleh putusan Pengadilan tegas merekam adanya fakta baru, mengakui bahwa ia memiliki semacam karakter untuk meletakkan kasus ini terbuka untuk revisi, dan menyatakan aplikasi diterima di tanah ini.
3. Pengadilan mungkin memerlukan kepatuhan sebelumnya dengan istilah penghakiman sebelum mengakui proses dalam revisi.
4. Permohonan revisi harus dilakukan paling lambat dalam waktu enam bulan dari penemuan fakta baru.
5. Tidak ada aplikasi untuk revisi dapat dilakukan setelah lewat waktu sepuluh tahun sejak tanggal putusan tersebut.
Pasal 62
l. Haruskah negara menganggap bahwa ia memiliki minat yang bersifat hukum yang mungkin akan terpengaruh oleh keputusan dalam kasus ini, itu dapat mengajukan permintaan kepada Pengadilan yang akan diizinkan untuk campur tangan.
2 Itu harus menjadi bagi Mahkamah untuk memutuskan permintaan ini.
Pasal 63
1. Setiap kali pembangunan untuk konvensi yang menyatakan selain yang bersangkutan dalam kasus ini adalah pihak dipertanyakan, Panitera wajib memberitahukan semua negara segera tersebut.
2. Setiap negara sehingga diberitahu memiliki hak untuk campur tangan dalam proses, tetapi jika menggunakan hak ini, pembangunan yang diberikan oleh penghakiman akan sama-sama mengikat itu.
Pasal 64
Kecuali jika diputuskan oleh Pengadilan, setiap pihak harus menanggung biaya sendiri.


BAB IV - PENDAPAT PENASEHAT
Pasal 65
1. Pengadilan dapat memberikan pendapat penasehat hukum pada setiap pertanyaan atas permintaan apapun tubuh dapat diotorisasi oleh atau sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk membuat permintaan seperti itu.
2. Pertanyaan di atas mana pendapat tersebut Pengadilan diminta harus diletakkan sebelum Pengadilan melalui permintaan tertulis yang berisi pernyataan yang tepat dari pertanyaan di atas mana pendapat yang diperlukan, dan disertai dengan semua dokumen cenderung melemparkan cahaya pada pertanyaan itu.
Pasal 66
1. Panitera wajib segera memberikan pemberitahuan tentang permintaan untuk pendapat tersebut kepada semua negara berhak untuk menghadap Pengadilan.
2. Panitera juga wajib, melalui suatu komunikasi khusus dan langsung, memberitahukan setiap negara berhak untuk menghadap Pengadilan atau organisasi internasional dianggap oleh Pengadilan, atau, harus itu tidak akan duduk, oleh Presiden, lebih mungkin untuk dapat memberikan informasi pada pertanyaan, bahwa Pengadilan akan dipersiapkan untuk menerima, dalam batas waktu yang akan ditetapkan oleh Presiden, pernyataan tertulis, atau mendengar, dengan duduk masyarakat yang diadakan untuk tujuan tersebut, pernyataan lisan yang berkaitan dengan pertanyaan .
3. Jika suatu negara berhak untuk menghadap pengadilan telah gagal untuk menerima komunikasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat 2 Pasal ini, negara tersebut dapat menyatakan keinginan untuk menyerahkan pernyataan tertulis atau yang didengar, dan Pengadilan akan memutuskan.
4. Negara dan organisasi telah disajikan pernyataan tertulis atau lisan atau keduanya diizinkan untuk mengomentari pernyataan yang dibuat oleh negara-negara lain atau organisasi dalam bentuk, sampai batas, dan dalam waktu-batas yang Pengadilan, atau, harus itu tidak akan duduk , Presiden, harus memutuskan dalam setiap kasus tertentu. Dengan demikian, Panitera akan pada waktunya berkomunikasi pernyataan tertulis tersebut kepada negara dan organisasi telah diajukan pernyataan serupa.
Pasal 67
Mahkamah akan memberikan pendapat penasehat di pengadilan terbuka, pemberitahuan yang telah diberikan kepada Sekretaris Jenderal dan kepada para wakil Anggota PBB, negara-negara lain dan organisasi internasional segera bersangkutan.
Pasal 68
Dalam pelaksanaan fungsi penasehat Mahkamah lebih lanjut akan dipandu oleh ketentuan-ketentuan Statuta ini yang berlaku dalam kasus-kasus kontroversial untuk sejauh mana mengakuinya dapat diterapkan.
BAB V - PERUBAHAN
Pasal 69
Koreksi terhadap Statuta ini akan berlaku efektif dengan prosedur yang sama seperti yang disediakan oleh Piagam PBB untuk perubahan Piagam itu, dengan tetap tunduk kepada ketentuan yang Majelis Umum atas rekomendasi Dewan Keamanan dapat mengadopsi tentang partisipasi negara yang merupakan pihak dalam Statuta ini tetapi bukan Anggota PBB.
Pasal 70
Pengadilan akan memiliki kuasa untuk mengusulkan amandemen tersebut kepada Statuta ini karena mungkin dianggap perlu, melalui komunikasi tertulis kepada Sekretaris Jenderal, untuk dipertimbangkan sesuai dengan ketentuan Pasal 69.

