Winnie The Pooh Glitter

Kamis, 24 November 2011

pengertian dan fungsi hukum acara perdata



PENGERTIAN DAN FUNGSI HUKUM ACARA PERDATA

A.Pengertian dan Fungsi Hukum Acara Perdata

   a.Hukum Acara Perdata adalah Peraturan Hukum yang mengatur tentang bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata material dengan perantaraan hakim(Mertokusumo,1998:2)
   b.Hukum Acara Perdata adalah seperangkat norma hukum yang mengatur bagaimana caranya menegakkan hukum perdata material,khususnya dalam hal terjadi pelanggaran hak atas subyek hukum tertentu oleh subyek hukum yang lain melalui perantaraan hakim untuk mencegah terjadinya perbuatan main hakim sendiri
   c.Hukum Acara Perdata secara kongkrit hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak,memeriksa dan memutusnya serta pelaksanaan daripada putusannya (Mertokusumo,1998:2)
Fungsi hukum acara perdata formil yaitu untuk melaksanakan dan mempertahankan hukum perdata materiil. hukum perdata formil berfungsi melaksanakan hukum materiil dalam hal ada pelanggaran hak.

B.Sumber-sumber Hukum Acara Perdata

1.  Herziene Inlandsch Reglemen (HIR)
HIR adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah Pulau Jawa dan Madura. Hukum Acara perdata dalam HIR dituangkan pada Pasal 115-245 yang termuat dalam BAB IX,  serta beberapa pasal yang tersebar antara Pasal 372-394.
Pasal 115 s/d Pasal 117 HIR tidak berlaku lagi berhubung dihapusnya Pengadilan Kabupaten oleh UU No.1 drt. Tahun 1951, dan peraturan mengenai banding dalam pasal 188 – 194 HIR  juga tidak berlaku lagi dengan adanya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura.

2.  Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg)
RBg adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah-daerah luar pulau Jawa dan Madura. RBg terdiri dari 5 (lima) BAB dan 723 (tujuh ratus dua puluh tiga) pasal yang mengatur tentang pengadilan pada umumnya dan acara pidananya tidak berlaku lagi dengan adanya Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951.
Ketentuan Hukum Acara Perdata yang termuat dalam BAB II Title I, II, III, VI, dan VII tidak berlaku lagi, yang masih berlaku hingga sekarang adalah Title IV dan V bagi Landraad (sekarang Pengadilan Negeri).

3.  Burgerlijk Wetboek (BW)
Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang–Undang Hukum Perdata), meskipun sebagai kodifikasi Hukum Perdata Materiil, namun juga memuat Hukum Acara Perdata, terutama dalam Buku IV tentang pembuktian dan daluarsa (Pasal 1865- Pasal 1993), selain itu juga terdapat dalam pasal Buku I, misalnya tentang tempat tinggal atau domisili (Pasal 17 – Pasal 25) serta beberapa pasal Buku II dan Buku III (misalnya Pasal 533,535,1244 dan 1365).

4.  Ordonansi Tahun 1867 Nomor 29
Ordonansi Tahun 1867 Nomor 29 ini memuat ketentuan Hukum Acara Perdata tentang kekuatan pembuktian tulisan-tulisan dibawah tangan dari orang-orang Indonesia (Bumiputera) atau yang dipersamakan dengan mereka. Pasal-pasal ordonasi ini diambil oper dalam penyusunan Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg).[2]

5.  Wetboek van Koophandel (WVK)
Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-undang Dagang), meskipun juga sebagai kodifikasi Hukum Perdata Materiil, namun didalamnya ada beberapa pasal yang memuat ketentuan Hukum Acara Perdata (Misalnya Pasal 7, 8, 9, 22, 23, 32, 255, 258, 272, 273, 274, dan 275).

6.  Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 adalah Undang-Undang tentang kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang memuat ketentuan-ketentuan hukum acara perdata khusus untuk kasus kepailitan.

7.  Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 adalah Undang-undang tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura yang berlaku sejak 24 Juni 1947, dengan adanya undang-undang ini, peraturan mengenai banding dalam HIR pasal 188 – 194 tidak berlaku lagi.

8.  Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951
Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 adalah Undang-Undang tentang Tindakan-tindakan Sementara Untuk menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil yang berlaku sejak tanggal 14 Januari 1951.

9.  Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 adalah Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman yang berlaku sejak diundangkan tanggal 15 Januari 2004. Ketentuan Hukum Acara Perdatanya termuat dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (3), selainya juga memuat hukum acara pada umumnya. Undang-Undang ini telah di ganti dengan Undang-Undang baru yaitu Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.



10.  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah Undang-Undang tentang Perkawinan, memuat ketentuan-ketentuan Hukum Acara Perdata (khusus) untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan serta menyelesaikan perkara-perkara perdata mengenai perkawinan, pencegahan perkawinan, pembatalan perkawinan, dan perceraian yang terdapat dalam Pasal 4, 5, 6, 7, 9, 17, 18, 25, 28, 38, 39, 40, 55, 60, 63, 65, dan 66. Undang-undang ini diatur lebih lanjut  dengan Peraturan Pemerintah  Nomor 9 Tahun 1975.