Jurnal Parpol dan Sistem Kepartaian

PARTAI POLITIK DAN SISTEM KEPARTAIAN

Nita warih handayani
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Universitas Ahmad Dahlan
Email:Warih_nitha@yahoo.com

ABSTRAK
Partai politik adalah merupakan salah satu saja dari bentuk pelembagaan sebagai wujud ekspresi ide-ide, pikiran-pikiran, pandangan, dan keyakinan bebas dalam masyarakat demokratis dengan banyak partai politik, aneka ragam aspirasi dan kepentingan politik yang saling berkompetisi dalam masyarakat untuk menyalurkan aspirasi konstituen sehingga sehingga ragam kepentingan dalam masyarakat dapat ditampung dan diakomodasikan seluas mungkin.
Kata kunci: Parpol,Dinamika Parpol,Sistem Kepartaian

ABSTRACT
A political party is just one of the forms of institutionalization as a form of expression of ideas,thoughts,views and belief freely in a democratic society with many political parties,a variety of aspirations and competing political interest in society to the aspirations of the constituents that so that the various interest in society can be accommodated and accommodated as possible.
Keywords: Political Parties, Political Dynamics, Political parties System




A.PENDAHULUAN
Keberadaan partai politik di dalam suatu negara (sistem politik),tidak dipungkiri lagi memiliki peranan yang cukup penting.baik di negara yang di kuasai rezim non demokratis maupun demokratis,peranan partai politik diakui,minimal dengan keberadaanya secara fisik.Bagi sebagian besar kalangan,kenberadaan partai politik dikatakan sebagai salah satu indikator berjalannya sistem politik yang mengakui keberadaan  rakyat dalam penyelengaraan kekuasaan negara.hal ini tidak terlepas dari beberapa fungsi yang dijalankan partai politik sabagai representasi rakyat dalam proses politik (pembuatan kebijakan negara),meskipun bukan satu-satunya fungsi.Alasan-alasan tersebut,menjadikan kajian partai politik seperti tidak  pernah usang dalam studi-studi ilmu politik.

 B.PERMASALAHAN
Merupakan hal yang lumrah dalam sistem demokrasi dengan banyak partai politik, aneka ragam aspirasi dan kepentingan politik yang saling berkompetisi dalam masyarakat memerlukan penyalurannya yang tepat melalui pelembagaan partai politik. Semakin besar dukungan yang dapat dimobilisasikan oleh dan disalurkan aspirasinya melalui suatu partai politik, semakin besar pula potensi partai politik itu untuk disebut telah terlembagakan secara tepat.Untuk menjamin kemampuannya dalam menyalurkan aspirasi konstituen itu, struktur organisasi partai politik yang bersangkutan haruslah disusun sedemikian rupa, sehingga ragam kepentingan dalam masyarakat dapat ditampung dan diakomodasikan seluas    mungkin.
Karena itu, struktur internal partai politik penting untuk disusun secara tepat. Di satu pihak ia harus sesuai dengan kebutuhan untuk mobilisasi dukungan dan penyaluran aspirasi konstituen. Di pihak lain, struktur organisasi partai politik juga harus disesuaikan dengan format organisasi pemerintahan yang diidealkan menurut visi partai politik yang dimintakan kepada konstituen untuk memberikan dukungan mereka. Semakin cocok struktur internal organisasi partai itu dengan kebutuhan, makin tinggi pula derajat pelembagaan organisasi yang bersangkutan.

C.PEMBAHASAN
1.    Konsep Partai Politik
Dalam perkembangan studinya,defenisi konsep partai politik mengalami perubahan dalam setiap jaman,sehingga tidak ada defenisi tunggal yang bisa diterima secara universal di seluruh dunia tentang konsep partai politik.tetapi secara prinsipil,defenisi partai politik seperti dikatakan joseph schumpeter memiliki kesamaan dalam hal tujuan umum yaitu “the first and foremost aim of each political party is to prevail over the others to get into power or stay in it” (Alan R.ball, 1971:79) bisa diketahui bahwa secara prinsipil setiap defenisi partai politik akan ditemukan kekuasaan sebagai tujuan umum yang dimiliki oleh setia partai politik dimanapun,ketika melalukan barbagai aktivitasnya baik secara formal maupun informal.Menurut leon D Epstein partai politik adalah ”setiap kelompok-kelompok,meskipun terorganisasi secara sederhana,yang bertujuan untuk mendapatkan jabatan publik dalam pemerintahaan,dengan identitas-identitas tertentu” (Micheal G.Roskin, 1995:202)
Setiap organisasi terkategori sebagai partai politik bila:
•    Terwujud dalam kumpulan orang-orang yang memiliki identitas,bisa berupa nama,bendera,dan yang terpenting ideologi yang menjadi dasar nilai bagi pedoman dan aktifitas partai politik.
•    Ketika sekelompok orang-orang bergabung tentunya bukan sekedar kumpulan biasa,tetapi sebagai kelompok yang terorganisasi.
•    Keberadaan partai politik diakui memiliki hak oleh sebagian besar masyarakat untuk menorganisasikan dirinya,sekaligus mengembangkan dirinya dengan berbagai aktifitas.
•    Partai politik berupaya mengembangkan aktivitas-aktivitas melalui mekanisme kerja yang  mencerminkan pilihan rakyat.
•    Aktivitas inti dari partai politik adalah melakukan seleksi bagi rakyat,baik dari kalangan partai politik maupun di luar partai politik,yang dipilih sebagai kandidat,untuk menduduki jabatan-jabatan publik dalam pemerintahan.

Lima kriteria fundamental partai politik dari ranney,bukan satu-satunya indikator bagi kita untuk menilai organisasi dikatakan sebagai partai politik,atau konsep partai politik yang bisa berlaku di semua sistem politik.hal ini tidak dimungkinkan karena konteks keberadaan partai politik versi ranney berada dalam satu iklim implementasi ideologi yang mengakaui kekuatan rakyat atau tidak absolut dan otoriter,artinya rezim yang berkuasa adalah rezim demokratis,yang mencerminkan dan pilihan rakyat.sementara itu tidak semua negara memiliki ideologi dan sistem pemerintahan yang sama.agar konsep ini menjadi lebih fkeksibel,maka partai politik bisa didefinisikan sebagai sekelompok warganegara yang terorganisasi atau tertentu,yang dalam satu organisasi yang memiliki identitas ideologi tertentu,yang dalam setiap aktivitasnya selalu sederhana dan bisa digunakan untuk megidentifikasikan keberadaan partai politik.