11.  Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 adalah Undang-Undang tentang Mahkamah Agung yang mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 30 Desember 1985, yang kemudian mengalami perubahan pertama dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, kemudian dirubah lagi dengan perubahan kedua dengan  Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, tetapi hukum acara perdata yang ada dalam pasal tersebut tidak mengalami perubahan.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 diatur mengenai kedudukan, susunan, kekuasaan dan hukum acara bagi Mahkamah Agung (Pasal 40-78).
Hukum Acara bagi Mahkamah Agung yang termuat dalam BAB IV Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 terdiri dari 5 (lima) bagian yaitu :
-                Bagian Pertama Pasal 40 s/d Pasal 42 tentang ketentuan umum;
-                Bagian Kedua Pasal 43 s/d Pasal 55 tentang pemeriksaan kasasi;
-                Bagian Ketiga Pasal 56 s/d Pasal 65 tentang pemeriksaan sengketa perihal kewenangan mengadili;
-                Bagian Keempat Pasal 66 s/d Pasal 77 tentang pemeriksaan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan tetap; dan
-                Bagian Kelima Pasal 78 tentang pemeriksaan sengketa yang timbul karena perampasan kapal.

12.  Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 adalah Undang-Undang tentang Peradilan Umum, berlaku sejak diundangkan tanggal 8 Maret 1986. Ketentuan dalam Undang-undang tersebut mengatur mengenai kedudukan, susunan, dan kekuasaan pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Pasal-pasal yang memuat Peraturan Hukum Acara Perdatanya, antara lain termuat dalam Pasal 50, 51, 60, dan 61. Undang-undang ini dirubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004, tetapi tidak mengenai hukum acara perdata. Undang-undang ini kemudian mengalami perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009.

13.  Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 adalah Undang-Undang tentang Advokat yang mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 5 April 2003.

14.  Yurisprudensi
Beberapa yurisprudensi terutama dari Mahkamah Agung menjadi sumber Hukum Acara Perdata yang sangat penting di negara kita ini, terutama untuk mengisi kekosongan, kekurangan, dan ketidak sempurnaan yang banyak terdapat dalam peraturan perundang-undangan Hukum Acara Perdata peninggalan Zaman Hindia Belanda.

15.  Peraturan Mahkamah Agung
Peraturan Mahlkamah Agung juga merupakan sumber Hukum Acara Perdata. Dasar hukum bagi Mahkamah Agung untuk mengeluarkan  Peraturan  Mahkamah Agung ini termuat dalam Pasal 79 Uundang-undang Nomor 14 Tahun 1985.

A.Sumber Hukum material yaitu sumber hukum dalam arti bahan diciptakannya atau            disusun suatu norma hukum.
B.Sumber Hukum Formal yaitu sumber hukum dalam arti dapat ditemukannya atau dapat digalinya satu norma hukum sebagai satu dasar yuridis suatu peristiwa hukum atau suatu hubungan hukum tertentu.

A)Sumber Hukum Material:

1)Sumber dalam arti sumber filosofis;
2)Sumber dalam arti sumber sosiologis;
3)Sumber dalam arti sumber historis;
4)Sumber dalam arti sumber yuridis.

B)Sumber Hukum Formal:

1)Sumber Hukum Tertulis
1.HIR (S. 1884 no.16, S. 1941 no.44), RBg (S. 1927 no.227), RV (S. 1847 no.52, 1849
  no. 63)
2.BW buku IV, WvK dan Peraturan Kepailitan
3.UU no. 1 Tahun 1974 (LN 1) tentang perkawinan
4.Undang-undang No 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
5.Undang-undang No.5 Tahun 2004 Perubahan atas Undang-undang No.14 Tahun 1985
                   Tentang Mahkamah Agung
6.Undang-undang No.8 Tahun 2004 Perubahan atas undang-undang No.2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum
7.Undang-undang No.18 Tahun 2003 Tentang Advokat
8.UU no. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Hingkungan Hidup
9.UU no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
10.Undang-undang Khusus lainnya dan peraturan-peraturan pelaksana lainnya dalam bidang peradilan

2)Sumber Hukum Tidak Tertulis
1.Yurisprudensi
2.Doktrin dan ilmu Pengetahuan
3.Kebiasaan “Wirjono Prodhodikoro” (Mertokusumo;1998;9)
4.Perjanjian Internasional




II.ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA

Asas hukum (rechtsbeginsel) adalah pokok pikiran yang bersifat umum yang menjadi latar belakang dari peraturan hukum yang konkret (hukum positif). Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. mengatakan asas hukum adalah jiwanya peraturan hukum, karena ia merupakan dasar lahirnya peraturan hukum,ialah ratio legisnya peraturan
:
A.Hakim Bersifat Menunggu
:
a.Asas ini berarti bahwa inisiatif berperkara di pengadilan ada pada pihak-pihak yang berkepentingan dan bukan dilakukan oleh hakim (inde ne proeedat ex officio). Hakim hanya besikap menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya. Akan adanya proses atau tidak, ada tuntutan hak atau tidak diserahkan sepenuhnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Kalau sudah ada tuntutan yang menyelenggarakan proses adalah Negara.
b.Hal ini karena hukum acara perdata hanya mengatur cara-cara bagaimana para pihak mempertahankan kepentingan pribadinya. Seorang hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan kepadanya, dengan alasan bahwa hukum tidak atau kurang jelas (Pasal 16 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004). Dalam hal ini hakim dianggap tahu akan hukumnya (ius curia novit). Apabila hukum tertulis tidak ditemukan, maka hakim wajib menggali, mengikiti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (2) UU No. 4 tahun 2004)

B.Hakim Bersikap Pasif
a.Maksud hakim bersikap pasif adalah hakim tidak menentukan ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepadanya,tapi yang menentukan adalah para pihak sendiri. Hakim tidak boleh menambah atau menguranginya. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan (Pasal 5 ayat (2) UU No. 5 tahun 2004).
b.Hakim harus mengadili seluruh bagian gugatan, tetapi hakim dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang dituntut (Pasal 178 ayat 2,3 HIR/189 ayat 2, dan 3 Rbg).
c.Namun bukan berarti hakim tidak berbuat apa-apa. Selaku pimpinan sidang hakim harus aktif memimpin jalannya persidangan sehingga berjalan lancar. Hakimlah yang menentukan pemanggilan, menetapkan hari persidangan serta memerintahkan supaya alat bukti yang diperlukan disampaikan dalam persidangan. Hakim juga berwenang memberikan nasihat, mengupayakan perdamaian, menunjukkan upaya-upaya hukum dan memberikan keterangan kepada pihak-pihak yang berperkara (Pasal 132 HIR/156 Rbg). Karena itu sering dikatakan dalam sistem HIR adalah hakim aktif, sedangkan dalam sistem Rv
d.hakim pasif. Karena Rv mewajibkan para pihak mewakilkan kepada orang lain (procureur) dalam beracara dimuka pengadilan.


C.Sidang Pengadilan Terbuka untuk Umum
a.Sidang pemeriksaan Pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali apabila undang-undang menentukan lain (Pasal 19 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004), sidang pengadilan dapat dihadiri, didengar dan dilihat oleh siapapun kecuali oleh orang-orang yang memang dilarang oleh undang-undang, tidak dipenuhinya asas ini berakibat putusan hakim menjadi batal demi hukum (Pasal 19 ayat (2) UU No. 4 tahun 2004).
b.Dengan demikian berarti bahwa setiap orang boleh hadir, mendengar dan menyaksikan jalannya pemeriksaan perkara di pengadilan. Tujuan asas ini adalah untuk menjamin pelaksanaan peradilan yang adil, tidak memihak dan obyektif serta untuk malindungi hak asasi manusia dalam bidang peradila, sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku. Asas ini membuka ‘social control’ dari masyarakat, yakni dengan meletakkan peradilan dibawah pengawasan umum.
c.Persidangan dapat dilakukan secara tertutup seperti dalam kasus perceraian, perzinahan,perkara yang berkaitan dengan ketertiban umum dan rahasia negara serta pemeriksaan anak dibawah umur.

D.Mendengar Kedua Belah Pihak (audi et alteram partem)
a.Menurut hukum acara perdata, para pihak yang berperkara harus diperlakukan sama, adil dan tidak memihak untuk membela dan melindungi kepentingan yang bersangkutan.
b.Hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai sesuatu yang benar, tanpa mendengar atau memberi kesempatan pihak lain untuk menyampaikan pendapatnya. Demikian pula pengajuan alat bukti harus dilakukan dimuka siding yang dihadiri kadua belah pihak (Pasal 121, 132 HIR/ 145, 157 Rbg)
.
E.Putusan Hakim Harus Disertai Alasan (Motieviring Plicht)
Pasal 25 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004 menegaskan bahwa semua putusan pengadilan harus disertai alasan-alasan yang dijadikan dasar untuk mengadili. Asas ini dimaksudkan untuk menjaga supaya jangan sampai terjadi perbuatan sewenang-wenang dari hakim. Putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan (onvoeldoende gemotiverd) merupakan alasan untuk mengajukan kasasi dan putusan tersebut harus dibatalkan. Karena ada alasan-alasan inilah suatu putusan mempunyai wibawa, nilai ilmiah dan obyektif.

F.Beracara Dikenakan Biaya
a.Pada prinsipnya beracara perdata dimuka pengadilan dikenakan biaya (Pasal 4 ayat (2) UU No. 4 tahun 2004). Biaya hanya bisa didaftarkan setelah dibayar panjar biaya perkara oleh yang berkepentingan.
b.Biaya perkara meliputi: biaya kapaniteraan, pemanggilan dan pemberitahuan kepada para pihak, biaya materai serta biaya untuk pengacara apabila menggunakannya.
c.Bagi orang yang tidak mampu,dapat mengajukan perkaranya secara cuma-Cuma (prodeo), dengan menyertakan surat keterangan tidak mampu yang dibuat Kepala Polisi atau Camat setempat, sehinnga biaya perkara akan ditanggung oleh Negara.


G.Tidak Ada Keharusan untuk Mewakilkan
a.Baik dalam HIR maupun dalam Rbg tidak ada keharusan kepada para pihak untuk mewakilkan pengurusan perkaranya kapada kuasa yang ahli hukum, sehingga pemeriksaan dipersidangan dilakukan secara langsung terhadap pihak-pihak yang berkepentingan. Tetapi para pihak juga dapat mewakilkan atau
b.menguasakan kepada orang lain untuk beracara dimuka pengadilan sebagai kuasa hukumnya (Pasal 123 HIR/147 Rbg).