2.    DINAMIKA PARTAI POLITIK DI INDONESIA
Sistem kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem ketatanegaraan berdasarkan prinsip “checks and balances” dalam arti yang luas. Sebaliknya, efektif bekerjanya fungsi-fungsi kelembagaan negara itu sesuai prinsip “checks and balances” berdasarkan konstitusi juga sangat menentukan kualitas sistem kepartaian dan mekanisme demokrasi yang dikembangkan di suatu negara. Semua ini tentu berkaitan erat dengan dinamika pertumbuhan tradisi dan kultur berpikir bebas dalam kehidupan bermasyarakat. Tradisi berpikir atau kebebasan berpikir itu pada gilirannya mempengaruhi tumbuh-berkembangnya prinsip-prinsip kemerdekaan berserikat dan berkumpul dalam dinamika kehidupan masyarakat demokratis yang bersangkutan.Partai politik adalah merupakan salah satu saja dari bentuk pelembagaan sebagai wujud ekspresi ide-ide, pikiran-pikiran, pandangan, dan keyakinan bebas dalam masyarakat demokratis. Di samping partai politik, bentuk ekspresi lainnya terjelma juga dalam wujud kebebasan pers, kebebasan berkumpul, ataupun kebebasan berserikat melalui organisasi-organisasi non-partai politik seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi-organisasi kemasyarakatan (Ormas), organisasi non pemerintah (NGO’s), dan lain sebagainya.Partai politik merupakan representation of ideas atau mencerminkan suatu preskripsi tentang negara dan masyarakat yang dicita-citakan dan karena itu hendak diperjuangkan. Ideologi, platform partai atau visi dan misi seperti inilah yang menjadi motivasi dan pengerak utama kegiatan partaim politik.Partai politik juga merupakan pengorganisasian warga negara yang menjadi anggotanya untuk bersama-sama memperjuangkan dan mewujudkan negara dan masyarakat yang dicita-citakan tersebut. Karena itu, partai politik merupakan media atau sarana partisipasi warga negara dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik dan dalam penentuan siapa yang menjadi penyelenggara negara pada berbagai lembaga negara di pusat dan daerah. Berdasarkan prinsip bahwa keanggotaan partai politik terbuka bagi semua warga negara, sehingga para anggotanya berasal dari berbagai unsur bangsa, maka partai politik dapat pula menjadi sarana integrasi nasional.Apabila partai politik ingin berperan sebagai pihak yang dapat menyelesaikan konflik dalam masyarakat ataupun peserta konflik yang fair dalam pemilihan umum dan di dalam lembaga legislatif, maka partai politik seyogianya mampu berperan sebagai lembaga konflik, yaitu mengatur dan menyelesaikan konflik secara internal melalui aturan main yang disepakati bersama dalam AD/ART(anggaran dasar/anggaran rumah tangga). Aturan main seperti inilah yang nanti saya sebut sebagai demokrasi prosedural.
Partai politik lah yang bertindak sebagai perantara dalam proses-proses pengambulan keputusan bernegara, yang menghubungkan antara warga negara dengan institusi-institusi kenegaraan. Menurut Robert Michels dalam bukunya, “Political Parties, A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy”, “... organisasi ... merupakan satu-satunya sarana ekonomi atau politik untuk membentuk kemauan kolektif.Berorganisasi itu merupakan prasyarat mutlak dan hakiki bagi setiap perjuangan politik. Dengan begitu, harus diakui pula bahwa peranan organisasi partai sangat penting dalam rangka dinamika pelembagaan demokrasi. Dengan adanya organisasi, perjuangan kepentingan bersama menjadi kuat kedudukannya dalam menghadapi pihak lawan atau saingan, karena kekuatan-kekuatan yang kecil dan terpecah-pecah dapat dikonsolidasikan dalam satu front.Organisasi yang berkembang makin melembaga cenderung pula mengalami proses “depersonalisasi”. Orang dalam maupun orang laur sama-sama menyadari dan memperlakukan organisasi yang bersangkutan sebagai institusi, dan tidak dicampur-adukkannya dengan persoalan personal atau pribadi para individu yang kebetulan menjadi pengurusnya. Banyak organisasi, meskipun usianya sudah sangat tua, tetapi tidak terbangun suatu tradisi dimana urusan-urusan pribadi pengurusnya sama sekali terpisah dan dipisahkan dari urusan keorganisasian.Dalam hal demikian, berarti derajat pelembagaan organisasi tersebut sebagai institusi, masih belum kuat, atau lebih tegasnya belum terlembagakan sebagai organisasi yang kuat.Terkait dengan komunikasi politik itu, partai politik juga berperan penting dalam melakukan sosialisasi politik (political socialization). Ide, visi dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik dimasyarakatkan kepada konstituen untuk mendapatkan ‘feedback’ berupa dukungan dari masyarakat luas. Terkait dengan sosialisasi politik ini, partai juga berperan sangat penting dalam rangka pendidikan politik. Partai lah yang menjadi struktur-antara atau ‘intermediate structure’ yang harus memainkan peran dalam membumikan cita-cita kenegaraan dalam kesadaran kolektif warga negara.
Pada periode awal kemerdekaan, partai politik dibentuk dengan derajat kebebasan yang luas bagi setiap warga negara untuk membentuk dan mendirikan partai politik. Bahkan, banyak juga calon-calon independen yang tampil sendiri sebagai peserta pemilu 1955. Sistem multi partai terus dipraktikkan sampai awal periode Orde Baru sejak tahun 1966. Padal pemilu 1971, jumlah partai politik masih cukup banyak. Tetapi pada pemilu 1977, jumlah partai politik mulai dibatasi hanya tiga saja. Bahkan secara resmi yang disebut sebagai partai politik hanya dua saja, yaitu PPP dan PDI. Sedangkan Golkar tidak disebut sebagai partai politik, melainkan golongan karya saja.

3.    Permasalahan Partai Politik
a.Permasalahan  dalam pelembagaan partai politik.
Tahap Pemilu yang dalam proses pencalonan anggota DPR (D). Tahap ini merupakan bagian internal partai politik peserta pemilu dalam menyiapkan calon-calon legislatif untuk dipersaingkan dalam pemilu. Meski demikian, pencalonan ini menarik perhatian publik karena sebagian caleg parpol itu akan menentukan kualitas kinerja DPR nasional maupun daerah (yang kini sedang terpuruk citranya karena berbagai skandal korupsi). Pencalonan juga penting bagi parpol karena caleg-caleg itu akan menjadi satu faktor untuk menarik simpati dan selanjutnya dukungan suara pemilih pada Pemilu. Maka, banyak parpol besar atau kecil, lama maupun baru, mengajukan atau menominasi tokoh-tokoh populer sebagai caleg-calegnya. Mereka bukan hanya artis, tetapi juga pemuka masyarakat di tingkat nasional maupun daerah.