H.Peradilan Dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (pasal 4 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004)
a.Maksudnya adalah hakim harus selalu insyaf karena sumpah jabatannya, ia tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum, diri sendiri dan kepada masyarakat, tetapi bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b.Setiap putusan pengadilan harus mencantumkan klausa “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” agar putusan tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk melaksanakan putusan secara paksa, apabila pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan dengan sukarela
I.Peradilan Dilakukan dengan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan (Pasal 4 ayat (2) UU No.4 tahun 2004)
a.Sederhana maksudnya acaranya jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Makin sedikit dan sederhana formalitas dalam beracara maka semakin baik. Sebaliknya terlalu banyak formalitas atau peraturan akan sulit dipahami dan akan menimbulkan beraneka ragam penafsiran sehingga kurang menjamin adanya kepastian hukum.
b.Cepat menunjuk jalannya peradilan yang cepat dan proses penyelesaiannya tidak berlarut-larut yang terkadang harus dilanjutkan oleh ahli warisnya.
c.Biaya ringan maksudnya biaya yang serendah mungkin sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat. Biaya perkara yang tinggi membuat orang enggan beracara di pengadilan
















hukum acara perdata (tata cara pengajuan tuntutan hak)

TATA CARA PENGAJUAN TUNTUTAN HAK

A. PENGERTIAN TUNTUTAN HAK KEPERDATAAN

Tuntutan hak adalah suatu upaya yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hukum atas hak –hak tertentu yang dimiliki oleh seseorang melalui proses peradilan yang dibenarkan menurut hukum untuk mencegah terjadinya “eigenrichting”atau perbuatan main hakim sendiri dalam melaksanakan haknya sehingga menimbulkan perbuatan melawan hukum yang dapat merugikan pihak lainnya.
Tuntutan hak yang di dalam pasal 118 ayat 1 HIR (pasal 142 ayat 1 Rbg) disebut sebagai tuntutan perdata tidak lain adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dan lazimnya disebut gugatan. Gugatan dapat diajukan baik secara tertulis (pasal 118 ayat 1 HIR ,142 ayat 1 Rbg) maupun secara lisan (pasal 144 ayat 1 Rbg).
HIR dan Rbg hanya mengatur tentang caranya mengajukan gugatan, sedang tempat persyaratan mengenai isi daripada gugatan tidak ada ketentuannya. Bagi kepentingan para pencari keadilan kekurangan ini diatasi oleh adanya pasal 119 HIR (pasal 143 Rbg), yang memberi wewenang kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk memberi nasehat dan bantuan kepada pihak pengugat dalam pengajuan gugatannya. Dengan demikian hendak dicegat pengajuan gugatan-gugatan yang kurang jelas atau kurang lengkap.

B. PIHAKPIHAK PIHAK DALAM PERKARA PERDATA

Di dalam suatu sengketa perdata sekurang kurangnya terdapat dua pihak, yaitu : pihak penggugat yang mengajukan gugatan, dan pihak tergugat. Dan biasanya orang yang langsung berkepentingan sendirilah yang aktif bertindak di muka pengadilan, baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat. Mereka ini merupakan pihak materil, karena mereka mempunya kepentingan langsung di dalam perkara yang bersangkutan, tetapi sekaligus juga merupakan pihak formil, karena merekalah yang beracara di muka peradilan.
Akan tetapi seseorang dapat pula bertindak sebagai penggugat atau tergugat di muka pengadilan tanpa mempunyai kepentingan secara langsung dalam berperkara yang bersangkutan. Seorang wali atau pengampu yang bertindak sebagai pihak di muka pengadilan atas namanya sendiri, tetapi untuk kepentingan orang lain yang di wakilinya karena yang terakhir inilah yang mempunyai kepentingan secara langsung (pasal 383, 446, 452,403-405 BW). Nama mereka harus dimuat dalam gugatan dan disebut pula dalam putusan ,disamping nama-nama yang mereka wakilinya adalah pihak materiil.
Disamping itu tidak jarang terjadi suatu pihak materiil memerlukan seorang wakil untuk beracara di muka pengadilan, karena tidak mungkin beracara tanpa diwakili. Hal ini terjadi pada badan hukum ,yang beracara atas namanya sendiri ,tetapi memerlukan seorang wakil yang bertindak di muka pengadilan selaku pihak formil untuk kepentingannya (pasal 8 no 2 Rv, 1955BW).

C. TATA CARA PENGAJUAN GUGATAN

1. Pendaftaran Gugatan
Langkah pertama mengajukan gugatan perdata adalah dengan melakukan pendaftaran gugatan tersebut ke pengadilan. Menurut pasal 118 ayat (1) HIR, pendaftaran gugatan itu diajukan ke Pengadilan Negeri berdasarkan kompetensi relatifnya – berdasarkan tempat tinggal tergugat atau domisili hukum yang ditunjuk dalam perjanjian . Gugatan tersebut hendaknya diajukan secara tertulis, ditandatangani oleh Penggugat atau kuasanya, dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pendaftaran gugatan itu dapat dilakukan di kantor kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat.

2. Membayar Panjar Biaya Perkara
Setelah gugatan diajukan di kepaniteraan, selanjutnya Penggugat wajib membayar biaya perkara. Biaya perkara yang dimaksud adalah panjar biaya perkara, yaitu biaya sementara yang finalnya akan diperhitungkan setelah adanya putusan pengadilan. Dalam proses peradilan, pada prinsipnya pihak yang kalah adalah pihak yang menanggung biaya perkara, yaitu biaya-biaya yang perlu dikeluarkan pengadilan dalam proses pemeriksaan perkara tersebut, antara lain biaya kepaniteraan, meterai, pemanggilan saksi, pemeriksaan setempat, pemberitahuan, eksekusi, dan biaya lainnya yang diperlukan. Apabila Penggugat menjadi pihak yang kalah, maka biaya perkara itu dipikul oleh Penggugat dan diambil dari panjar biaya perkara yang telah dibayarkan pada saat pendaftaran. Jika panjar biaya perkara kurang, maka Penggugat wajib menambahkannya, sebaliknya, jika lebih maka biaya tersebut harus dikembalikan kepada Penggugat.
Bagi Penggugat dan Tergugat yang tidak mampu membayar biaya perkara, Hukum Acara Perdata juga mengizinkan untuk berperkara tanpa biaya (prodeo/free of charge). Untuk berperkara tanpa biaya, Penggugat dapat mengajukan permintaan izin berperkara tanpa biaya itu dalam surat gugatannya atau dalam surat tersendiri. Selain Penggugat, Tergugat juga dapat mengajukan izin untuk berperkara tanpa biaya, izin mana dapat diajukan selama berlangsungnya proses persidangan. Permintaan izin berperkara tanpa biaya itu disertai dengan surat keterangan tidak mampu dari camat atau kepada desa tempat tinggal pihak yang mengajukan.

3. Registrasi Perkara
Registrasi perkara adalah pencatatan gugatan ke dalam Buku Register Perkara untuk mendapatkan nomor gugatan agar dapat diproses lebih lanjut. Registrasi perkara dilakukan setelah dilakukannya pembayaran panjar biaya perkara. Bagi gugatan yang telah diajukan pendaftarannya ke Pengadilan Negeri namun belum dilakukan pembayaran panjar biaya perkara, maka gugatan tersebut belum dapat dicatat di dalam Buku Register Perkara, sehingga gugatan tersebut belum terigstrasi dan mendapatkan nomor perkara dan karenanya belum dapat diproses lebih lanjut – dianggap belum ada perkara. Dengan demikian, pembayaran panjar biaya perkara merupakan syarat bagi registrasi perkara, dan dengan belum dilakukannya pembayaran maka kepaniteraan tidak wajib mendaftarkannya ke dalam Buku Register Perkara.

4. Pelimpahan Berkas Perkara Kepada Ketua Pengadilan Negeri
Setelah Penitera memberikan nomor perkara berdasarkan nomor urut dalam Buku Register Perkara, perkara tersebut dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pelimpahan tersebut harus dilakukan secepat mungkin agar tidak melanggar prinsip-prinsip penyelesaian perkara secara sederhana, cepat dan biaya ringan – selambat-lambatnya 7 hari dari tanggal registrasi.

5. Penetapan Majelis Hakim Oleh Ketua Pengadilan Negeri
Setelah Ketua Pengadilan Negeri memeriksa berkas perkara yang diajukan Panitera, kemudian Ketua Pengadilan Negeri menetapkan Majelis Hakim yang akan memeriksa dan memutus perkara. Penetapan itu harus dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 7 hari setelah berkas perkara diterima oleh Ketua Pengadilan Negeri. Majelis Hakim yang akan memeriksa dan memutus perkara tersebut terdiri dari sekurang-kurangnya 3 orang Hakim – dengan komposisi 1 orang Ketua Majelis Hakim dan 2 lainnya Hakim Anggota.

6. Penetapan Hari Sidang
Selanjutnya, setelah Majelis Hakim terbentuk, Majelis Hakim tersebut kemudian menetapkan hari sidang. Penetapan itu dituangkan dalam surat penetapan. Penetapan itu dilakukan segera setelah Majelis Hakim menerima berkas perkara, atau selambat-lambatnya 7 hari setelah tanggal penerimaan berkas perkara. Setelah hari sidang ditetapkan, selanjutnya Majelis Hakim memanggil para pihak (Penggugat dan Tergugat) untuk hadir pada hari sidang yang telah ditentukan itu.