b.Permasalahan dalam keterwakilan partai politik.
Perubahan sistem politik dari sistem otoriter Soeharto ke masa transisi sekarang, bisa kita lihat secara sederhana dengan adanya peningkatan jumlah parpol. Namun ironis, hal ini tidak mengubah kondisi riil rakyat bawah. Bisa dikatakan parpol telah gagal memenuhi kewajibannya untuk menyerap dan mengagregasi kepentingan masyarakat. Hal demikian ini menandakan kita berada dalam situasi demokrasi yang defisit (democratic deficit) Menurut (Schugurensky,2004),
 defisit demokrasi tumbuh sejak kepercayaan publik terhadap politisi dan institusi politik menurun, banyak partai dan wakil rakyat (representative in democracy system) yang kehilangan hubungan dengan yang diwakili (represent). Representasi pada akhirnya menjadi persoalan utama demokrasi yang sedang kita hadapi. Semakin tidak diakomodasinya persoalan representasi semakin besar masalah yang dihadapi demokrasi. Parpol sebagai salah satu institusi representasi telah secara sistematis dibajak oleh elite dan menjadikannya tidak representatif terhadap kepentingan rakyat banyak. Partai memang penting, namun kita harus realistis dengan mengatakan bahwa parpol yang ada sekarang merupakan bagian dari masalah keterwakilan.Dalam konteks ini, ide menyederhanakan jumlah parpol lewat RUU Parpol, untuk sementara perlu dikritisi. Kita tidak perlu terjebak dalam romantisme masa lalu bahwa dengan jumlah partai sedikit kondisi sosial-politik lebih stabil, yang pada kenyataannya koruptif. Yang harus dilakukan justru sebaliknya. Perlu bagi para pengambil kebijakan untuk membuka seluas-luasnya partisipasi rakyat dalam berpolitik. Bukan malah menutup rapat-rapat. Para pengambil kebijakan diharapkan mampu melihat hal ini secara jenial, bahwa dengan menutup pelan-pelan pintu partisipasi politik,maka demokrasi akan mati muda. Ini merupakan realita empirik yang terjadi di masyarakat. Seyogianya, yang diperlukan untuk mengatur sistem kepartaian adalah bagaimana menjamin representasi itu hadir dalam kehidupan parpol. Antara lain mengatur kewajiban relasi intensif antara perwakilan (representative) dengan yang diwakili (represent). Atau mendemokratiskan parpol dengan semacam konvensi yang fair dimana orang di luar kepengurusan partai mempunyai kesempatan ikut bertanding. Selain itu, perlu juga mengakomodasi secara nasional adanya parpol lokal seperti di Aceh. Langkah ini penting untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan daerah yang tidak terserap oleh parpol 'nasional' yang berpusat di Jakarta. Sehingga partai menjadi representasi nyata kepentingan masyarakat, tidak malah membelenggu dan mengisolasinya.

c.Permasalahan Pembatasan Partai Politik Peserta Pemilu Pemilu sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat sekaligus merupakan arena kompetisi yang paling adil bagi partai politik sejauh mana telah melaksanakan fungsi dan perannya serta pertanggungjawaban atas kinerjanya selama ini kepada rakyat yang telah memilihnya. Rakyat berdaulat untuk menentukan dan memilih sesuai aspirasinya kepada partai politik mana yang dianggap paling dipercaya dan mampu melaksakanan aspirasinya.Partai politik sebagai peserta pemilu dinilai akuntabilitasnya setiap 5 (lima) tahun oleh rakyat secara jujur dan adil, sehingga eksistensi nya setiap 5 (lima) tahun diuji melalui pemilu. Pemilu merupakan sarana yang paling adil untuk menentukan partai politik mana yang masih tetap eksis dan paling berhak melanjutkan tugasnya dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat. Secara alamiah akan terjadi seleksi terhadap partai politik untuk dapat eksis baik sebagai peserta pemilu maupun keberadaannya di parlemen. Oleh karena itu, sebagai arena kompetisi yang adil, seharusnya pemilu hanya dapat diikuti oleh peserta yang dianggap kredible oleh rakyat, sehingga efektivitas kompetisi tersebut dapat dipelihara. Terlalu banyak konstentan yang ikut kompetisi, akan berpengaruh terhadap mutu kompetisi tersebut, apalagi jika standar kualitas kontestan tersebut sangat beragam. Sejauh mana pemilu sebagai arena kompetisi tersebut mampu menyeleksi partai politik peserta pemilu secara efektif, sangat tergantung dari, pertama, aturan main atau sistem kompetisinya dalam hal ini sistem pemilu yang diterapkan; kedua, jumlah dan informasi obyektif tentang kinerja partai politik sebagai peserta pemilu; ketiga, tingkat kedewasaan rakyat yang memilih; keempat, kredibilits penyelenggara pemilunya dalam hal ini KPU. Dalam konteks judul yang dibahas, penulis akan lebih memfokuskan pada butir kedua, dikaitkan dengan sejauhmana sistem multi partai yang sudah menjadi pilihan kita tersebut, harus mampu menciptakan akuntabilitas eksistensi partai politik dalam melaksanakan fungsi dan perannya. Sistem multi partai seperti apa dan bagaimana secara demokratis sistem itu dapat diwujudkan?