D. PENGGABUNGAN TUNTUTAN HAK

Dalam suatu perkara perdata itu sekurang-kurangnya terdiri dari dua pihak, yaitu penggugat dan tergugat. Dan perkara perdata yang sederhana, masing-masing pihak terdiri dari seorang: seorang penggugat dan seorang tergugat yang menyengketakan satu tuntutan. Tetapi tidak jarang terjadi bahwa penggugat lebih dari seorang melawan tergugat hanya seorang saja, atau seorang penggugat melawan tergugat lebih dari seorang atau kedua pihak lebih dari seorang. Hal ini di sebut kumulasi subyektif: penggabungan dari pada kumulasi subyektif terjadi misalnya apabila seorang kreditur menagih beberapa orang debitur atau beberapa orang ahli waris menggugat ahli waris lainya mengenai harta warisan.
Tidak jarang terjadi bahwa penggugat mengajukan lebih dari satu tuntutan dalam satu perkara sekaligus. Ini merupakan penggabungan dari pada tuntutan yang di sebut kumulasi obyektif pada umumnya tidak di syaratkan bahwa tuntutan-tuntutan itu harus ada hubunganya yang erat satu sama lain.
Baik kumulasi subyektif maupun kumulasi obyektif pada hakekatnya merupakan penggabungan (kumulasi) dari pada tuntutan hak. Kumulasi harus kita bedakan dari konkursus yang merupakan kebersamaan adanya beberapa tuntutan hak. Konkursus terjadi apabila seorang penggugat melakukan gugatan yang mengadung beberapa tuntutan yang kesemuanya menuju pada satu akibat hukum yang sama. Dengan dipenuhi dan dikabulkanya salah satu dari tuntutan-tuntutan itu maka tuntutan lainya sekaligus terkabul. Contoh:
1. Seorang kreditur menuntut pembayaran sejumlah uang kepada beberapa orang debitur yang terikat secara tanggung renteng dengan kreditur. Dengan di bayarkanya sejumlah uang tersebut oleh salah seorang debitur itu semua tuntutan terhadap debitur lainya hapus.
2. Pemilik satu benda meminjamkan bendanya dengan persetujuan pinjam pakai. Pada waktu berakhirnya persetujuan pinjam pakai tersebut pemilik berhak menuntut pengembalian benda itu, karena dia pemiliknya, karena juga persetujuan pinjam pakai sudah berakhir, maka ia berhak menuntut pengembalian benda itu: yang pertama bedasarkan adanya hak milik. Yang kedua berdasarkan adanya persetujuan pinjam pakai.
Sementara dua pihak yaitu penggugat dan tergugat, menyengketakan sesuatu di muka pengadilan ,pihak ketiga atas kehendaknya sendiri mencampuri sengketa yang sedang berlangsung antara penggugat dan tergugat tersebut. Pihak ketiga yang mencampuri sengketa yang sedang berlangsung disebut intervenient. Intervenient diatur dalam pasal 279-282 Rv. Ada 2 bentuk interventie : menyertai dan menengahi.

a. WEWENANG MUTLAK DARIPADA HAKIM (KOMPETENSI ABSOLUT)
Tugas pokok daripada pengadilan ,yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman ,adalah untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Pengadilan negeri merupakan pengadilan sehari-hari biasa untuk segala penduduk,yang mempunyai wewenang memeriksa dan memutus dalam peradilan tingkat pertama segala perkara perdata dan pidana yang dulu diperiksa dan diputus oleh pengadilan-pengadilan yang dihapuskan (pasal 5 ayat 3a UU Dar. 1/1951).
Pasal 50 UU no 8 tahun 2004 menentukan bahwa Pengadilan Neger bertugas dan berwenang memeriksa, memutus ,dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara pidata di tingkat pertama.

b. WEWENANG NISBI DARIPADA HAKIM (KOMPETENSI RELATIF)
Kompetensi relatif berkaitan dengan wilayah hukum suatu pengadilan. Diatur dalam pasal 118 HIR (pasal 142 Rbg).

E. UPAYA-UPAYA MENJAMIN HAK

Bertujuan untuk kepentingan penggugat agar terjamin haknya sekiranya gugatannya dikabulkan nanti. Ada beberapa bentuk upaya menjamin hak yang dilakukan oleh hukum, yaitu Permohonan Sita/ penyitaan.
Adapun pengertian sita / beslaag yaitu suatu tindakan hukum oleh hakim yang bersifat eksepsional, atas permohonan atas salah satu pihak yang bersengketa, untuk mengamankan barang-barang sengketa atau yang menjadi jaminan dari kemungkinan dipindahtangankan, dibebani sesuatu sebagai jaminan, dirusak atau dimusnahkan oleh pemegang atau pihak yang menguasai barang-barang tersebut, untuk menjamin agar putusan hakim nantinya dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Penyitaan dilakukan oleh panitera pengadilan agama, yang wajiub membuat berita acara tentang pekerjaannya itu serta memberitahukan isinya kepada tersita bila dia hadir. Dalam melaksanakan pekerjaan itu, panitera dibantu oleh dua orang saksi yang ikut serta menandatangani berita acara.
Unsur-unsur Dalam Penyitaan antara lain yaitu pemohon sita, permohonan sita, obyek sita, tersita, hakim, pelaksana sita.