•Partai politik Dalam Sistem Multi Partai
Perubahan UUD 1945 telah menegaskan bahwa partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi memiliki fungsi yang sangat penting dalam rangka membangun kehidupan politik nasional. Bahkan, partai politik sebagai wahana demokrasi tak bisa diabaikan eksistensinya, karena rekrutmen kepemimpinan dan anggota lembaga kenegaraan nasional dan lokal di bidang eksekutif dan legislatif hanya dapat dilakukan melalui partai politik. Sejauh mana mutu kelembagaan negara tersebut sangat tergantung dari proses rekrutmen kader yang nantinya akan diusulkan oleh partai politik sebagai calon pemimpin dan anggota lembaga-lembaga negara tersebut. Prof. Miriam Budiardjo1 menerangkan, fungsi partai politik sebagai: (i) sarana komunikasi politik, (ii) sosialisasi politik (political socialization), (iii) sarana rekrutmen politik (political recruitment), dan (iv) pengatur konflik (conlict management). Sedangkan Yves Meny and Andrew Knapp2 menegaskan fungsi parpol sebagai (i) mobilisasi dan integrasi, (ii) sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih (voting patterns), (iii) sarana rekrutmen politik, dan (iv)sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan.Sejak dibukanya kebebasan untuk mendirikan partai politik dinegara ini pada tahun 1998, partai politik tumbuh bagaikan jamur dimusim hujan. Saat ini sudah terdaftar lebih dari dua ratusan partai politik. Animo pendirian partai politik yang besar menunjukkan iklim demokrasi sudah berjalan. Pilihan terhadap sistem multipartai dalam demokrasi di negara kita, merupakan hal yang sudah benar, tinggal bagaimana mengatur agar banyaknya partai politik ini justru merupakan aset yang berharga untuk membangun demokrasi, bukan sebaliknya. Persoalannya, apakah semakin banyak partai politik akan lebih menjamin berlangsungnya kehidupan demokrasi yang lebih baik?Jawaban atas pertanyaan di atas adalah wacana yang deras mengedepan di ranah kepolitikan nasional menyangkut                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                     persoalan penyederhanaan/pembatasan partai politik. Meminjam Editorial Media Indonesia, Rabu 6 September 2006 dengan tegas menyebutkan, alasan paling mengemuka dari diskursus ini adalah efektivitas dan efisiensi dalam menyalurkan aspirasi politik. Bahwa tanpa harus melanggar konstitusi, sistem representasi politik harus dibuat sesederhana mungkin, seefisien mungkin, sehingga negara tidak perlu boros biaya untuk mewadahi aspirasi politik rakyat dan demokrasi yang hendak diwujudkan tersebut tidak menjadi sesuatu yang counterproductive. Dan rakyat pun tidak perlu dibuat pusing saat memilih partai politik karena jumlah mereka terlalu banyak. Fakta menunjukkan bahwa dalam masa transisi politik, dimana tingkat kedewasaan berpolitik rakyat belum pada taraf ideal, maka semakin banyak partai politik akan semakin menumbuhkan suasana power struggling ditanah air. Persaingan yang terus menerus terjadi diantara partai politik yang banyak tersebut, telah membentuk citra bahwa partai politik hanya memikirkan dirinya dalam perebutan kekuasaan. Di mata rakyat, potret partai politik dalam perebutan kekuasaan sangat mengemuka, dibanding dengan perhatian partai politik terhadap rakyat. Semakin banyak partai politik, maka potret perebutan kekuasaan ini akan semakin menonjol.