Macam-macam Sita:
1. Sita Jaminan tehadap Barang Miliknya Sendiri
Untuk menjamin suatu hak kebendaan dari pemohon atau kreditur dan berakhir dengan penyerahan barang yang disita, dibagi menjadi dua macam pula, yaitu :
a. Sita revindicatoir (ps. 226 hir, 260 Rbg)
Yang dapat mengajukan sita revindicatoir ialah setiap pemilik barang bergerak yang barangnya dikuasai oleh orang lain (ps. 1977 ayat 2, 1751 BW). Demikian pula setiap orang yang mempunyai hak reklame, yaitu hak daripada penjual barang bergerak untuk minta kembali barangnya apabila harga tidak dibayar, dapat mengajukan permohonan sita revindicatoir (ps. 1145 BW, 232 WvK).
Yang dapat disita secara revindicatoir adalah barang bergerak milik pemohon. Karena kemungkinan akan dialihkan atau diasingkannya barang tetap tersebut pada umumnya tidak ada atau kecil.
Untuk dapat mengajukan permohonan sita revindicatoir tidak perlu ada dugaan yang beralasan, bahwa seseorang yang berhutang selama belum dijatuhkan putusan, mencari akal akan menggelapkan atau melarikan barang yang bersangkutan (baca Ps. 227 ayat 1 HIR, 261 ayat 1 Rbg). Oleh karena tidak perlu ada dugaan akan digelapkannya barang bergerak tersebut, maka sudah wajarlah kiranya kalau pihak yang berhutang tidak perlu didengar. Barang bergerak yang disita harus dibiarkan ada pada pihak tersita untuk disimpannya, atau dapat juga barang tersebut disimpan ditempat lain yang patut.

b. Sita Maritaal (ps.823-823 j Rv)
Sita Marital bukanlah untuk menjamin suatu tagihan uang atau penyerahan barang, melainkan menjamin agar barang yang disita tidak dijual. Jadi fungsinya adalah untuk melindungi hak pemohon selama pemeriksaan sengketa perceraian di pengadilan berlangsung antara pemohon dan lawannya, dengan menyimpan atau membekukan barang-barang yang disita, agar jangan sampai jatuh di tangan pihak ketiga. Oleh karena sifatnya hanyalah menyimpan, maka sita marital ini tidak perlu dinyatakan sah dan berharga apabila dikabulkan. Pernyataan sah dan berharga itu diperlukan untuk memperoleh titel eksekutorial yang mengubah sita jaminan menjadi sita eksekutorial, sehingga putusan dapat dilaksanakan dengan penyerahan atau penjualan barang yang disita. Sita maritaal tidak berakhir dengan penyerahan atau penjualan barang yang disita.
Sita maritaal ini dapat dimohonkan kepada Pengadilan Negeri oleh seorang isteri, yang tunduk pada BW, selama sengketa perceraiannya diperiksa di pengadilan, terhadap barang-barang yang merupakan kesatuan harta kekayaan, untuk mencegah agar pihak lawannya tidak mengasingkan barang-barang tersebut (Ps. 190 BW, 823 Rv). Jadi yang dapat mengajukan sita maritaal adalah si isteri Yang dapat disita secara maritaal ialah baik barang bergerak dari kesatuan harta kekyaan atau milik isteri maupun barang tetap dan kesatuan harta kekayaan (Ps. 823 Rv). HIR tidak mengenal sita maritaal ini, tetapi seperti yang dapat kita lihat di atas, sita maritaal ini diatur dalam Rv. Di dalam praktek peradilan sekarang ini sita maritaal tidak banyak dimanfaatkan.

2. Sita Jaminan tehadap Barang Milik Debitur
Penyitaan inilah yang biasanya disebut sita conservatoir. Sita conservatoir ini merupakan tindakan persiapan dari pihak penggugat dalam bentuk permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata dengan menguangkan atau menjual barang debitur yang disita guna memenuhi tutntutan penggugat. Penyitaan ini hanya dapat terjadi berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permintaan kreditur atau penggugat (Ps. 227 ayat 1 HIR, 261 ayat 1 Rbg). Dalam konkretnya permohonan diajukan kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan.
Setiap saat debitur atau tersita dapat mengajukan permohonan kepada hakim yang memeriksa pokok perkara yang bersangkutan, agar sita jaminan atas barangnya dicabut. Permohonan pencabutan atau pengangkatan sita jaminan dari debitur dapat dikabulkan oleh hakim apabila debitur menyediakan tanggungan yang mencukupi (Ps. 227 ayat 5 HIR, 261 ayat 8 Rbg). Demikian pula apabila ternyata bahwa sita jaminan itu tidak ada manfaatnya (vexatoir) atau barang yang telah disita ternyata bukan milik debitur.
Di dalam praktek dapatlah dikatakan bahwa pada umumnya setiap permohonan sita jaminan selalu dikabulkan : hakim terlalu mudah mengabulkan permohonan sita jaminan. Yang dapat disita secara conservatoir ialah :
a. Sita Conservatoir atas barang bergerak milik debitur (Ps. 227 jo. 197 HIR jo. 208 Rbg)
Barang bergerak yang disita harus dibiarkan tetap ada pada tergugat atau tersita untuk disimpannya dan dijaganya serta dilarang menjual atau mengalihkannya (Ps. 197 ayat 9 HIR, 212 Rbg). Atau barang bergerak yang disita itu dapat pula disimpan ditempat lain. Jadi dengan adanya sita conservatoir itu tersita atau tergugat sebagai pemilik barang yang disita kehilangan wewenangnya atas barang miliknya.
Permohonan pelaksanaan putusan yang timbul kemudian setelah diadakan penyitaan tidak dikabulkan dengan mengadakan penyitaan lagi terhadap barang yang sama (sita rangkap). Menurut pasal 201 HIR (Ps. 219 Rbg) apabila ada dua permohonan pelaksanaan putusan atau lebih diajukan sekaligus terhadap seorang debitur, maka hanya dibuatkan satu berita acara penyitaan saja. Dari dua pasal tersebut dapatlah disimpulkan bahwa tidak dapat diadakan sita rangkap terhadap barang yang sama. Para kreditur lainnya dapat mengajukan permohonan kepada Ketua PN untuk ikut serta dalam pembagian hasil penjualan barang debitur yang telah disita (Ps. 204 ayat 1 HIR, 222 ayat 1 Rbg). Asas larangan sita rangkap ini, yang disebut saisie sur saisie ne vaut, lebih tegas dimuat dalam pasal 463 Rv.