Di masa reformasi kebebasan berpartai kembali dibuka dan tiba-tiba jumlah partai politik meningkat tajam sesuai dengan tingkat keanekaragaman yang terdapat dalam masyarakat majemuk Indonesia. Sistem multi partai ini tentu sangat menyulitkan bagi penerapan sistem pemerintahan presidentil untuk bekerja efektif. Hal itu, terbukti dalam pemerintahan yang terbentuk di masa reformasi, mulai dari pemerintahan BJ. Habibie, pemerintahan Abdurrahman Wahid, dan pemerintahan Megawati sampai ke pemerintahan SBY jiilid 1 maupun jilid 2 dewasa ini.keperluan mengakomodasi kepentingan banyak partai politik untuk menjamin dukungan mayoritas di parlemen sangat menyulitkan efektifitas pemerintahan,termasuk pemerintahan SBY-Boediono yang ada sekarang.Partai politik di Indonesia pada umumnya belum terlalu mengakar kuat di dalam masyarakat. Adanya swing votores menunjukkan indikasi belum terlalu mengakarnya sebuah partai politik di Indonesia. Para pemilih belum melekatkan dirinya terhadap suatu partai, mereka masih bisa berpindah-pindah suatu saat dari satu partai ke partai lain.Di Indonesia sudah ada partai yang cukup mengakar di masyarakat
Jika partai-partai politik di Indonesia mengalami masalah dalam menghadapi persoalan demokratis, maka perlu dipikirkan tentang cara-cara untuk keluar dari keadaan yang merugikan demokrasi di Indonesia tersebut. Sudah pasti bahwa tantangan-tantangan yang dihadapi oleh pihak-pihak yang menginginkan perubahan tidak sedikit. Namun, setidaknya ada beberapa hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan halini.                                     
  Pertama, perlu ada reformasi internal partai politik. Adalah salah jika ada yang beranggapan bahwa manajemen partai politik adalah semata-mata urusan partai yang bersangkutan. Kunci eksistensi partai politik sesungguhnya berada legitimasi publik, sehingga akuntabilitas menjadi persyaratan yang penting untuk keberadaan sebuah partai politik. Tak mengherankan jika politik internal partai politik juga menjadi 'urusan' pemilih. Ada tiga ujung tombak reformasi internal partai politik:
(a) kemauan politik elite partai;
(b)kesadaran anggota; dan
(c)kesadaran publik pemilih
Kemauan politik elite partai sangat penting untuk reformasi internal partai politik. Gus Dur, misalnya, memberikan contoh kemauan elite politik yang 'baik' ketika memutuskan untuk 'tunduk' pada hasil voting yang bertentangan dengan keinginannya tentang reposisi Sekjen PKB, Syaifullah Yusuf, beberapa waktu yang lalu. Sikap tersebut, pada kasus ini, meruntuhkan mitos bahwa figur partai yang dihormati harus selalu dipatuhi. Kenyataan ini juga membuka pintu kesempatan untuk meningkatkan kesadaran anggota. Runtuhnya mitos tersebut dapat memperkuat kesadaran anggota atas hak-hak demokratisnya. Kesadaran anggota untuk mengedepankan demokrasi internal penting karena aktivitas keseharian anggota dapat berkontribusi pada penguatan demokrasi internal atau sebaliknya. Terakhir, adalah kesadaran publik (pemilih). Sensitivitas publik terhadap isu-isu demokrasi internal partai juga harus ditingkatkan. Publik (pemilih) harus memahami bahwa 'demokrasi internal' adalah juga merupakan isu politik yang harus 'dijual' oleh partai politik dalam pemilu. Kesadaran publik dapat berwujud dalam kritisisme di bilik suara. Publik dapat menolak untuk memilih(kembal partai) yang tidak demokratis.Kedua, pada saat yang bersamaan tekanan struktural untuk membatasi pilihan-pilihan elit partai juga harus diberlakukan. Tantangannya adalah menciptakan sebuah struktur yang membatasi, namun tidak menghilangkan kepentingan individu untuk mengartikulasikan kepentingannya di dalam sebuah partai politik. Dari perspektif yang demikian, tampaknya perlu ada revisi aturan perundangan untuk mendorong demokrasi internal partai politik.Meskipun aturan perundangan ini telah mengalami perbaikan yang cukup memadai, masih banyak ruang untuk perbaikan yang harus dilakukan. Misalnya, dalam UU Partai Politik maupun UU Pemilu masih belum ada pasal yang mendorong partai politik untuk secara kongkrit bertindak secara demokratis terhadap anggota/pemilih-nya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa demokrasi internal parpol menjadi sangat penting karena dapat meningkatkan hubungan antara partai politik dengan grassroot secara kualitatif, dan akan meningkatkan peran partai politik di dalam demokrasi pada tingkat substansial.






D.DAFTAR PUSTAKA

Cyankz,Eez.(2011).Dinamika parpol indo dan permasalahannya.Diunduh 11 Januari 2011,from:http://Eezcyank.blogspot.com/2011/01.dinamika-partai-politik-indonesia.dan.html
Fathurohman,D.&Sobari,W.(2002).Pengantar Ilmu Politik.Universitas Muhamadiyah Malang.

pengertian MDGs


Sejarah:
Millennium Development Goals (MDGs) atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi Tujuan Pembangunan Milenium, adalah sebuah paradigma pembangunan global, dideklarasikan Konperensi Tingkat Tinggi Milenium oleh 189 negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di New York pada bulan September 2000. Dasar hukum dikeluarkannya deklarasi MDGs adalah Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa Nomor 55/2 Tangga 18 September 2000, (A/Ris/55/2 United Nations Millennium DevelopmentGoals).

Semua negara yang hadir dalam pertemuan tersebut berkomitment untuk mengintegrasikan MDGs sebagai bagian dari program pembangunan nasional dalam upaya menangani penyelesaian terkait dengan isu-isu yang sangat mendasar tentang pemenuhan hak asasi dan kebebasan.

Pengertian:
Sasaran Pembangunan Milenium (bahasa Inggris : Millennium Development Goals atau disingkat dalam bahasa Inggris MDGs) adalah Deklarasi Milenium hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang mulai dijalankan pada September 2000, berupa delapan butir tujuan untuk dicapai pada tahun 2015. Targetnya adalah tercapai kesejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat pada 2015. Target ini merupakan tantangan utama dalam pembangunan di seluruh dunia yang terurai dalam Deklarasi Milenium, dan diadopsi oleh 189 negara serta ditandatangani oleh 147 kepala pemerintahan dan kepala negara pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium di New York ada bulan September 2000 tersebut. Pemerintah Indonesia turut menghadiri Pertemuan Puncak Milenium di New York tersebut dan menandatangani Deklarasi Milenium itu. Deklarasi berisi komitmen negara masing-masing dan komunitas internasional untuk mencapai 8 buah sasaran pembangunan dalam Milenium ini (MDG), sebagai satu paket tujuan yang terukur untuk pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Penandatanganan deklarasi ini merupakan komitmen dari pemimpin-pemimpin dunia untuk mengurangi lebih dari separuh orang-orang yang menderita akibat kelaparan, menjamin semua anak untuk menyelesaikan pendidikan dasarnya, mengentaskan kesenjangan jender pada semua tingkat pendidikan, mengurangi kematian anak balita hingga 2/3 , dan mengurangi hingga separuh jumlah orang yang tidak memiliki akses air bersih pada tahun 2015.
Adapun Tujuan / Sasaran MDGs:
a.       Memberantas kemiskinan dan kelaparan
•    Mengurangi sampai setengah jumlah penduduk yang hidup dengan penghasilan kurang dari satu dollar perhari
•    Mengurangi sampai setengah jumlah penduduk yang kelaparan
b.      Mewujudkan pendidikan dasar bagi semua
•    Menjamin agar semua anak perempuan dan laki-laki menyelesaikan jenjang pendidikan dasar
c.       Mendorong kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan
•    Menghapus ketidaksetaraan jender dalam jenjang pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2005, dan di semua tingkat pendidikan pada tahun 2015
d.      Menurunkan angka kematian balita
•    Mengurangi dua pertiga dari anka tingkat kematian anak di bawah usia lima tahun
e.       Meningkatkan kesehatan ibu
•    Mengurangi tiga perempat dari angka tingkat kematian ibu
f.       Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya
•    Menghentikan dan mengurangi laju penyebaran HIV/AIDS
•    Menghentikan dan mengurangi laju penyebaran malaria serta penyakit menular utama lainnya
g.      Menjamin kelestarian fungsi lingkungan hidup
•    Mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam kebijakan dan program-program di tingkat nasional serta mengurangi perusakan sumber daya alam
•    Mengurangi sampai setengah jumlah penduduk yang tidak memiliki akses kepada air bersih yang layak minum
•    Berhasil meningkatkan kehidupan setidaknya 100 juta penghuni kawasan kumuh pada tahun 2020
h.      Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan
•    mengembangkan lebih lanjut sistem perdagangan dan keuangan terbuka yang berdasar aturan, dapat diandalkan dan tidak diskriminatif. Termasuk komitmen melaksanakan tata pemerintahan yang baik, pembangunan dan pemberantasan kemiskinan – baik secara nasional maupun internasional
•    menangani kebutuhan khusus negara-negara yang kurang berkembang. Mencakup pemberian bebas tarif dan bebas kuota untuk ekspor mereka; keringanan pembayaran hutang bagi negara-negara miskin yang terjerat hutang; pembatalan hutang bilateral; dn pemberian bantuan pembangunan yang lebih besar untuk negara-negara yang berkomitmen untuk mengurangi kemiskinan c) menangani kebutuhan khusus negara-negara yang terkurung daratan dan negara-negara kepulauan kecil yang sedang berkembang.