b. Sita Conservatoir atas barang tetap milik debitur (Ps. 227, 197,198, 199 HIR 261, 208,214 Rbg)
Jika disita barang tetap, maka agar jangan sampai barang tersebut dijual, penyitaan itu harus diumumkan dengan memberi perintah kepada kepala desa supaya penyitaan barang tetap itu diumumkan ditempat, agar diketahui orang banyak. Kecuali di salinan berita acara penyitaan didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Tanah Ps. 30 PP. 10/1961 jo Ps. 198 ayat 1 HIR, 213 ayat 1 Rbg). Penyitaan barang tetap harus dilakukan oleh jurusita ditempat barang-barang itu terletak dengan mencocokkan batas-batasnya dan disaksikan pleh pamong desa. Terhitung mulai hari berita acara penyitaan barang tetap itu dimaklumkan kepada umum, maka pihak yang disita barangnya dilarang memindahkannya kepada orang lain, membebani atau menyewakan (Ps. 199 HIR, 214 Rbg). Penyitaan barang tetap itu meliputi juga tanaman diatasnya serta hasil panen pada saat dilakukan penyitaan. Kalau barang tetap itu disewakan oleh pemiliknya, maka panen itu menjadi milik penyewa. Sedangkan sewa yang belum dibayarkan kepada pemilik barang tetap yang telah disita (Ps. 509 Rv).

c. Sita Conservatoir atas barang bergerak milik debitur yang ada di tangan pihak ketiga (Ps. 728 Rv, 197 ayat 8 HIR, 211 Rbg)
Apabila debitur mempunyai piutang kepada pihak ketiga, maka kreditur untuk menjamin haknya dapat melakukan sita conservatoir atas barang bergerak milik debitur yang ada pada pihak ketiga itu. Sita conservatoir ini yang disebut derdenbeslag, diatur dalam pasal 728 Rv. Kreditur dapat menyita, atas dasar akta autentik atau akta dibawah tangan pihak ketiga. Dalam hal ini dibolehkan sita rangkap (Ps. 747 Rv). HIR tidak mengatur derdensblag sebagai sita conservatoir tetapi sebagai sita eksekutorial. Pasal 197 ayat 8 HIR (Ps. 211 Rbg) menentukan, bahwa penyitaan barang bergerak milik debitur, termasuk uang dan surat-surat berharga, meliputi juga barang bergerak yang bertubuh yang ada di tangan pihak ketiga. Akan tetapi sita conservatoir ini tidak boleh dilakukan atas hewan dan alat-alat yang digunakan untuk mencari mata pencaharian. Disamping tiga macam sita conservatoir seperti tersebut diatas Rv masih mengenal beberapa sita conservatoir lainnya, yaitu :

d. Sita Conservatoir terhadap kreditur (Ps. 75a Rv)
Ada kemungkinannya bahwa debitur mempunyai piutang kepada kreditur. Jadi ada hubungan piutang timbal balik antara kreditur dan debitur. Dalam hubungan piutang timbal balik antara kreditur dan debitur ini, dimana kreditur juga sekaligus debitur dan kreditur juga sekaligus debitur, tidak jarang terjadi bahwa prestasinya tidak dapat dikompensasi.

e. Sita gadai atau pandbeslag (Ps. 751-756 Rv)
Sita gadai ini sebagai sita conservatoir hanyalah dapat diajukan berdasarkan tuntutan yang disebut dalam pasal 1139 sub 2 BW dan dijalankan atas barang-barang yang disebut dalam pasal 1140 BW.

f. Sita Conservatoir atas barang barang debitur yang tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal di Indonesia atau orang asing bukan penduduk Indonesia (Ps. 757 Rv)
Ratio dari sita conservatoir ini yang disebut juga sita saisie foraine, ialah untuk melindungi penduduk Indonesia terhadap orang-orang asing bukan penduduk Indonesia, maka oleh karena itu berlaku juga dengan sendirinya bagi acara perdata di Pengadilan Negri.

g. Sita Conservatoir atas pesawat terbang (Ps.763h-763k Rv)
Apakah semua barang milik debitur disita secara conservatoir? Pada asasnya semua barang bergerak maupun tetap milik debitur menjadi tanggung jawab untuk segala perikatan yang bersifat perorangan (Ps. 1131 BW), dan semua hak-hak atas harta kekayaan dapat diuangkan untuk memenuhi tagihan, sehingga dengan demikian dapat disita.
Penyitaan barang milik Negara
Pada dasarnya barang-barang milik negara yaitu seperti uang negara yang ada pada pihak ketiga, piutang negara pada pihak ketiga, barang-barang bergerak milik negara, tidak dapat disita kecuali ada izin dari hakim. Izin untuk menyita barang-barang milik negara itu harus dimintakan kepada MA (pasal 65, 66 ICW, S. 1864 no 106).